Wanita Dalam Hidupnya (Chapter 8)

“Cantik banget, simple tapi elegan deh! Dari Jakarta ya?” sebuah suara yang begitu friendly terdengar di belakang Danilla dan Indy. Mereka sudah bersiap untuk pergi ke acara peresmian RSAD malam itu. Danilla dan Indy menoleh ke sosok cantik yang tampak juga elegan dengan gaunnya. Danilla tersenyum ke Chelsea.

“Terima kasih, dokter Chelsea. Ini cuma gaun seadanya waktu itu beli di Bandung.” Danilla tersenyum pada Chelsea. 

“Chelsea aja, Danilla. Kalo bukan lagi kerja, panggil gitu aja. Agak canggung kalo pake sapaan dokter.” Chelsea tampak tertawa akrab dengan mereka berdua. 

“Eh iya dok, mukanya glowing banget deh pake apa sih?” Indy menatap Chelsea dengan seksama sambil tersenyum. 

“Wah, makasih lho, Indy. Aku jatuh cinta banget sama make up yang pakai bahan dari Jeju. Semuanya bagus banget. Kalo kalian mau, cobain travel packnya dulu. Aku bawa beberapa.” Chelsea menjelaskan dengan sangat ceria dan ramah. 

“Asik, makasih banyak ya dok!” Indy sambil menggenggam tangan Chelsea. 

“Chelsea aja, Indy.” Chelsea tersenyum kembali hingga mereka tertawa bersama. “Yuk, aku udah laper nih!” Chelsea menggiring mereka berdua ke acara peresmian. 

 

Peresmian rumah sakit TNI AD dilaksanakan dengan sederhana di depan rumah sakit dengan tenda hajatan dan jamuan makan malam. Peresmian dengan cara TNI AD, sudah diselenggarakan paginya. Kali ini hanya berupa pemotongan pita dan sekaligus menyambut para dokter. 

 

 Setelah direktur jenderal rumah sakit memotong pita, semua tamu menyantap makan malam yang sudah tersedia. Di dalam keramaian acara peresmian, Langit dan kawan-kawannya tampak gagah dengan setelan tentara yang dipakai saat acara tertentu. Salah satu kolonel dari Jakarta ikut bergabung dengan mereka. Langit dan kawan-kawan tampak berkumpul di antara kolonel itu. Kolonel itu memperkenalkan dirinya sebagai letnan kolonel yang mengawasi kegiatan tim Langit. Dia bernama Letnan Kolonel Adira Leonardi. Wajah Adira tampak familiar dengan seseorang. Walaupun sudah berusia hampir 60 tahun, kulitnya yang putih membuatnya terlihat lebih muda dan membuatnya seperti blasteran. Saat orang-orang menyambut letnan kolonel itu, Chelsea yang sedang makan segera menyelesaikannya dan menghampiri Letkol tersebut. 

“Papa!” Chelsea setengah berlari menuju letnan kolonel yang ternyata adalah papanya. Adira tampak juga merindukan putrinya, karena mungkin Chelsea belum sempat mengunjunginya. Ayah dan putrinya pun berpelukan melepas rindunya. Danilla, Indy dan Berry menatap agak tidak sangka namun ikut tersenyum. 

“Pantesan dari tadi familiar sama siapaaa gitu mukanya bapak Letkol, eh ternyata bokapnya Chelsea. Emang buah ngga jatuh jauh dari pohonnya ya!” Berry berbisik dengan gayanya yang agak julit. 

“Iya, bokapnya aja bapak-bapak cakep gitu ya.” Indy ikut merapat berbisik kepada Berry. Sementara, Danilla tampak menatap ke mereka tanpa ingin memberikan respons. 

 

Letkol Adira kini tampak akrab dengan Langit. Tetapi Langit tampak segan dan sopan berbicara dengan Adira. Chelsea dalam kesempatan itu memperkenalkan Danilla, Indy dan Berry kepada papanya. Mereka bertiga tersenyum menyambut Adira. Begitu pula dengan Adira yang tampak senang melihat teman-teman baru Chelsea. 

“Walaupun Chelsea ditunjuk sebagai dokter pelatih utama, tetapi bagaimanapun dia juga masih belajar menyesuaikan semuanya di sini. Jangan sungkan untuk memberitahu Chelsea ya. Gak apa-apa, kan Chel?” Adira berbicara seolah menitipkan anaknya dengan penyampaian yang bijak. 

“Papa gak usah khawatir tentang itu, mereka baik-baik banget dan koperatif sama aku.” Chelsea dan Adira saling tersenyum. Keduanya adalah ayah dan anak yang mungkin diimpikan oleh semua orang. Begitu tulus, ramah dan saling menyayangi. 

 

Kepala rumah sakit, Mayjen Umar ikut bergabung dengan mereka sambil berbicara dengan ramah. Umar dan Adira seperti sudah berteman dari lama. Dalam kesempatan itu, Adira pun memberikan gesture supaya Langit mendekat kepadanya.  

“Kapan kamu selesai dinas di sini, Langit?” Adira bertanya sambil melihat ke Langit dan Chelsea. 

“Akhir bulan ini sudah selesai, Overste.” 

“Sepertinya ada yang sudah tidak sabar mengumumkan kabar bahagia.”  Mayjen Umar yang mendengar percakapan itu, ikut bertanya sambil melihat Langit dan Adira dengan senyum. 

“Waduh, saya sih inginnya begitu Jenderal. Tetapi baik Chelsea dan Langit sama-sama sibuk. Sehingga masih sulit untuk saya menentukan tanggal pertunangannya.” Letkol Adira tampak menjelaskan dengan akrab kepada Letjen rumah sakit. 

“Ngga usah buru-buru pa, aku kan baru pulang, belum juga ke Jakarta. Nanti aku sama Langit pasti ngobrolin hal ini lagi ya.” Chelsea menjawab sambil akhirnya menggandeng tangan Langit untuk pertama kalinya sejak dua hari mereka terlihat seperti tidak ada apa-apa. 

 

Sementara, Danilla yang berada di tengah-tengah mereka hanya dapat terpaku mendengarkan hal itu. Dadanya terasa cukup sesak, kakinya seperti enggan dihentakkan pergi dan lidahnya kelu untuk berkata. Danilla tau kalau hubungannya dengan Langit sudah lama putus, tetapi saat melihat Langit kembali, Danilla seperti menumbuhkan harapan pada dirinya. Malam hari itu, Danilla tidak menyangka akan mendengarkan fakta bahwa Langit akan bertunangan dengan seorang dokter yang masa depannya mungkin lebih gemilang dari dirinya. Bahkan Langit sama sekali tidak melihat keberadaan Danilla yang ada di sana. Hal itu makin membuat Danilla hanya bisa membeku di tempatnya. Indy di sebelahnya menatap sendu seakan mengetahui apa yang sahabatnya rasakan. Danilla hanya dapat terus bertanya dalam hati. 

“Kenapa hati ini masih sakit ya Tuhan? Apa aku masih menyayangi Langit?”