Unit 134

Setelah satu bulan, Raisa akhirnya paham kenapa unit rusun yang dia tempati sekarang disewakan dengan harga yang sangat murah. Ini tiga alasannya.

Pertama, hanya ada satu jendela di unit itu, dan jendela itu tidak bisa dibuka sama sekali. Jadi Raisa harus membuka pintu untuk pertukaran udara, atau udara di unitnya akan terasa lembap dan bau seperti kaus kaki basah.

Kedua, ada masalah di bagian listrik sehingga beberapa alat elektronik di unit itu suka menyala dan mati sendiri. Seandainya Pak RT tidak cerita tentang masalah listrik di rusun mereka, Raisa akan mengira unit yang dia tempati itu ada hantunya.

Lalu, yang terakhir dan yang paling menyebalkan, unit itu tidak kedap suara. Raisa bisa mendengar suara saat tetangga di atas unitnya berbicara atau berjalan. Terutama di malam hari.

Raisa pernah meminta Pak RT untuk menegur penghuni unit 144 yang berada tepat di atas unit Raisa itu, tapi teguran itu hanya bertahan satu minggu. Setelah itu penghuni unit 144 kembali membuat suara yang mengganggu. Sialnya, Raisa tidak bisa pindah karena sudah terlanjur membayar sewa untuk satu tahun. Raisa pun hanya bisa menahan kesal.

Sebenarnya apa sih yang dia bicarakan dengan teman-temannya tengah malam begini?” keluh Raisa sambil memakai penyumbat telinga. “Bukannya Pak RT bilang kalau bawa tamu lebih dari satu orang harus lapor? Buat apa dibuat peraturan kalau boleh dilanggar?!

Raisa mematikan lampu tidurnya dengan kasar, lalu dia mencoba tidur. Sementara suara percakapan orang-orang di unit 144 samar terdengar.

“Cepat pergi dari sini

Bangun, gadis bodoh!

“Pergilah, atau kau akan mati!”

“Apa dia tidak bisa mendengar kita?”

***

Beberapa hari kemudian, saat Raisa sedang menunggu ojek online di dekat gerbang rusun, dia tidak sengaja bertatapandengan Pak RT yang berdiri di dekat tiang listrik dan sedang ngobrol dengan seorang pemuda yang belum pernah Raisa lihat sebelumnya.

Mbak Raisa!” Pak RT melambaikan tangan ke arah Raisa. “Sini sebentar, Mbak.”

Raisa berjalan menghampiri Pak RT sambil mengingat-ingatapakah dia lupa membayar uang kebersihan bulan ini. Tapi saat Raisa tiba di dekat tiang listrik, Pak RT ternyata hanya ingin memperkenalkan Raisa dengan pemuda di sampingnya.

“Kenalin, Mbak Raisa. Ini Mas Elang,” kata Pak RT sambil tersenyum ke arah Elang. “Dia yang tinggal di atas unit Mbak Raisa. Di unit 144.

Ternyata ini orang yang sudah bikin kualitas tidur gue menurun,” sinis Raisa dalam hati.

Kalau dilihat dari penampilannya, Raisa menebak Elang sudah berkepala tiga. Mungkin saja usia Elang lebih muda, tapi Raisa tidak terlalu peduli soal itu. Karena ada sesuatu yang membuat Raisa tidak nyaman saat melihat Elang.

Dari pakaiannya tercium bau pemutih yang menyengat. Sementara wajahnya sangat pucat seperti tidak pernah terkena matahari. Pipinya juga sangat tirus, sementara kantong matanya tebal dan gelap. Raisa menduga Elang punya insomnia atau termasuk makhluk nokturnal. Makanya, di saat semua orang tidur, Elang malah beraktivitas dan membuat suara yang mengganggu.

Mbak Raisa ini yang mengeluh soal suara dari unitnya Mas Elang,” ucap Pak RT tanpa basa-basi. “Mumpung sekarangkalian ketemu, gimana kalau kalian bahas masalah itu? Biar sama-sama enak tinggal di sini.”

Raisa tersenyum kikuk ke Elang yang ekspresinya datar, sementara Pak RT tertawa dengan wajah tidak berdosa.

Kalau gitu saya pamit duluan ya?” seru Pak RT seraya menepuk bahu Elang. “Mau ke Kelurahan. Ada warga yang mau perpanjang KTP.

Tanpa mendengar jawaban Raisa maupun Elang, Pak RT melangkah pergi menuju pangkalan ojek di ujung jalan, meninggalkan Raisa dan Elang dalam suasana yang canggung.

Saat Pak RT tidak lagi terlihat, Raisa memberanikan diri untuk menegur Elang. Dia pikir, ini satu-satunya kesempatan yang dia punya untuk membahas suara berisik yang mengganggu tidurnya setiap malam. Kalau Raisa melewatkan kesempatan ini, dia mungkin tidak akan bisa tidur nyenyak selama setahunkarena suara berisik dari unitnya Elang.

“Maaf ya, Mas.” Raisa mencoba menatap wajah pucat Elang. “Jujur aja, saya agak terganggu sama suara dari unit Mas Elang.Terutama di malam hari. Kualitas tidur saya jadi menurun. Sayajadi susah tidur, dan akhirnya saya jadi susah bangun. Padahal saya harus bangun pagi biar nggak telat kerja. Jadi, saya mohon suaranya tolong agak dikecilin dikit pas malam. Bisa ya, Mas?”

Elang mendengarkan keluhan Raisa tanpa berkata apa-apa, tapi dia menatap Raisa dengan tatapan bingung.

Memangnya Mbak Raisa dengar suara dari unit saya tiap malam?” tanya Elang dengan kening berkerut.

Ya iya, Mas. Kalau nggak ada suara dari unit Mas Elang, ngapain saya minta Pak RT buat tegur Mas Elang?” seru Raisa sedikit jengkel. “Saya pikir Mas Elang nggak akan berisik lagi setelah ditegur Pak RT. Tapi setelah satu minggu, Mas Elang berisik lagi dan saya mengeluh lagi ke Pak RT. Mungkin karena itu Pak RT panggil saya dan ngenalin saya ke Mas Elang. Biar saya bisa langsung bahas masalah ini sama Mas Elang.”

“Tapi… Baru hari ini Pak RT cerita soal suara dari unit saya yang mengganggu Mbak Raisa…”

Raisa yang ingin membalas kata-kata Elang jadi terdiam karena bingung. Elang pun kembali bicara.

Lagian, saya nggak pernah ada di unit saya kalau malam, Mbak.”

“Maksudnya?”

“Setiap malam saya kerja jadi penjaga kamar mayat di rumah sakit. Jadi unit saya kosong kalau malam.

Mendengar itu, jantung Raisa berdebar lebih cepat sementara tubuhnya terpaku di tempat.

“Mbak lihat aja kulit saya pucat begini,” lanjut Elang seraya menunjukkan lengannya. Ini karena malam hari saya begadang, dan siangnya saya tidur. Jadi jarang kena sinar matahari.

“Oh…” Raisa tidak tahu harus menanggapi apa. Otaknya masih mencoba mencerna kata-kata Elang.

Banyak berdoa aja, Mbak. Biar hantu di unit saya nggak pindah ke unit Mbak Raisa.”

Setelah itu Elang pergi meninggalkan Raisa yang masih terpaku. Sementara bau pemutih pakaiannya yang menyengat masih tercium di udara.

***

Malamnya, Raisa jadi tidak bisa tidur. Matanya terus menatap ke langit-langit. Dia takut mendengar suara dari unit Elang. Sayangnya, yang ditakutkan Raisa malah menjadi kenyataan. Raisa kembali mendengar suara orang bicara. Namun kali ini suaranya terdengar cukup jelas.

Sangat jelas, malah.

Cepat pergi, penghuni unit 134.

Jangan tinggal di sini.

Cepat pergi, bodoh! Atau kau akan mati.

Kau akan mati kalau tidak pergi sekarang juga.

Pergi sana. Apa kau mau mati?

Raisa duduk di tempat tidur sementara seluruh badannya merinding.

“Itu… suara siapa?” tanya Raisa dengan suara gemetar. Matanya menatap bergantian ke langit-langit dan ke sekitar ruangan.“Ada orang ya?”

Suara-suara itu kembali terdengar dan tumpang tindih seakan ada lima orang bicara bersamaan.

“Kami sudah memperingatkan kamu dari awal, tapi kamu tidak mau dengar.”

“Cepat pergi, penghuni unit 134. Jangan tinggal di sini.”

“Cepat pergi, bodoh! Atau kau akan mati.”

“Kau akan mati kalau tidak pergi sekarang juga.”

“Pergi sana! Apa kau mau mati seperti kami?!

Mendengar semua suara itu membuat Raisa semakin ketakutan. Sepertinya hantu di unit Elang benar-benar sudah pindah ke unitnya.

Raisa buru-buru bangun mengambil dompet dan memakai sepatunya. Dia harus segera pergi meninggalkan unitnya. Pergi ke mana, itu bisa dipikirkan nanti. Yang pasti malam ini dia harus keluar dari unitnya sebelum para hantu itu semakin mengganggunya.

Tapi… saat Raisa mencoba membuka pintu, pintunya tidak bisa dibuka. Padahal dia sudah memutar anak kuncinya. Raisa pun jadi semakin gugup dan ketakutan. Dengan tangan gemetar dan sambil menahan tangis dia mencoba memutar gagang pintu agar pintunya bisa terbuka.

Sementara itu, suara-suara di unit 134 terdengar semakin jelas.

“Jangan pergi sekarang.”

“Sudah terlambat.”

“Kunci lagi pintunya!”

“Jangan biarkan dia masuk.”

“Gadis bodoh! Sekarang sudah tidak ada jalan keluar.”

Di dinding di samping pintu masuk, Raisa memasang cermin setinggi tubuhnya. Sebelum berangkat kerja, Raisa akan bercermin di situ untuk memastikan penampilannya sudah rapi.Malam ini, sambil terus mencoba membuka pintu, Raisa refleks menatap ke cermin itu.

Dan, untuk pertama kalinya, di cermin itu Raisa melihat ada lima wanita dengan wajah dan tubuh penuh darah menahan pintu yang ingin Raisa buka. Raisa pun menangis ketakutansementara kelima wanita itu memperingatkan Raisa untuk diam dan kembali mengunci pintu.

Di saat tangisan Raisa semakin kencang, terdengar suara ketukan di pintu.

“Mbak Raisa? Ada apa, Mbak?”

Itu suara Elang, pikir Raisa.

Raisa kembali mencoba membuka pintu meski kelima hantu wanita itu terus menahannya.

“Jangan buka pintunya!”

“Aku mohon. Tetap di sini.”

“Jangan temui dia, atau kau akan menyesal!”

“Berhenti menangis. Kami ini sedang menolongmu.”

“Diam, gadis bodoh!”

Dengan sekuat tenaga, Raisa akhirnya berhasil membuka pintu. Atau Elang yang mendorong pintu itu dari luar, Raisa tidak peduli. Yang penting sekarang dia tidak sendirian.

“Tolong aku,” ucap Raisa setengah memohon, setengah ketakutan. Tangannya memegang erat tangan Elang. “Hantu di unitmu benar-benar pindah ke sini. Mereka menahanku keluar dari sini.

“Oh ya?Elang masuk ke dalam unit Raisa, lalu dia mengunci pintunya dan memasukkan kuncinya ke dalam saku celananya.“Mungkin mereka menginginkan kamu bergabung dengan mereka.

Lalu, tanpa basa-basi Elang mengeluarkan pisau dari ransel di punggungnya dan menusuk jantung Raisa berkali-kali. Raisa yang tidak sempat bereaksi apa-apa langsung terjatuh ke lantai, di atas genangan darahnya. Setelah itu Elang membersihkan darah yang mengalir ke arah pintu dengan cairan pemutih pakaian sambil bernyanyi kecil.

Sedangkan kelima hantu wanita di unit 134 berdiri mengelilingi tubuh Raisa.

Apa dia sudah mati?”

Tunggu saja. Kalau hantunya muncul, berarti dia sudah mati.

Kasihan sekali dia...”

Salahnya sendiri tidak mau mendengarkan kita dan lebih percaya sama psikopat sialan itu.”

Sepertinya semua wanita yang tinggal di unit 134 ini bodoh.”

***