Ungkap Sisi Gelap Tari Tayub yang Belum Banyak Orang Tahu!

Tari Tayub merupakan salah satu kesenian yang masih eksis di Jawa Timur, khususnya daerah Nganjuk, Ponorogo, dan Pesisir pantai utara seperti Gresik, Tuban, dan Lamongan. Kesenian ini biasa disuguhkan saat akan merayakan panen raya, juga menjelang tanam.

Hal ini karena dipercaya, tarian Tayub merupakan bentuk syukur yang ditujukan pada Dewi Sri, Dewi kesuburan menurut kepercayaan Jawa.

Tahukah Sobat Vero, kalau saat ini, tarian Tayub tidak hanya digunakan saat perayaan tertentu saja, melainkan juga pada perayaan pesta pernikahan, khitanan, pesta rakyat, dan masih banyak lagi.

Ini menunjukkan tari Tayub mulai bergeser dari makna sebenarnya. Tapi di satu sisi, ini juga upaya agar kesenian tersebut bisa tetap eksis.

Sekalipun masih cukup diminati namun keberadaan tari Tayub semakin tergerus zaman, hingga beberapa oknum membuat tari Tayub memiliki sejumlah sisi gelap yang menjadi rumor hingga kini.

Sisi Gelap Tari Tayub yang Tidak Banyak Orang Tahu

Rentetan Menjadi Waranggana atau Ledhek yang Tidak Gampang

Waranggana atau ledhek adalah sebutan untuk para penari Tayub. Agar bisa menjadi seorang Waranggana atau ledhek bukanlah hal mudah. Ini sekaligus menjadi sisi gelap tari Tayub pertama yang akan kita bahas.

Rentetan ritual harus dilakukan seorang penari agar dia bisa disebut sebagai seorang Waranggana atau ledhek. Jika tidak melalui ritual yang dimaksud, maka penari tersebut hanya sebagai penari biasa saja.

Adapun ritual yang dimaksud di antaranya para calon Waranggana atau ledhek harus mampu menarikan Tayub dengan minimal 10 langgam non-stop.

Setelah selesai dengan banyaknya tarian tersebut, selanjutnya para calon Waranggana atau ledhek ini akan kembali menari tapi sembari berendam di kedung air terjun Sedudo.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Sedudo merupakan air terjun wingit yang masih banyak digunakan untuk penyempurnaan berbagai ritual.

Kembali pada para Waranggana tadi. Mereka akan menari di bawah air terjun. Setelah selesai, mereka harus mengambil air untuk dibawa pada sesepuh Waranggana atau ledhek yang nantinya air tersebut akan dicipratkan ke kepala para calon penari Tayub ini.

Setelah itu, mereka akan resmi menjadi para Waranggana atau ledhek Tayub. Tapi tak semua penari Tayub melakukan ritual yang sama ya Sobat Vero, ada yang melakukan ritualnya lebih “ekstrem” ada juga yang tanpa berendam di air terjun Sedudo.

Stigma Buruk di Masyarakat

Selain menghadapi berbagai rentetan ritual, para Waranggana atau ledhek ini juga harus menghadapi sisi gelap tari Tayub berupa stigma negatif dari masyarakat. Para penari Tayub ini sering disebut sebagai ledhek atau penggoda.

Mereka diasosiasikan dengan perempuan penghibur yang bisa ‘dipakai’ selepas menari. Tidak hanya itu, sepanjang menari, tidak jarang para pengibing akan mencekoki Waranggana atau ledhek tersebut dengan miras.

Kondisi ini membuat para penari Tayub serba salah. Jika ditolak maka pengibing akan marah, jika diterima dan mabuk, maka konsentrasi mereka dalam menari akan berantakan.

Belum lagi ada oknum Waranggana atau ledhek yang menggunakan ilmu hitam tertentu seperti susuk misalnya untuk membuatnya awet muda dan terus laris. Stigma negatif yang muncul di masyarakat membuat keberadaan tari Tayub semakin menghilang.

Sebenarnya, jika eksistensi tari Tayub masih seperti dulu, para Waranggana atau ledhek ini bisa dibilang hidup berkecukupan. Hanya saja, sekarang popularitas mereka kian menurun.

Sisi gelap tari Tayub yang berasal dari stigma negatif masyarakat benar-benar berdampak pada kehidupan para penari. Itulah sekilas ulasan mengenai sisi gelap tari Tayub yang mungkin belum banyak diketahui orang. Semoga Bermanfaat!