Malam hari itu berembun, basah karena hujan dan beraroma tanah yang dibasahi. Langit dan lamunannya menunggu di depan teras rumah Danilla. Hingga, dalam enam puluh lima menit, Danilla pulang dan menatap Langit dengan heran dan kaget.
“Langit.” Danilla hanya dapat memanggil Langit dengan pelan sambil masuk ke dalam gerbang depan rumahnya. Langit langsung menghamburnya dengan pertanyaan dan wajah bersalahnya langsung menghadap Danilla.
“Kenapa kamu ngga pernah bilang soal papa aku, Dan?” Pertanyaan ini membuat Langit tampak emosional dan ingin segera mendapatkan jawabannya. Tetapi Danilla langsung mengetahui maksudnya. Danilla tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada papanya dan Langit.
“Gimana bisa kamu menahan perkataan papaku yang kaya gitu sama kamu selama ini, Dan? Saat itu aku bisa ngelakuin apapun buat kamu. Kamu juga tau aku ngga mungkin ngelakuin hal yang aku ngga suka.”
“Justru karena kamu akan ngelakuin hal itu, Lang! Kamu bisa aja menentang papa kamu saat itu dan kabur begitu aja. Kita saat itu masih anak SMA, masih sangat labil dan belum bisa serius dengan keputusan kita, Lang. Aku hanya gak mau kamu jadi pisah sama papa kamu. Karena setelah aku ngerasa kehilangan ibu, aku ngga mau hal itu terjadi sama kamu.”
Langit benar-benar tertunduk sedih, sekaligus malu mengingat perkataan papanya pada Danilla. Langit akhirnya memberanikan diri untuk memeluk Danilla dengan sepenuh hatinya. Langit melepas semua rasa sesal telah berburuk sangka pada Danilla di masa dulu. Danilla merasa pelukan Langit saat ini terasa berkurang rasa salahnya. Walaupun dia masih tidak enak dengan perasaan Chelsea. Dan walaupun Chelsea sudah memperingati Danilla untuk jujur dengan perasaannya. Danilla akhirnya memilih terdiam dan melepaskan rindunya benar-benar pada Langit. Namun, beberapa saat kemudian, Langit tersadar.
“Maaf kalau aku lancang begini Danilla. Ini bentuk penyesalan aku selama ini yang membenci kamu tanpa tau alasannya apa. Aku masih sadar hati kamu masih bersanding dengan yang lain.” Langit mengatakan itu dengan penyesalan. Sekalipun dia mengatakan pada Biru kalau dia akan tetap membatalkan pertunangannya walaupun tidak akan mendapatkan Danilla.
“Aku dan Fikar udah selesai, Lang. Aku bukan pacar yang baik buat dia. Aku hanya memikirkan pekerjaan dan aku rasa aku juga belum lepas dari masa lalu aku.”
“Maksud kamu?”
“Aku bohong kalau aku ngga senang ketemu sama kamu lagi, tapi aku ngga bohong ketika aku bilang menyesal. Karena kita jadi menyakiti Chelsea, keluarganya dan papa kamu.” Danilla menghela nafas panjang mencoba menghilangkan ketidakenakannya lalu kini mengatur nafasnya kembali.
“Tapi sekarang, aku udah ngga mau bohong sama perasaan aku sendiri. Aku cuma mau kamu tau kalau aku menyimpan kalung awan itu, karena kamu adalah hal yang baik dan indah yang pernah datang ke hidup aku. Kalau aku egois dan ngga berpikir waktu itu, mungkin aku bisa aja memilih untuk sama kamu supaya aku ngga sendiri. Tapi, kamu juga punya keluarga dan ekspetasinya. Walaupun kamu ngga mau, hanya itu satu-satunya hal yang bisa bikin kamu sampai sukses dan menjadi kapten saat ini, Lang.” Danilla menatap ke depan berusaha untuk mengatur kalimatnya dan menatap Langit dengan lembut.
“Saat aku ketemu lagi sama kamu, hidup aku berasa punya harapan lagi. Aku jadi sadar kalau ngga ada orang yang aku cintai sama seperti aku cinta sama kamu. Hati aku sampai sakit saat tau kamu akan bertunangan bahkan saat kalung awan itu kamu buang. Padahal kita udah kepisah bertahun-tahun, Lang. Dari situ aku jadi lebih sadar kalau sebenarnya semua belum selesai. Hal itu yang membuat aku jadi jahat sama Fikar. Karena aku ngga bisa jadi membalas rasa cintanya yang tulus dan perasaan aku masih terikat sama kamu.” Pengakuan Danilla pada Langit membuat senyum Langit yang hilang akhirnya kembali lagi. Dia tau kalau dia sudah membuat kekacauan pada keluarganya dan keluarga Chelsea, tetapi seluruh perkataan Danilla berhasil meluruhkan semua kecemasan yang ada padanya. Langit menggenggam tangan Danilla dengan lembut.
“Dan, maafin aku kalau selama ini aku udah berburuk sangka sama kamu. Sekarang, izinkan aku akan berjuang sampai akhir supaya semuanya selesai dan kita bisa sama-sama lagi. Karena sekarang aku ingin menjemput kebahagiaanku. Aku udah dewasa untuk menentukan pilihanku. Aku ingin kamu tunggu aku.”
***
Suasana UGD Rumah Sakit Angkatan Darat sore itu begitu ramai. Terjadi kecelakaan beruntun di tol dalam kota yang menyebabkan 12 orang terluka parah dan 1 orang tewas. Kejadiannya sangat dekat dengan rumah sakit Angkatan Darat. Semua dokter dan perawat lalu lalang saling membantu untuk menangani pasien. Danilla, Berry dan Indy berada di tengah keramaian hari itu. Ketiganya bolak balik untuk memeriksa pasien dan mengobati luka luar yang dapat segera ditangani. Beberapa pasien segera dilarikan ke ruang operasi untuk diberikan tindakan.
Hari yang penuh peluh, darah dan teriakan histeris dari keluarga menggema di UGD. Dokter dan perawat yang berada di sana terus bergantian untuk memeriksa keadaan pasien. Danilla, Indy dan Berry sama-sama sedang menghadapi keluarga pasien yang tampak khawatir dan gelisah. Ketiganya menghadapi suasana yang berbeda-beda. Semuanya dapat diselamatkan, tetapi ada yang kehilangan banyak darah dan membutuhkan donor yang cukup banyak. Ada yang mengalami retak tulang sehingga akan membutuhkan terapi. Hingga, ada yang ternyata sudah bisa pulang dan rawat jalan karena keadaannya baik-baik saja.
Di saat keramaian sudah mulai surut, Danilla, Berry dan Indy berjalan ke meja perawat lalu membuat laporannya masing-masing. Salah satu perawat datang dan menghadap ke Danilla.
“Dok, kepala rumah sakit mau bertemu.”
“Baik, sus. Saya ke sana sekarang. Terima kasih.”
Danilla meninggalkan meja perawat sambil menimbulkan tanda tanya kepada Indy dan Berry.
“Gausah kepo! Nanti juga dia cerita.” Indy menutup muka Berry dengan kertas.
“Yee, lo juga kepo kan?” Berry mendelik kesal.
“Udah nanti lagi, laporannya beresin dulu!”
Berry langsung melengos mengambil kopinya dan duduk di antara para perawat lalu Indy juga mengikutinya.
Danilla keluar dari ruangan kepala rumah sakit dengan tampak banyak pikiran dalam kepalanya. Tidak jauh dari pandangannya, tampak Chelsea berjalan mendekati Danilla dari koridor rumah sakit utama.
“Aku bisa ngobrol sama kamu?”
“Iya bisa, kita ke ruangan aku aja, ya.”
Chelsea mengangguk dan berjalan bersama Danilla. Hingga mereka sampai di ruangan Danilla dan duduk berhadapan.
“Maaf kalau kedatangan aku sebelumnya ngga enak buat kamu, Dan. Aku Cuma mau mengekspresikan kekecewaan aku.”
“Ngga apa-apa, Chel. Aku bisa mengerti maksud kamu.”
“Langit sudah bicara sama orang tua aku. Pertunangan kita dibatalkan. Langit sudah mengutarakan semua perasaannya kepada kita dan aku mengerti.” Chelsea menjelaskan hal ini lebih tenang. Sementara, Danilla merasa sedih dan tertunduk.
“Dari awal, perjodohan aku dengan Langit memang seharusnya ngga ada. Karena papaku sudah ikhlas sepenuhnya dengan bantuannya ke Om Biru. Mungkin aku jatuh cinta sama Langit, dan mau berusaha untuk dia. Tapi aku ngga bisa menjalani hubungan di mana hanya aku yang berusaha. Dan, aku udah cape karenanya. Aku ngga menyalahkan siapa-siapa di sini. Karena aku sadar kalau aku masih ingin mengejar karirku dalam ke pengobatan di luar negeri. Mungkin seperti kakakku.” Chelsea memang tampak lebih tenang dengan ucapannya walaupun tetap ada kekecewaan. Lalu, dia menepuk pundak Danilla dengan lembut.
“Kamu ngga usah merasa bersalah, Dan. Aku udah tau semuanya. Justru aku akan merasa senang kalau kalian kembali bersama. Perjuangan kamu untuk bertahan dengan egonya Om Biru, dan harus berpisah dengan orang yang kamu cintai. Kalian berdua memang ditakdirkan bersama.” Chelsea akhirnya tersenyum dan menatap Danilla dengan tulus.
“Aku belum tau apa aku berhak dapetin semua ini, Chel. Tapi, bagaimanapun aku berterima kasih kamu udah mau menyampaikan ini. Aku benar-benar minta maaf udah datang di tengah hubungan kalian yang sama-sama belajar menerima masing-masing.”
“Ngga, Dan. Kamu ngga perlu minta maaf. Walaupun aku tau kamu baru beberapa bulan, tapi aku bisa lihat ketulusan dan kebaikan kamu. Kamu ngga pernah sengaja untuk menyakiti, Dan. Tapi situasinya membawa kamu ke sana. Sekarang, dengan kamu udah jujur akan perasaan kamu. Kamu berhak mendapatkan apa yang belum selesai buat kamu, kok.” Perkataan Chelsea terngiang dalam pikiran Danilla hingga dia benar-benar berpikir kalau bagaimana akan meneruskan hal ini.
“Aku akan meninggalkan Langit sekali lagi. Apa dia masih mau menunggu aku?”