Terpaksa Mencintai (Chapter 12)

Deva sudah berhenti menangis, tapi dia masih berada dalam pelukan Gia. Dia ingin melepas pelukannya, tapi dia malu. Ini pertama kalinya dia menunjukkan kerapuhan dirinya di depan orang lain. Di sisi lain, Gia merasa senang karena Deva mau terbuka dengannya. Namun, di saat yang sama, dia merasa bersalah karena gagal menjaga jarak dengan Deva yang merupakan suami dari adiknya sendiri.

Di saat keduanya bingung karena terjebak dalam kondisi yang kikuk, ponsel Deva tiba-tiba berbunyi. Deva pun menggunakan momen itu untuk melepas pelukannya dan mengambil ponsel di saku celananya. Sementara Gia bernapas lega karena Deva tidak lagi bisa merasakan debaran jantungnya. 

Melihat nama Kemala muncul di layar ponsel, Deva langsung mengangkat teleponnya.

“Iya, Oma?” Deva berbalik membelakangi Gia. Dia tidak mau gadis itu melihat wajahnya yang masih merah menahan malu. “Ada apa?”

Deva terdiam sebentar mendengarkan jawaban Kemala. Lalu tiba-tiba dia berbalik cepat ke arah Gia dengan wajah panik, membuat jantung Gia kembali berdebar kencang. Apa Oma Kemala sudah tahu tentangku?

“Oma mau tinggal di sini?!” seru Deva.

Deva dan Gia pun saling bertatapan. Di mana mereka bisa mencari buku panduan untuk terlihat seperti sepasang suami istri?

***

Sayangnya, tidak ada buku yang bisa mereka pelajari untuk terlihat seperti sepasang suami istri. Lagipula, mereka tidak punya banyak waktu untuk belajar menjadi sepasang suami istri. Kemala akan tiba di Jakarta besok. Yang bisa mereka lakukan sekarang hanya menyusun rencana agar Kemala tidak curiga.

“Setiap pagi, kamu harus segera memindahkan bantal dan selimut kamu dari sofa,” ucap Deva saat dia dan Gia berada di kamar mereka. “Bantalnya taruh di samping bantal saya. Selimutnya taruh di bawah bed cover.” 

“Oke.”

“Jangan lupa pindahkan juga pakaian kamu dari koper ke lemari kosong di sebelah sana, dan simpan kopernya di samping lemari. Jadi Oma nggak akan curiga seandainya dia iseng masuk ke kamar ini dan melakukan inspeksi.”

“Oke,” jawab Gia sambil coba mengingat kata-kata Deva. “Apa lagi yang harus aku lakukan setiap pagi sebelum kamu berangkat ke kantor?”

“Seperti yang kamu tahu, saya nggak sarapan. Tapi, kalau Oma ada di rumah, saya diharuskan sarapan. Jadi biasanya saya sarapan segelas kopi dingin dan selembar roti bakar polos. Untuk kopi, takarannya 2 sendok makan Nescafe, satu sendok teh krimer, es batu satu gelas, dan air dingin setengah gelas. Kamu harus tau resep itu karena Oma pasti berpikir kamu yang sekarang membuatkan saya kopi.”

Gia akhirnya mengeluarkan ponselnya untuk menulis semua informasi dari Deva. Gia mudah lupa kalau sedang gugup. Jadi lebih baik dia mencatat semua informasi dari Deva di ponselnya sebelum dia lupa dan membuat masalah semakin runyam.

“Kamu ada alergi makanan nggak, Dev?” tanya Gia.

“Nggak ada. Tapi saya nggak suka daging kambing. Jadi, jangan kasih saya makanan apa pun yang menggunakan daging kambing.”

“Kalau makanan kesukaan?”

“Sate sapi.” Lalu dengan wajah memerah Deva menambahkan, “Kastengel.”

“Oke.” Gia pura-pura fokus mencatat. Padahal rasa hangat saat pelukan dengan Deva tadi kembali terasa di pipinya. “Bagaimana dengan Oma kamu? Apa yang perlu aku tau tentang beliau?”

Deva yang sudah duduk di sofa menepuk pelan sisi kosong di sampingnya. “Kamu duduk dulu. Cerita tentang Oma akan sangat panjang.”

Seakan lupa dengan wajahnya yang masih memerah, Gia duduk di samping Deva. Lalu dia  mendengarkan cerita Deva tentang Kemala. Tentang bagaimana Deva tinggal bersama Kemala sejak kedua orangtuanya meninggal. Tentang bagaimana Kemala merawat dan mendidiknya. Tentang makanan yang Kemala suka dan tidak suka. Tentang karakter Kemala yang sangat berbeda saat di rumah dan di kantor. Juga tentang penyakit yang diderita Kemala.

“Yang pasti, Oma Kemala adalah orang yang baik,” kata Deva mengakhiri ceritanya. “Kamu nggak perlu takut sama Oma.”

“Baiklah…”

Deva lalu menambahkan, “Tapi, kamu harus hati-hati. Walaupun penglihatan Oma sedang kurang jelas karena penyakitnya, instingnya masih tajam. Dia bisa dengan mudah tau kalau kita sedang berbohong. Jadi saya harap kita bisa berakting sebagai suami istri senatural mungkin di depan Oma.”

Gia menelan ludah. Mendengar pesan dari Deva tadi membuatnya kembali gugup. Bagaimana kalau semua kebohongan mereka terbongkar dan Kemala marah besar? Apa yang akan terjadi dengan dirinya? Dan, yang membuatnya lebih khawatir lagi, apa yang akan terjadi dengan Darmawan dan semua orang yang bekerja di perusahaannya? Apa semua pengorbanannya ini akan sia-sia?

“Oke…” ucap Gia akhirnya. “Aku akan berusaha sebaik mungkin menjadi istri kamu.”

Gia lalu bangun dari sofa. Dia mau memindahkan pakaiannya dari koper ke lemari. Namun, belum sempat dia beranjak, tiba-tiba tangannya ditahan oleh Deva.

“Ada apa?” tanya Gia dengan wajah kembali memerah. Dia menatap gugup Deva, sementara Deva menatapnya dengan wajah serius.

“Mulai hari ini, kamu adalah Feya. Bukan Gia,” ucap Deva. “Jangan lupa itu.”

Seperti dibangunkan dari mimpi, Gia tersadar. Wajahnya pun tidak lagi memerah. 

Yang menjadi istri Deva adalah Feya. Bukan kamu, Gia, ucap Gia dalam hati. Kamu hanya terpaksa mencintai Deva.

Gia lalu mengangguk sambil melepas pegangan tangan Deva. Kemudian dia berbalik membawa kopernya menuju walking closet sebelum Deva bisa melihat genangan air di matanya.

***

Malam itu, Kean tidak pulang ke rumah Deva setelah dia menemui Feya. Kean tidur di apartemennya yang tidak jauh dari pusat Jakarta. Kean kembali ke rumah Deva keesokan paginya. Sekitar pukul 9. Kean sengaja menunggu Deva berangkat kerja, sehingga dia bisa menghabiskan waktu bersama Gia tanpa gangguan Deva. 

Sialnya, Deva ternyata masih ada di rumahnya saat Kean tiba.

“Lo nggak kerja?” tanya Kean saat melihat Deva dan Gia yang berjalan keluar dari rumah. “Kok jam segini masih di rumah?”

“Harusnya gue yang tanya pertanyaan itu ke elo,” seru Deva saat berhadapan dengan Kean. “Lo mau bolos kerja lagi hari ini, hah?!”

Gia yang berada di samping Deva bergeser menjauh. Dia tidak mau terlibat dalam pertikaian dua sepupu yang bertubuh tinggi besar itu.

“Kamu kenapa bergeser gitu?” tanya Kean lembut sambil tersenyum ke Gia. “Takut kena pukul pas aku sama Deva berantem?”

Dengan ekspresi polos Gia mengangguk. Kean pun tertawa geli, sementara wajah Deva semakin masam. Deva pun berseru memanggil nama Kean yang membuat sepupunya itu berhenti tertawa.

“Ini gue mau ke kantor, Cerewet!” seru Kean jengkel. Lalu dia beralasan, “Semalem gue nginep di rumah temen dan nggak bawa baju buat kerja. Makanya sekarang gue di sini. Mau ganti baju dulu.”

Deva tampak tidak percaya dengan alasan Kean, tapi dia tidak berkomentar.

Sementara Kean memperhatikan penampilan Deva. “Lo mau ke kantor pake kaos sama jeans gitu, Va?”

“Gue mau pergi sama Gia.” Deva lalu meraih tangan Gia dan menggenggamnya. “Kita mau jemput Oma.”

Deva lalu segera membawa Gia pergi dari hadapan Kean sebelum sepupunya itu sempat bicara, apalagi protes. Deva tidak sadar kalau Gia sedang mencoba melarang hatinya untuk merasa bahagia.

Ingat, Gia. Kamu nggak mencintai Deva. Kamu hanya ada di situasi terpaksa mencintai dia.

Namun jemari Gia menemukan tempat di antara jemari Deva, dan mempererat pegangan tangan mereka.

***

Exit mobile version