Takdir Atau Bukan (Chapter 1)

Suara ambulans memekik menuju lobi UGD, sementara di depan UGD beberapa perawat dan dokter jaga sudah siap untuk menyambut pasien mereka. Ketika ambulans sudah tiba di depan UGD, petugas segera membuka pintu mobil ambulans. Pasien yang dibawa di ambulans itu terluka di bagian kepala sehingga kepalanya dibebat oleh perban. Petugas ambulans sudah menahan darah di kepala pasien yang tadinya terus mengalir, sehingga pasien itu langsung dipindahkan ke tandu yang dibawa oleh para perawat. Dalam kepanikan tersebut, seorang perempuan berusia sekitar dua puluh delapan tahun mendekat ke tandu. Wajahnya cantik, rambutnya panjang dikuncir, dan dia membawa satu tas backpack di punggungnya. Perempuan yang tidak memakai baju dokter itu memegang pasien dan tampak memeriksa keadaan pasien dengan peralatan seadanya.

Dokter jaga dan perawat yang mau membawa si pasien menoleh serentak. Dokter jaga langsung merasa segan dan bertanya sambil mendekati si perempuan. “Dokter Danilla, belum berangkat?” Namun, perempuan yang disebut dokter Danilla itu tidak menjawab karena masih sibuk berkutat dengan pasiennya. 

“Tadi dia dipukul?” Danilla akhirnya bertanya kepada petugas. 

“Iya, pasien terpukul saat melewati area tawuran dengan kayu yang cukup besar.” 

Danilla langsung memeriksa mata si pasien. “Langsung didaftarkan untuk pindai CT ya.”  

Dokter jaga dan perawat pun mengangguk. Para perawat lalu mendorong tandu yang membawa si pasien langsung ke lorong UGD. Dokter jaga kemudian tersenyum ke Danilla yang berjalan membarengi si perawat dan si pasien. Danilla hendak menyusul ke arah mereka. Namun, dari jarak yang tidak begitu jauh, terdengar suara pria yang menyayanginya. 

“Mau ke mana, By?” 

Danilla menoleh, lalu dia menemukan Fikar mendekat di belakangnya sebelum akhirnya menyentuh tangannya dengan lembut. “By” atau “Baby” adalah panggilan sayang untuk Danilla yang disandangkan oleh Fikar, pacar Danilla yang sudah bersamanya kurang lebih setahun. Fikar adalah seorang pengacara di sebuah firma hukum yang cukup terkenal di Indonesia. Tubuhnya tinggi, tegap, tidak terlalu kurus ataupun gemuk, memakai kacamata, berpakaian rapi dan selalu membawa tas kulit kotaknya. Tampang Fikar terlalu serius untuk memanggil Danilla dengan panggilan yang cheesy, tetapi Fikar menyukainya.

“Aku mau cek pasien yang tadi baru dateng. Masih ada waktu,” ucap Danilla yakin setelah melihat jam tangannya. 

Namun Fikar membalas dengan gelengan kepala. “Nggak. Ke bandara itu unpredictable waktu tempuhnya, By. Teman-teman kamu juga udah siap di lobi.” 

Danilla menatap ke arah ruang UGD dengan cemas, namun Fikar merangkulnya lembut. “Ada dokter jaga lainnya, By. Kamu nggak usah khawatir. Yuk!” 

Danilla akhirnya mengangguk dengan lemas. Sementara Fikar berusaha membawa Danilla pergi dengan lembut. 

Namun setibanya di lobi Danilla masih tampak belum rela untuk pergi dari rumah sakit. Fikar dapat melihat muka pacarnya yang cemberut tetapi berusaha menutupinya dengan diam itu. 

“Kamu tuh mau ninggalin aku dua bulan, lho. Harusnya aku yang cemberut!” Fikar mengerutkan kening dan mukanya yang berubah jadi cemberut lucu di hadapan Danilla. 

Danilla menoleh ke Fikar lalu tersenyum dan menggandeng tangan pacarnya dengan lembut. “Maaf ya, Fik. Aku tuh baru ngerasa nyaman kerja di rumah sakit ini. Jadi aku merasa setiap pasien yang datang ke sini seperti membutuhkan aku.”

“Lho kok kedengerannya jadi kayak kamu bakal pergi lama sih, By? Kan cuma dua bulan.” 

Danilla menghela napas dan akhirnya menatap Fikar cukup dalam baginya. “Kalo gitu, kamu juga jangan sedih ya. Karena aku pergi cuma dua bulan. Kita masih bisa ketemu online.” 

“Pacar aku dingin banget sih.”  Fikar mencubit hidung Danilla dengan gemas. 

Danilla akhirnya menghibur Fikar dengan memeluknya, dan Fikar pun membalas pelukan Danilla dengan erat. “Jaga Kesehatan ya, Fik.” 

Fikar mengangguk dalam pelukannya Danilla. “Iya. Kamu juga.”

“Udah yuk farewell-nya. Nanti keburu jadi film drama romantis lho!” 

Sebuah suara cowok agak cempreng memecah perpisahan Danilla dan Fikar yang tadinya cukup syahdu. Suara itu berasal dari mulut Berry, rekan Danilla yang tampangnya agak tablo dan lucu. Di sebelahnya ada Indy, sahabat Danilla yang menyikut Berry. 

“Ganggu aja lo!” omel Indy.  

“Biarin!” seru Berry dengan senyum usil.

Danilla dan Fikar akhirnya melepaskan pelukan mereka. Lalu Fikar mengecup kening Danilla dengan lembut. Fikar kemudian berteriak kepada Berry dan Indy. “Titip Danilla gue ya! Minimal, hatinya jangan sampai tersakiti.” 

Berry langsung merasa Fikar kelewat cringe. “Yuk, buruan ah. Nanti keburu geli sendiri gue!” 

Semuanya tertawa lalu mereka pun berpamitan. 

Hanya Danilla, Berry, dan Indy yang diberangkatkan ke Sumba untuk pembukaan rumah sakit TNI AD mereka. Mereka bertiga ditugaskan untuk memberikan pelatihan untuk tenaga ahli medis di sana. 

Di perjalanan, Berry tertidur nyenyak sementara Indy membaca buku tentang penyakit yang sedang didalaminya. Danilla yang duduk di dekat jendela hanya menatap kosong ke langit sore yang sebentar lagi matahari akan tenggelam. 

Lalu, lamunan Danilla dibuyarkan oleh suara Indy. 

“Lo perhatian banget sama itu.” Indy menunjuk ke kalung liontin awan yang dari tadi digenggam dan bahkan diusap Danilla beberapa kali.  

Danilla langsung kikuk dan memasukkan kalung ke dalam kantungnya seperti menyimpan perasaannya. “Gue suka bentuknya aja. Jadi gue simpen.” 

“Santai aja. Nggak usah kikuk gitu. Kayak sama siapa aja.” Indy tahu kalau sahabatnya itu enggan membahas hal itu. Indy pun kembali membaca bukunya. 

Ketiga sahabat itu kemudian sampai di bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Sumbawa Besar. Saat itu tepat pukul 17.00 WITA, dan matahari sudah siap tenggelam. Langit biru dan udara yang bersih menyambut mereka dengan ramah. 

Danilla kemudian berjalan ke arah parkiran yang luas sambil menatap ke depan. Lalu tatapan Danilla terpaku pada sebuah mobil Jeep yang menjemput mereka. Tampak tiga anggota TNI AD turun dari mobil Jeep itu dengan gagah. Mereka berjalan menuju ke arah Danilla, Indy, dan Berry. Sesaat, langkah Danilla memelan sambil menatap ke depan seakan ada sosok yang dikenalinya. Danilla pun akhirnya memastikan dan terus melangkah sambil memegang kalung liontin awannya. 

“Bentang Langit Angkasa.” 

Pandangan Danilla akhirnya benar-benar jelas dan lekat ke salah satu anggota TNI AD yang berada paling depan. Dia adalah sosok yang tinggi dan tegap. Raut wajahnya tegas namun menyembunyikan manis dari senyumnya. Pangkatnya adalah kapten yang tampak disegani oleh dua orang kopral di belakangnya. Pandangannya kini juga lekat ke Danilla. Keduanya lalu saling berpandangan dengan tatapan tidak menyangka. 

“Aku sayang sama Danilla, Pa. Aku nggak mau mengikuti keinginan papa untuk jadi TNI!” Suara itu terngiang di kepala Langit saat melihat Danilla. Keduanya saling tidak menyangka akan dipertemukan kembali.

“Ini takdir atau kebetulan saja.” 

Exit mobile version