Slow Day (Chapter 7)

“Sialan! Baru jam segini udah macet!” omel Deva sambil berkali-kali menekan klakson mobilnya. “Tau gitu gue naik ojol aja tadi! Brengsek!”

Setelah berhasil melewati kemacetan, Deva akhirnya tiba di rumahnya yang sepi. Tanpa mematikan mesin, Deva langsung keluar dari mobil sedan mewahnya. Pak Satrio, satpam yang menjaga rumahnya, hanya bisa menatap bingung ke arah majikannya yang berlari masuk ke dalam rumah.

Sesampainya di kamar, Deva langsung membuka pintu kamarnya. 

“Gia…” 

Deva masuk ke dalam kamar mencari Gia, tapi gadis itu tidak kelihatan. Deva memanggil nama Gia sekali lagi, tapi tetap tidak ada sahutan. Deva pun mencari ke arah balkon, tapi nihil.

“Ke mana sih dia? Apa dia kabur lagi?”

Deva kemudian melihat pintu toilet kamar yang sedikit terbuka. Deva pun pergi ke toilet kamar. Di sana, dia menemukan Gia tergeletak di lantai.

“Gia…!” Deva bergegas menghampiri Gia. Lalu dia mencoba membangunkan Gia dengan menepuk-nepuk pundaknya. “Gia, bangun…!”

Gia tidak bergerak, sementara wajahnya terlihat sangat pucat. Deva pun panik. Dia langsung menggendong Gia, dan menaruhnya di tempat tidur. Dia tidak peduli jika belakang baju Gia yang sedikit basah mengotori kasurnya. Yang penting sekarang, gadis ini harus bangun.

“Gia…!” Deva menepuk pelan pipi Gia. “Bangun, Gia!”

Beberapa kali Deva mencoba membangunkan Gia, tapi gadis itu tetap tidak bergerak. Deva pun semakin panik. 

“Gimana nih…” gumam Deva sambil bolak-balik di kaki tempat tidur. “Ke rumah sakit jam segini bakal kejebak macet…”

Deva lalu teringat sesuatu. Dia mengambil ponsel di saku celananya dan membuka kontak di ponselnya. Lalu dia segera menghubungi orang yang mungkin bisa membantunya. 

“Halo, Om? Lagi sibuk nggak, Om? Bisa ke rumah sekarang?” Deva kemudian menjelaskan apa yang terjadi ke orang di telepon. Sebelum mengakhiri teleponnya, dia menambahkan, “Naik motor aja ya, Om. Biar cepat sampai. Makasih, Om.”

Setelah itu, Deva kembali menghampiri Gia yang masih belum sadarkan diri. Saat Deva memegang kening Gia, terasa cukup panas. Deva lalu pergi ke dapur untuk mengambil mangkuk berisi air hangat dan handuk kecil bersih. Setelah itu dia kembali ke kamar untuk mengompres kening Gia.

Tapi, saat Deva tiba di kamar, Gia ternyata sudah sadar dari pingsannya. Dari atas kasur Gia melihat betapa kikuknya Deva membawa mangkuk air karena takut airnya tumpah. Tanpa sadar, Gia tersenyum. Ternyata tuan muda yang selalu terlihat sempurna itu hanya manusia biasa. 

Sementara itu, Deva kaget saat melihat Gia sudah duduk di tempat tidurnya. Deva pun langsung menghampiri Gia. Dia tidak peduli saat mangkuk air yang dibawanya hampir tumpah. Dia harus segera memastikan keadaan Gia.

“Kamu nggak papa?” Deva duduk di tepi tempat tidur seraya menatap Gia dengan wajah khawatir. “Kamu pingsan di toilet tadi…”

“Iya, pas mau keluar toilet tiba-tiba gelap. Ternyata pingsan.” Gia tersenyum dengan perasaan bersalah. “Maaf ya, sudah buat kamu khawatir…”

“Harusnya saya yang minta maaf,” ucap Deva, juga dengan perasaan bersalah. “Kamu pingsan karena saya.”

Gia tidak membantah. Dia memang pingsan karena belum makan dari pagi, dan itu karena ulah Deva yang kembali mengunci dirinya sebagai hukuman kedua atas kesalahan dia mencoba kabur kemarin.

“Itu mangkuk air buat apa?” tanya Gia mengalihkan pembicaraan. “Buat kompres aku?”

Deva mengangguk dengan wajah memerah. “Iya…”

“Kenapa kamu mau kompres aku?”

“Soalnya saya takut kamu demam.”

“Kamu khawatir aku sakit?”

“Siapa yang nggak khawatir lihat orang pingsan?” 

Gia mencoba menahan senyumnya, tapi tidak bisa. Pemuda yang biasanya terlihat sangat angkuh itu tiba-tiba jadi terlihat menggemaskan di matanya. Apalagi saat melihat wajah tampannya yang khawatir sekaligus merah menahan malu. Lucu banget.

Deva yang melihat Gia tersenyum geli sambil menatapnya langsung berusaha kembali memasang topengnya. Dia tidak mau Gia mengetahui karakter aslinya. Dia pun menatap sinis Gia.

“Kenapa senyum begitu?” seru Deva. “Senang ya, bikin orang khawatir?”

“Enggak kok…,” ucap Gia sambil menahan rasa gelinya. “Makanya tadi aku minta maaf karena sudah bikin kamu khawatir.”

“Kenapa kamu nggak telepon saya?” tanya Deva, melanjutkan omelannya. “Harusnya kamu bilang kalau saya lupa meninggalkan makanan buat kamu. Bukannya diam sampai pingsan begitu. Untung aja saya pulang cepat hari ini. Coba kalau enggak? Sampai malam mungkin kamu akan tetap tergeletak di toilet.”

Gia menatap polos Deva. “Aku nggak punya nomor telepon kamu, Dev.”

Deva ingin menepuk dahinya sendiri. Mereka memang tidak pernah bertukar nomor telepon. Deva juga tidak ingat menanyakan nomor telepon Gia ke Darmawan, atau menelepon Pak Satrio untuk memeriksa keadaan Gia. Karena terlalu panik, dia langsung pulang ke rumah.

“Ya sudah, nanti saya kasih nomor saya,” ucap Deva seraya bangkit dari tempat tidur. “Kamu ganti baju dulu sana. Baju kamu basah. Nanti kalau sakit kamu makin parah, saya bakal tambah repot.”

“Kamu mau ke mana?” tanya Gia saat Deva berjalan keluar kamar.

“Menunggu Om Bambang.”

“Om Bambang siapa?”

“Dokter pribadi Adhikara.”

Di luar kamar, Deva menghela napas lega karena keadaan Gia tidak seburuk yang dia takutkan. Di dalam kamar, Gia kembali tersenyum karena Deva ternyata tidak sejahat yang dia kira.

***

Sementara itu, Feya yang masih ‘dipenjara’ di dalam apartemen sedang membongkar laci meja yang ada di samping tempat tidur. 

“Masa nggak ada charger hape sih di sini?” keluhnya sambil terus mengecek isi laci. “Aku nggak bisa buang waktu lagi. Aku harus segera kasih kabar ke Kak Gia dan Papi!”

Sayangnya, benda yang dicari Gia tidak ada. Bahkan setelah dia hampir membongkar isi seluruh lemari yang ada di apartemen itu.

“Gimana dong…” Feya hampir menangis. “Masa aku kirim pesan pakai merpati?”

Feya melihat ke pagar balkon. Sialnya, tidak ada merpati yang bertengger di sana.

***

Setelah Om Bambang selesai memeriksa Gia dan pamit pulang, Deva menyiapkan makan untuk Gia. Awalnya Gia menolak karena tidak mau merepotkan Deva lagi, tapi Deva memaksa.

“Saya mungkin nggak jago masak kayak kamu, tapi saya bisa masak bubur yang enak,” kata Deva penuh percaya diri. “Kamu bisa tanya Kean kalau nggak percaya.”

“Aku percaya. Tapi…”

“Tapi apa? Kamu takut perutnya tambah sakit kalau makan bubur buatan saya?”

Malas berdebat, Gia akhirnya menyerah. “Tapi kamu makan buburnya juga, kan?”

“Tenang. Saya juga akan makan buburnya sebagai bukti kalau saya nggak meracuni kamu.”

“Maksudku bukan begitu…”

“Iya, iya. Saya paham,” ucap Deva sambil tersenyum menahan geli.

Sementara Gia terperangah. Dia seperti tidak percaya dengan apa yang dilihat matanya. Untuk pertama kalinya, Deva tersenyum saat bicara dengannya.

“Tunggu sebentar, ya. Saya masak bubur dulu. Kamu minum obat dulu aja, yang harus diminum sebelum makan.”

Deva pun bergegas ke dapur sebelum Gia sempat menjawab. Sedangkan Gia jadi curiga. Sepertinya Deva salah makan waktu di kantor tadi. Makanya hari ini dia jadi berubah baik begitu.

“Apa aku lagi mimpi, ya?” Gia mencubit lengan kirinya dengan keras, lalu dia meringis kesakitan. “Ini bukan mimpi.” 

Sambil mengelus bekas cubitannya, Gia berharap hari ini akan berjalan selambat mungkin. Dia ingin melihat Deva yang baik itu selama mungkin.

***

Exit mobile version