Slepping Beauty (Chapter 3)

Kenapa Baskara terus memanggil namaku pakai nama Kak Disty? Lana mematung saat Baskara meninggalkannya dan kembali masuk ke ruang 501. Apa Baskara lupa ingatan? Tapi… yang kecelakaan ‘kan aku. Kenapa malah dia yang lupa ingatan?

Lana terus bertanya-tanya sampai kepalanya terasa sakit. Kemudian, dia terpikir sesuatu yang tidak masuk akal.

“Nggak mungkin…” gumam Lana sambil menggeleng. “Itu hanya ada di dunia fiksi. Bukan di dunia nyata.”

Lana kembali mematung. Tapi, bukan karena dia terpikir hal lain yang lebih tidak masuk akal.

“Suaraku…” Lana menatap pintu 501 yang tertutup di depannya. Suaraku…

Walau kepalanya semakin sakit dan kakinya sangat lemah, Lana akhirnya memaksakan diri melangkah. Namun, bukannya kembali ke ruang rawatnya, dia malah masuk ke ruang 501. Dia ingin memastikan sesuatu.

Melihat Lana muncul dari balik pintu yang terbuka, Baskara yang sedang ingin ke kamar mandi langsung menghampiri gadis itu.

“Kamu ngapain ke sini, Dis?” tanya Baskara sedikit emosi. “Kondisi Lana masih belum stabil.”

Lana tidak menghiraukan Baskara yang mencoba menahannya masuk. Dia juga tidak menghiraukan kata-kata Baskara yang menyebut namanya. Dia malah mendorong pintu kamar mandi yang terletak di samping pintu kamar. Kemudian dia menatap cermin bulat yang berada di atas wastafel.

Detik itu Lana akhirnya paham kenapa Baskara terus memanggilnya dengan nama Disty. 

Karena, pantulan wajah kakaknya itu yang kini Lana lihat di cermin. Bukan pantulan wajahnya sendiri.

Nggak mungkin… Lana menatap horor cermin di depannya. Nggak mungkin! NGGAK MUNGKINNN!!!

“Dis?” Baskara yang berdiri di depan pintu kamar mandi menatap heran gadis cantik yang mematung di depan cermin itu. “Kamu kenapa?”

Lana tidak menghiraukan Baskara. Dia mencoba mendekat ke arah cermin karena tatapannya tiba-tiba kabur. Sayangnya, kaki Lana sudah tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Dia pun jatuh terpuruk di lantai kamar mandi yang dingin. 

Lalu Lana mendengar suara isak tangis seorang perempuan. Sampai akhirnya Lana tersadar kalau dia yang sedang menangis. Lebih tepatnya, jiwa Lana yang berada di tubuh Disty. 

Nggak mungkin, batin Lana sambil terus terisak. Ini pasti mimpi. Aku nggak mungkin ada di dalam tubuh Kak Disty. Nggak mungkin!

“Disty?” Baskara kembali menegur gadis di depannya. Kini suaranya terdengar khawatir. “Kamu nggak apa-apa?”

Lana menggeleng tanpa menoleh ke arah Baskara. Satu, karena dia tidak mau membuat Baskara khawatir. Kedua, karena dia bukan Disty.

Namun, karena isak tangis Lana semakin kencang, Baskara jadi semakin khawatir. Pemuda berkacamata itu pun berlutut di samping Lana.

“Kamu kesakitan ya, Dis?” tanya Baskara sambil memperhatikan wajah gadis yang masih menangis itu. “Aku bantu kamu balik ke kamar, ya? Tadi aku sudah menghubungi suster buat mengecek keadaan kamu. Harusnya sebentar lagi dia datang bersama dokter.”

Baskara mencoba mengangkat tubuh Disty untuk membantunya berdiri, tapi jiwa Lana yang berada dalam tubuh itu refleks memeluk Baskara.

“Dis…” Baskara menegur Lana. Badannya seketika menegang. “Jangan kayak gini. Lana…”

Baskara tidak meneruskan kalimatnya karena gadis yang masih menangis itu semakin erat memeluknya. Seakan takut kehilangan dirinya.

“Sebentar, Bas…” pinta Lana di sela isak tangisnya. “Tolong biarkan aku menangis sebentar sambil memeluk kamu.”

7 tahun berpacaran dengan Lana, Baskara cukup mengenal keluarga kekasihnya itu. Baskara tahu kalau Disty tidak pernah menunjukkan sisi rapuhnya di depan orang lain. Apalagi menangis sambil memohon begitu.

Baskara akhirnya membiarkan gadis itu memeluknya dan membasahi pundaknya dengan air mata.

***

Setelah Lana berhenti menangis, gadis itu bangun dari lantai kamar mandi dengan dibantu Baskara. Dia ingin kembali ke ruang rawatnya sebelum Suster Melati dan Dokter Adrian datang.

Tapi, setelah keluar dari kamar mandi, Lana melihat ke arah tempat tidur yang sebagian tertutup tirai. Gadis itu pun menghentikan langkahnya. Dia ingin memastikan kalau dia tidak sedang bermimpi.

Lana menahan tangan Baskara yang membantunya berjalan ke arah pintu keluar.

“Aku boleh lihat…” Lana menoleh ke arah tempat tidur, “Lana?”

Baskara tampak ragu, tapi akhirnya dia mengangguk.

Baskara kemudian membawa gadis di sampingnya menuju tempat tidur. Kemudian dia membuka tirai yang menutup sebagian tempat tidur itu. Menunjukkan tubuh yang berbaring di sana.

Untuk pertama kalinya Lana melihat tubuhnya sendiri, namun bukan dari pantulan di cermin.

Mungkin ini yang dirasakan orang saat mati dan arwahnya keluar dari tubuh, batin Lana. Bedanya, aku masih hidup.

Tubuh Lana berbaring lemah di tempat tidur dalam kondisi tidak sadarkan diri. Wajahnya pucat dan ada sedikit memar biru keunguan di keningnya. Dadanya bergerak pelan, naik dan turun, mengisi paru-parunya dengan oksigen dari alat bantu pernapasan yang terpasang di hidungnya.

“Ini adalah mimpi buruk,” gumam Lana. “Sayangnya, aku tidak sedang tertidur.”

“Kenapa, Dis?” tanya Baskara. Wajahnya nampak bingung. “Kamu tadi ngomong apa?”

Lana menggeleng.

“Tolong kabarin aku kalau…” Lana menelan ludah. “Kalau Lana sudah bangun.”

Baskara mengangguk. “Aku pasti kabarin kamu.”

Lana balas mengangguk. Lalu dengan dibantu Baskara, dia berbalik pergi meninggalkan tubuhnya, sebelum air matanya kembali mengalir. 

***

Suster Melati membawa Lana ke ruang prakter Dokter Adrian. Di sana, Dokter Adrian meminta Lana untuk menjalani beberapa pemeriksaan lanjutan. Kalau dari hasil pemeriksaan nanti kondisi Lana dinyatakan membaik, minggu depan dia sudah bisa pulang ke rumah.

“Obatnya jangan lupa diminum ya, Mbak Disty?” ucap pria paruh baya itu sebelum Suster Melati mengantarkan Lana kembali ke ruang rawatnya.

Lana mengangguk. Lalu, selama Suster Melati mendorong kursi rodanya melewati lorong rumah sakit, Lana terdiam. Kepalanya sedang berpikir keras. Dia tidak tahu harus ke mana setelah boleh keluar dari rumah sakit nanti.

Lana tidak mungkin kembali ke rumahnya karena Rani marah besar saat Disty pergi meninggalkan rumah mereka 3 tahun yang lalu. Sejak saat itu, Disty tidak pernah pulang, dan Rani tidak pernah mencarinya. Mereka juga tidak pernah lagi berkomunikasi. Hubungan ibu dan anak itu pun terputus begitu saja. 

Tapi, Lana juga tidak bisa kembali ke rumah Disty karena dia tidak tahu di mana kakaknya itu tinggal setelah pergi meninggalkan rumah. Lana pernah mencoba mencari Disty, tapi Disty menutup akses Lana untuk mencari tahu di mana keberadaannya. Lana hanya bisa mengetahui kondisi Disty saat kakaknya itu membuat video tentang fashion dan make up di Instagram.

Aku juga nggak mungkin menumpang di rumah Baskara, ucap Lana dalam hati.

Saat melewati ruang 501, Lana menoleh ke Suster Melati.

“Suster, aku mau lihat…” Lana menelan ludah. Dia masih belum terbiasa menyebut namanya sendiri. “Aku mau lihat adikku sebentar. Suster boleh pergi.”

Suster Melati tersenyum paham. “Baik, Mbak Disty.”

Lana mengucapkan terima kasih, kemudian dia turun dari kursi rodanya. Lalu Lana masuk ke dalam ruang 501. 

Ruangan bernuansa krem itu nampak sepi. Hanya ada suara monitor yang menunjukkan tanda vital tubuh Lana. Sementara Baskara tidak terlihat batang hidungnya. 

Mungkin Bas sedang beli makan, batin Lana.

Lana lalu mendekat ke tempat tidur. Di sana tubuhnya masih terbaring lemah dalam kondisi tidak sadarkan diri. Dia tampak seperti Putri Tidur yang sedang menunggu sang pangeran untuk datang dan menciumnya agar terbangun.

Kemudian Lana menggenggam tangan kurusnya yang dingin karena AC. 

“Kak Disty,” bisik Lana. “Bangun, Kak…”

Mata Lana lalu menatap wajah cantiknya yang masih tampak pucat. 

“Aku nggak tau harus melakukan apa di dalam tubuh Kak Disty,” lanjut Lana dengan air mata mengembang. “Aku mau kembali ke tubuhku, Kak…”

Tubuh Lana bergeming. Jiwanya pun hanya bisa menangis. Sementara di luar ruangan, Baskara mengintip dari kotak kaca di pinggir pintu.

***

Exit mobile version