Seandainya (Chapter 4)

Deva terbangun dengan pipi bengkak karena gamparan Giasemalam. Deva pun mencoba mengurangi bengkak di pipinya dengan menggunakan kompres es. Namun, saat siang harinyaKemala video call, ternyata bengkak di pipinya masih terlihat cukup jelas.

“Pipi kamu kenapa itu?” tanya Kemala khawatir. “Kok bengkak begitu?”

“Gusiku yang bengkak, Oma,” kata Deva berbohong. “Kebanyakan makan permen.

“Makanya kamu berhenti makan permen dong, Deva! Sudah tua kok masih suka makan permen. Kena diabetes baru tahu rasa kamu!

Seperti biasa, Deva hanya tertawa mendengar omelan Kemala.

“Istri kamu mana?” tanya Kemala setelah Deva berhenti tertawa.Oma belum sempat bicara dengan istri kamu dari kalian menikah.”

Sedikit panik, Deva celingukan mencari sosok Gia. Untungnya, Gia tidak terlihat di vila.

Feya lagi mandi, Oma,” ucap Deva kembali berbohong.Sore ini kita mau balik ke Jakarta.”

“Kok kalian sebentar sekali bulan madunya?”

Aku banyak kerjaan, Oma. Feya juga banyak kerjaan.”

“Kerjaan?” Kemala mengerutkan keningnya. “Bukannya dia baru lulus kuliah?”

“Ehm…” Deva mencoba mencari alasan, “maksudku, kerjaan di rumah. Dia belum memindahkan semua pakaiannya ke rumahku. Juga barang-barang pribadinya.

“Ohh…”

Oma, aku harus packing sekarang. Nanti aku video call Oma lagi, ya.”

Deva pun langsung mematikan sambungan video call sebelum Kemala sempat menjawab.

Deva kemudian mencari Gia di seluruh ruangan di vila, tapi tidak ada.

“Apa dia kabur? Atau jangan-jangan dia tenggelam di laut?” gumam Deva khawatir sambil mencari ke luar vila.

Saat Deva berjalan menuju dermaga, dia akhirnya melihat Gia yang sedang duduk di bawah pohon kelapa sambil menikmatilaut biru jernih di depannya. Di tangan gadis itu ada ranting kecil. Sepertinya Gia habis menulis di pasir putih dengan menggunakan ranting kecil itu.

Deva lalu pelan-pelan menghampiri Gia, dan berhenti di belakangnya. Deva bisa melihat tulisan ‘Deva is a Devil’ dari balik punggung Gia. Deva lalu berdeham hingga membuat Gia kaget dan langsung berdiri.

Sejak kapan kamu di sini?” Gia yang gugup berbalik menghadap Deva sambil berusaha menghapus tulisan di pasir dengan kakinya. Mau aku buatkan makan siang?”

Deva menahan senyum sambil menggeleng. “Saya nggak lapar.”

Gia lalu menyadari bengkak di pipi Deva. Wajahnya langsung berubah khawatir.

“Ya ampun, pipi kamu…”

Gia refleks menjulurkan tangannya untuk memegang pipi Deva, tapi Deva menahannya. Dengan wajah memerah Gia pun menarik kembali tangannya.

“Maaf…,” gumam Gia pelan.

Sore ini kita kembali ke Jakarta,” kata Deva, tidak mendengar gumaman Gia. “Lebih baik sekarang kamu makan siang, teruspacking. Kalau kamu belum siap pas asisten saya datang nanti, saya tinggal kamu!

Deva lalu segera berbalik sebelum Gia sempat mengucapkan sepatah kata pun. Sambil berjalan kembali ke vila, Deva memegang jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang. Sementara perutnya terasa geli, seperti ada yang terbang.

“Kayaknya besok gue harus check up ke rumah sakit…”

***

Sepanjang perjalanan dari Filipina hingga ke Jakarta, Deva dan Gia diam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Deva memikirkan pekerjaannya, sementara Gia memikirkan nasibnya saat tinggal serumah dengan Deva nanti. Apakah di sana dia akan lebih tersiksa daripada di vila?

Sesampainya di rumah Deva, Gia tercengang. Gia tidak menyangka bahwa tembok yang sangat panjang yang selalu dia lewati saat menuju ke toko kue miliknya ternyata tembok rumah Deva.

Kamu… beneran tinggal di sini?” tanya Gia tidak percaya.

Kalau saya nggak tinggal di sini, buat apa kita ke sini?” balas Deva ketus sambil melangkah masuk ke rumahnya yang sangat besar. “Ayo masuk. Ini sudah hampir tengah malam.”

Walaupun Gia lahir dan tumbuh di keluarga yang berkecukupan, tapi levelnya masih jauh dari Deva. Dari ukuran rumah saja, rumahnya hanya sepertiga dari rumah Deva. Kamarnya bahkanlebih kecil dari tempat parkir mobil tuan muda yang menyebalkan itu.

“Rumah kamu sepi banget ya?” tanya Gia penasaran. “Aku nggak lihat ada orang. Cuma satpam di depan tadi.”

“Iya, saya tinggal sendirian di rumah ini,” jawab Deva sambil terus berjalan membawa kopernya.

“Nggak ada ART?”

“Ada, tapi mereka hanya datang seminggu sekali buat bersihin rumah. Saya nggak suka ada orang asing tinggal di rumah ini.

“Oh...”

Sesampainya di lorong rumah, Deva berhenti dan berbalik menghadap Gia.

Kenapa?” tanya Gia bingung.

Oma memasang CCTV di lorong rumah ini,” kata Deva menjelaskan. Jadi, sebelum kamu gampar saya lagi, saya minta izin buat menggenggam tangan kamu sampai kita tiba di kamar saya. Biar Oma nggak curiga kalau dia cek CCTV.

Oh…” Gia tampak gugup, tapi akhirnya dia menjulurkan tangannya. “Ini…”

Deva pun menggenggam tangan Gia. Wajah keduanya tampak memerah, tapi mereka pura-pura tidak melihat. Lalu tanpa bicara mereka berjalan bersama ke kamar Deva.

Sesampainya di dalam kamar, Deva segera melepaskan genggaman tangannya, meninggalkan kehangatan di telapak tangan Gia.

Seperti di vila, kamu akan tidur di sofa dan saya tidur di kasur,jelas Deva yang dijawab Gia dengan anggukan kepala. Deva lalu menatap Gia dengan serius. Selama saya nggak ada di rumah, kamu harus tetap berada di kamar ini. Walau di kamar ini nggak ada CCTV, saya tetap bisa tahu apa yang terjadi di sini. Jadi saya harap kamu nggak melakukan hal bodoh yang bisa membuat saya membatalkan pernikahan bisnis kita. Atau kamu akan menyesal!

Deva lalu keluar kamar lagi-lagi sebelum Gia sempat mengucapkan sepatah kata pun.

“Dasar Tuan Muda menyebalkan!”

***

Keesokan harinya, Gia baru menyadari maksud perkataan Deva semalam. Deva ternyata mengunci Gia seharian di dalam kamar.Sementara makanan untuk Gia sudah Deva siapkan sebelum dia berangkat kerja tadi.

Karena tidak tahu harus melakukan apa di dalam kamar yang luas itu, Gia lalu menghubungi Darmawan untuk menanyakan soal Feya. Sayangnya, Darmawan belum bisa menemukan Feya.

“Papi sudah berusaha cari ke teman-temannya, tapi nggak adasatu pun yang tahu Feya di mana,” keluh Darmawan. “Adik kamu itu benar-benar hilang seperti ditelan bumi.”

“Papi sudah minta bantuan polisi?” tanya Gia.

“Papi nggak bisa minta bantuan polisi karena takut wartawan dengar. Papi nggak mau pernikahan palsu kalian ketahuan publik. Kamu paham, kan?

Iya, Pi…”

Hhh… Seandainya waktu itu bukan Feya yang dijodohkan dengan Deva, mungkin semua ini tidak akan terjadi…”

Gia hanya bisa mengembuskan napas panjang saat mendengar penyesalan Darmawan.

“Tapi… kamu baik-baik saja kan, Gia?” tanya Darmawan kemudian dengan nada khawatir. “Deva nggak menyentuh kamuselama di sana, kan?”

Gia terbayang kejadian di dapur malam itu, dan air matanya mulai mengembang. Namun dia memilih berbohong.

“Aku baik-baik aja kok, Pi,” ucap Gia sambil menghapus setetes air matanya yang terjatuh. “Ya sudah, nanti Gia hubungi Papi lagi ya.”

Gia memutuskan sambungan teleponnya, lalu dia kembali mengembuskan napas panjang. Kalau Feya tidak juga bisa ditemukan, entah berapa lama dia akan terkurung di penjara emas ini. Parahnya lagi, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada adik manjanya itu?

Gia lalu mencoba untuk menghubungi Nick. Sejak menikah dengan Deva, Gia belum sempat menghubungi pacarnya itu. Mungkin bicara dengan Nick akan membuat perasaannya lebih baik.

Namun, belum sempat Gia membuka profil Nick di ponselnya, pesan dari Nick lebih dulu masuk.

Gia, maaf, sepertinya hubungan kita nggak bisa berlanjut lagi.Aku sudah nggak tahan sama hubungan jarak jauh ini. Aku butuh sosok perempuan yang nyata di samping aku. Bukan hanya suara dan kata-kata...

Gia hanya bisa termenung membaca pesan Nick itu. Sudah hampir 6 tahun mereka berpacaran, dan hampir 2 tahun mereka berpacaran jarak jauh antara Jakarta dan New York. Gia tidak menyangka hubungannya dengan Nick yang selama ini mati-matian dia pertahankan akan berakhir begitu saja.

Air mata yang Gia tahan tadi pun tumpah.

***

Seandainya Gia memutuskan hubungannya dengan Nick waktu Nick berangkat ke New York 2 tahun yang lalu, mungkin dia tidak akan merasa sesakit ini diputusin sepihak sama Nick. Seandainya waktu itu Gia setuju dijodohkan dengan Deva, mungkin Feya tidak akan menghilang. Seandainya waktu itu Gia tidak menggantikan Feya, mungkin dia tidak akan terkurung di kamar Deva seharian seperti ini.

Setelah lama berandai-andai, Gia lalu mendapat dorongan yanggila di kepalanya.

“Aku harus pergi dari sini,” ucap Gia pada dirinya sendiri. “Aku nggak mau peduli lagi sama perasaan orang lain karena mereka pun nggak ada yang peduli sama perasaanku!

Gia lalu mencoba menebak pin smart door lock di kamar Deva, tapi tebakannya selalu gagal dan malah membuat nomor di pintutidak bisa lagi ditekan.

Putus asa, Gia akhirnya membuka balkon kamar yang tidak dikunci. Kamar Deva terletak di lantai dua, jadi tidak terlalu tinggi untuk turun dari situ. Apalagi di bawah jendela kamar Deva adalah taman dengan rerumputan. Seharusnya tidak sakitkalau dia menjatuhkan diri di situ.

Gia kemudian membuka kopernya, dan dia menyambungkan lengan semua pakaiannya hingga bisa membuat tali yang cukup panjang. Setelah itu Gia mengikat ujung tali tadi ke teralis balkon. Setelah yakin ikatannya cukup kuat, Gia pun nekat menuruni dinding rumah Deva dengan berpegangan di tali.

Dalam hati Gia berpikir, seandainya tidak terpaksa, dia pasti tidak akan berani melakukan ini.

Sialnya, sebelum Gia sampai di dasar rerumputan, seseorang menangkap tubuhnya dan menggendongnya seperti pengantin.

“Aakk!”

Gia ketakutan karena menyangka Deva yang memergokinya, jadi dia menutup mata. Sampai akhirnya dia mendengar suara yang tidak pernah didengarnya.

Kamu mau kabur ke mana, Cantik?”

Gia lalu membuka matanya, dan seorang pemuda bermata cokelat muda tersenyum menatapnya.

Siapa dia?

***

Exit mobile version