Kalian pernah dengar istilah “Sandekala”?
Bukan, gue nggak lagi nanya judul film.
Mengutip dari Wikipedia, Sandekala adalah waktu ketika makhlus halus meninggalkan dunianya dan datang ke dunia manusia. Tepatnya pas senja, alias waktu langit berubah dari terang ke gelap. Jadi ketika para anak senja sedang menikmati indahnya matahari terbenam sambil ditemani secangkir kopi dan hati yang galau, di saat yang sama para makhlus halus masuk ke dunia kita untuk menggoda dan menakuti manusia.
Sandekala ini sebenarnya mitos yang cukup terkenal di kalangan orang Sunda. Makanya banyak orang Sunda yang bilang “pamali” kalau berada di luar rumah saat langit mulai gelap. Karena itu juga anak-anak yang lagi asik main pasti bakal dicariin orangtuanya dan langsung disuruh pulang ke rumah saatadzan maghrib berkumandang dengan alasan biar anak-anak mereka nggak sawan.
Jujur aja, dulu gue nggak percaya sama mitos kayak gitu. Menurut gue wajar aja kalau anak kecil disuruh pulang pas maghrib gitu. Secara udah waktunya ibadah, makan malam, bikin PR, atau tidur. Sampai akhirnya gue merasakan sendiri momen aneh ketika sandekala datang.
Waktu itu gue masih SMP kelas 8, dan gue punya dua teman sekelas yang juga satu kompleks sama gue. Kita panggil aja mereka si A dan si B. Gue selalu berangkat dan pulang sekolah naik angkot bareng mereka.
Karena hari itu ada kegiatan ekskul, kita pulang agak telat. Biasanya pukul tiga sore kita udah di rumah, tapi hari itu kitabaru keluar dari sekolah sekitar pukul lima sore. Setelah kejebak macet sebentar, kita akhirnya sampai di depan kompleks berbarengan dengan kumandang adzan maghrib. Terus, karena rumah kita bertiga agak jauh dari depan kompleks, kita harus jalan kaki dulu sekitar 700 meter sebelum akhirnya sampai diblok rumah masing-masing. Di kompleks kita memang agak susah ketemu ojek pangkalan, dan waktu itu juga belum ada ojek online, makanya pilihannya hanya jalan kaki atau minta orang rumah jemput di depan kompleks. Gue dan kedua teman gue tentu lebih memilih jalan kaki supaya kita bisa ngobrol lebih lama.
Sambil jalan kaki melewati gerbang kompleks, kita ngobrol soal ulangan sejarah tadi pagi. Saking hebohnya ngobrol, kita sama sekali nggak sadar kalau jalanan tuh udah sepi banget. Terus, di pertengahan jalan, kita mampir ke warung mi ayam yang jaraknya nggak jauh dari gerbang kompleks karena si A mau beli mi ayam buat makan malam. Tapi karena udah waktunya salat maghrib, si abang penjual mi ayam bilang mau salat maghrib dulu. Ya udah kita tunggu si abang selesai salat sambil terus ngobrol di depan warung. Toh langit juga masih merah, belum gelap banget.
Pas lagi seru ngobrolin teman kita yang ketahuan nyontek, si B tiba-tiba diam dan mukanya berubah pucat.
“Lo kenapa?” tanya gue yang bingung melihat perubahan sikapsi B.
“I-itu… itu apaan?” tanya si B terbata-bata. Gue dan si A pun melihat ke arah tatapan si B.
Jadi, sebelum warung mi ayam, ada gang kecil yang jadi aksesbuat ke perkampungan warga. Di samping gang itu ada kompleks pemakaman. Kecil sih, kayak pemakaman keluarga gitu. Tapi, karena pemakamannya ketutup tembok, jarang ada orang yang tahu kalau di gang itu ada kuburan. Makanya orang-orang juga nggak takut lewat di situ karena kuburannya nggak kelihatan.
Awalnya gue nggak tahu apa yang dimaksud si B waktu menunjuk ke arah gang. Sampai akhirnya gue melihat apa yang dilihat B. Makhluk halus berkain kafan, berdiri di pinggir jalan, menoleh ke arah kita.
Awalnya gue pikir itu ibu-ibu yang mau pergi ke masjid terus iseng mau bikin kita takut dengan mukenanya. Tapi, pas diperhatikan lagi, itu bukan mukena karena ada ikatan di bagianatas kepalanya dan di beberapa bagian tubuhnya.
“Lo lihat apa yang gue lihat nggak?” tanya si B lagi dengan suara gemetar.
Gue dan A mengangguk. Si A buka mulut bilang ‘Po…’, tapi nggak diterusin. Dia malah meremas tali tasnya dengan tangan gemetar.
“Kalian lihat mukanya nggak?” tanya gue.
A dan B kompak menggeleng. Mata kita bertiga nggak ada yang minus, tapi pocong yang kita lihat sore itu mukanya sama sekali nggak jelas. Padahal di sinetron atau di film horor yang gue tonton, pocong selalu kelihatan bentuk dan mukanya kayak gimana.
“Pulang yuk!” seru si A akhirnya.
Gue dan kedua teman gue itu pun langsung lari sekencang-kencangnya menuju rumah masing-masing. Goodbye deh abang mi ayam.
Sejak hari itu kita nggak pernah lagi pulang telat. Nggak lagi-lagi deh pulang pas maghrib gitu. Kalau pun terpaksa harus pulang sore, kita memilih minta dijemput orang rumah dan nggak melirik sama sekali ke arah pemakaman. Cukup hari itu aja kita ketemu sama pocong.
Tapi, sejak hari itu pula gue jadi tertarik nulis hal-hal yang berhubungan sama horor. Karena ternyata “mereka” memang ada.
Kalian sendiri pernah nggak mengalami hal yang sama kayak gue pas lagi sandekala? Cerita di kolom komentar yuk!