Game roleplay adalah permainan di mana setiap peserta mengambil peran karakter, umumnya dalam latar fantasi atau fiksi ilmiah, yang bisa berinteraksi dalam dunia imajiner permainan. Permainan ini mendorong pemain untuk menjadi sebuah karakter—seringkali karakter yang sangat berbeda dari kepribadian pemain di kehidupan nyata—dan seringkali tidak memiliki titik akhir.
Banyak konten dalam media sosial yang mungkin saja tidak sesuai dengan usia anak, begitu pun dalam roleplay. Video maupun skrip yang beredar, tak semuanya memiliki manfaat, cerita, dan dampak positif.
Psikolog klinis Kantiana Taslim menjelaskan dalam permainan roleplay, pengguna dapat menggunakan identitas yang dibuat dan bukan yang sebenarnya.
Melansir Itgeared, pemain RP biasanya akan memasukkan informasi fiktif. Tujuannya untuk mempertahankan identitas yang tengah dilakoni.
Psikiater Lahargo Kembaren, SpKj menjelaskan alasan seorang anak memainkan RP dengan orang yang tidak dikenal. Menurutnya, anak ingin mendapatkan perlakuan yang tidak didapatkan dalam kehidupan nyatanya.
Sisi buruknya, RP akan menimbulkan adiksi. Anak yang memainkannya tidak bisa berhenti melakukannya, karena merasa nyaman dan tenang.
“Ketika dia roleplay, ada kenyamanan, ‘ternyata senang ya aku jadi peran ini’. Itu di otaknya akan keluar hormon dopamine yang bikin kenyamanan bagi dia. Dia akan merasa tenang dan nyaman sesaat, tapi ketika sudah menurun dia tidak punya cara lain lagi untuk mendapatkan ketenangan itu selain melakukan hal yang sama, sehingga terjadilah pola perilaku yang berulang-ulang,”
Mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang pendidikan/Satuan Tugas Pengungsi Luar Negeri Indonesia Retno Listyarti menyoroti minimnya peran orangtua dalam pengawasan media sosial anak.
sumber : https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6784243/apa-itu-roleplay-lagi-ngetren-di-tiktok-dikhawatirkan-ganggu-psikis-anak