Risalah Hati (Chapter 14)

Di sepanjang perjalanan menuju rumah Deva, kedua telapak tangan Gia terus berkeringat. Saat di bandara tadi Gia masih bisabersikap normal karena dia berada di area umum yang luas. Tapi bertiga dengan Kemala di dalam mobil sedan membuat Gia lebih sadar diri, dan itu membuatnya semakin gugup. Dia bisa melakukan kesalahan kapan saja kalau gugup seperti ini.

Gia lalu mencoba memijat ibu jarinya untuk membuat dirinya lebih rileks, namun tidak berhasil. Tangannya tetap berkeringat dan sedikit gemetar setiap kali mendengar Kemala bicara. Dia takut Kemala menanyakan sesuatu yang membuat sandiwaranya bersama Deva terbongkar. Bisa tamat riwayat mereka berdua. Dan, yang terutama, riwayat papinya.

Deva yang dari tadi ngobrol dengan Kemala akhirnya menyadari kegelisahan di wajah Gia. Dia kemudian membelai rambut Gialalu tersenyum saat Gia menoleh, menatapnya dengan perasaan yang kini semakin campur aduk. Belum selesai dibuat gugup dengan kehadiran Kemala, Deva malah membuat Gia semakin gugup dengan perhatian manisnya.

Melihat Deva membelai rambut Gia, Kemala yang duduk di bangku belakang tersenyum puas. Namun sedetik kemudian dia berdeham, membuat Deva segera menarik kembali tangannya sementara Gia bergeser semakin dekat ke pintu. Kemala lalu menoleh ke Gia.

Feya?” tegur Kemala.

Gia menoleh perlahan ke arah Kemala. “Iya, Oma?”

“Anak Nakal ini sudah sarapan belum?” tanya Kemala sambil menjewer telinga Deva.

Deva teriak kesakitan, tapi Kemala tidak peduli dan malah menunggu jawaban Gia.

“Sudah, Oma,” jawab Gia. Seandainya dia tidak sedang gugup, dia mungkin akan menertawakan Deva yang menyetir mobil sambil meringis.

Dia sarapan pakai apa?” Kemala kembali bertanya.

Firasat Deva benar, gumam Gia. Oma akan menanyakan soal keseharian Deva.

Gia tidak langsung menjawab. Deva yang khawatir lalu melirik ke Gia yang ternyata sedang diam-diam membuka catatan di ponselnya.

Deva hanya mau sarapan roti bakar dan segelas kopi, Oma,” ucap Gia senatural mungkin. Namun di saat yang sama dia berharap Kemala tidak menyadari suaranya yang bergetar.

Sementara Deva tersenyum lega. Tapi, tidak lama, karena Kemala kembali menjewer telinganya. Deva pun kembali meringis kesakitan.

“Oma kenapa jewer aku terus sih?” protes Deva sambil melirik sengit ke Kemala. “Memangnya aku ada salah apa sama Oma?”

Banyak!” seru Kemala tidak mau kalah.

Coba sebutin!”

“Nggak mau!”

“Kenapa nggak mau?”

Supaya kamu nggak malu di depan istri kamu!

Deva cemberut mendengar jawaban Kemala. Tapi, saat dia melihat Gia tersenyum geli karena melihat pertengkaran sangnenek dan sang cucu, rasa kesalnya seketika hilang. Deva pun ikut tersenyum bersama Gia. Sementara Kemala tertawa senang karena berhasil mengalahkan Deva.

Setelah itu, Kemala kembali bertanya beberapa hal tentang Devake Gia. Syukurnya, Gia sudah tidak segugup tadi. Jadi dia bisa menjawab pertanyaan Kemala tanpa harus melihat contekan di ponselnya. Sampai akhirnya Kemala menanyakan satu hal yang membuat rasa gugup Gia kembali.

“Kalau nggak salah, rambut kamu lurus sepinggang ya? Kok jadi ikal sebahu gini? Atau Oma salah ingat ya?”

Jantung Gia rasanya berhenti berdetak saat mendengar pertanyaan Kemala itu. Tiba-tiba saja dia jadi tidak bisa berpikir.

“Itu…” Gia melirik Deva. Dia tidak tahu harus menjawab apa karena dia belum latihan dengan Deva tentang pertanyaan ini.“Rambutku

“Yang dikasih Pak Darmawan waktu itu foto lama, Oma,potong Deva, mencoba menyelamatkan Gia.Dari pertama aku ketemu Feya, rambutnya sudah ikal sebahu.”

Gia menganggukkan kepalanya agar Kemala yakin dengan kata-kata Deva. Sementara di dalam kepalanya dia merasa sangat bodoh. Ternyata berbohong tidak semudah yang dia kira.

Ternyata begitu…” ujar Kemala yang kemudian membelai rambut Gia. “Tapi Oma lebih suka rambut kamu yang ini. Kamu terlihat lebih dewasa dan cocok dengan Deva. Yang di foto waktu itu, kamu terlihat seperti anak kecil.”

Gia memaksakan dirinya tersenyum. Beruntung, Kemala tidak menyadari senyum palsu di wajah Gia. Namun pertanyaan Kemala berikutnya ke Deva membuat jantung Gia kembali berhenti berdetak.

“Eh, Anak Nakal! Bagaimana kalau malam ini kita undang Darmawan dan kakaknya Feya makan malam bersama?

Seketika Deva menginjak rem hingga membuat tubuh mereka bertiga terdorong ke depan. Untungnya mobil Deva berhenti mendadak tepat di depan gerbang rumahnya, bukan di jalan raya.

Walau begitu, Deva tetap meminta maaf, sementara Kemala kembali menjewer telinganya.

“Kalau kamu nggak bisa nyetir, pakai supir dong!” omel Kemala. “Oma ke Jakarta mau berlibur ya, Deva. Bukan cari mati!”

Kali ini Deva tidak protes dan dia tersenyum bersalah ke Kemala. “Maaf, OmaTadi tiba-tiba ada kucing lari.”

“Kucing matamu!Kemala mendengus sebal. “Walaupun mata Oma sedikit rabun, Oma masih cukup bisa melihat ya, Deva! Kamu aja yang nggak bisa nyetir!

Deva tertawa mendengar omelan Kemala, namun di hatinya diaberharap Kemala melupakan rencananya untuk mengundang Darmawan dan Gia. Sayangnya, doa Deva kali ini tidak berhasil.

“Jadi, bagaimana?Kemala kembali bertanya ke Deva. “Kamu bisa kan mengundang Darmawan dan kakaknya Feya?”

Kemala lalu beralih ke Gia. “Siapa nama kakakmu, Feya?”

“Gia, Oma.” Gia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak meringis saat menyebut namanya sendiri. “Nama lengkapnya Giani Putri Darmawan. Panggilannya Gia.

“Gia?

Kali ini Gia berhasil menahan dirinya untuk tidak menoleh saat namanya disebut. Tapi dia masih belum bisa bernapas lega. Diatidak tahu harus berbohong apa agar bisa menolak undangan Kemala.

“Pak Darmawan lagi ke Surabaya, Oma,” kata Deva, kembali mencoba menyelamatkan Gia dari rasa gugup. “Beliau sedang mempersiapkan pabrik baru di sana.”

“Sayang sekali…” Kemala kembali beralih ke Gia. “Kalau Gia, bagaimana?”

Gia hampir saja menjawab untuk dirinya, tapi untungnya dia bisa segera mengendalikan diri. Dan kali ini dia tidak menunggu Deva untuk menyelamatkan dirinya. Dia harus berani berbohong untuk kebaikan semua orang.

“Kakakku lagi ada di Amerika, Oma,” kata Gia mencoba menjawab setenang mungkin. “Dia sedang mengunjungi pacarnya yang kuliah di sana.

Oh ya? Sayang sekali…”

Kemala nampak kecewa, sementara Deva menoleh ke Gia dengan wajah terkejut. Ini hanya bohong belaka, atau Giamemang punya pacar di Amerika? Kok dia nggak pernah cerita? Atau gue yang lupa soal itu?

Sebelum Gia sempat melihat wajah kaget Deva, Kemala lebih dulu mencubit pipi Deva dan membuat cucunya itu kembali mengaduh kesakitan.

“Aku salah apa lagi sih, Oma?” seru Deva sambil mengelus pipinya yang memerah. “Dari tadi aku dijewer, dicubit

“Cepat buka pagarnya, Anak Nakal!kata Kemala tidak mempedulikan kekesalan Deva. “Mau sampai kapan kita parkir di depan rumah begini?!

“Oh iya…”

Dengan senyum malu Deva segera memencet remote kecil untukmembuka pagar dari dalam mobilnya. Sementara Kemala tersenyum ke Gia.

Bagaimana kalau di dalam rumah nanti aku membuat kesalahan fatal? Gia bergumam dalam hati sambil membalas senyuman Kemala dengan senyum gugup.

***

Syukurnya, yang Gia khawatirkan hari itu tidak terjadi. Ternyata di dalam rumah dia bisa bersikap natural sebagai istri Radeva Adhikara. Tangannya juga tidak lagi berkeringat maupun gemetar seperti waktu di mobil. Selain itu, Kemala juga tidak lagi bertanya yang aneh-aneh. Kemala lebih banyak istirahat di kamarnya seharian.

Tapi, beberapa hari kemudian, hal yang pernah Deva khawatirkan akhirnya benar terjadi.

Pagi itu langit masih gelap, tapi Kemala sudah bangun danmengetuk pintu kamar Deva.

“Deva…! Feya…! Buka pintunya…!

Tidak ada jawaban. Kemala kemudian kembali mengetuk pintu, tapi Deva tetap tidak bergerak di tempat tidurnya. Sementara Gia yang terbangun karena mendengar suara Kemala segera duduk di sofa. Seketika wajahnya berubah panik. Gia pun langsung menghampiri Deva.

“Dev…” Gia menepuk lengan Deva yang memeluk guling. “Bangun, Dev. Oma ketuk pintu tuh!

Gia semakin panik mendengar suara ketukan pintu yang semakin kencang. Namun Deva hanya mengerang pelan dan malah berbalik memunggungi Gia.

“Gimana nih…” gumam Gia pada dirinya sendiri.

Gia akhirnya buru-buru mengambil bantal dan selimutnya di sofa, lalu memindahkannya ke tempat tidur Deva. Kemudian dia mengacak sedikit sisi kosong di samping Deva seakan-akan dia habis tidur semalaman di situ. Setelah itu dia merapikan kuncir rambutnya sebelum membukakan pintu kamar untuk Kemala.

“Oma…” Gia tersenyum gugup saat melihat Kemala. “Selamat pagi, Oma…”

“Pagi, Gia!” Kemala tersenyum cerah. “Anak Nakal masih tidur ya?”

“Iya, Oma.” Gia menoleh ke arah Deva. “Semalam Devabegadang dan baru tidur jam 3 tadi. Ada kerjaan penting, katanya.”

Kemala mendengus. “Dasar Anak Nakal! Mengatur waktu aja kok nggak bisa!”

Kemala pun masuk ke dalam kamar diikuti Gia. Gia lalu naik ke tempat tidur dan duduk di samping Deva. Gia mencoba membangunkan “suaminya” itu, tapi Deva tidak bereaksi.

“Deva masih ngantuk banget kayaknya, Oma,” kata Gia dengan perasaan tidak enak.

Kemala yang tidak mudah menyerah lalu gantian membangunkan Deva. Kemala menepuk pundak Deva yang membelakanginya. “Deva Ayo, bangun! Kita sarapan, Nak.

Tidak seperti waktu di depan pintu tadi, Kemala nampak lembut saat membangunkan Deva.

“Ayo dong, cucu kesayangan Oma...” bujuk Kemala sambil membelai kepala Deva. Kita sarapan bareng, yuk!

Tidak ada jawaban. Hanya suara dengkuran Deva yang terdengar. Kemala lalu kembali menepuk pundak Deva, namun Deva hanya menjawab dengan erangan pelan. Kesal, akhirnya Kemala meninggikan suaranya.

“Ayo bangun, Deva! Ini sudah mau jam 6!” seru Kemala. “Kamu mau Oma bangunin pakai air seember?!”

Mendengar omelan Kemala, Deva akhirnya membuka sedikit matanya.

“Oma, aku habis begadang... Semalam aku meeting sama Samuel tentang progres toko kita di New York…” keluh Devasambil mengucek pelan matanya. “Aku sarapannya jam 8 ajaya?”

Kamu ini direktur, Deva. Nggak boleh bangun siang! Kalau rezeki kamu dipatok ayam, bagaimana?”

Ya nggak apa-apa, Oma. Berbagi rezeki kan baik.”

Dengan gemas Kemala mencubit pipi Deva, sementara Gia menahan tawa di samping Deva.

Omaaa!” Deva menatap jengkel Kemala. Dia ingin sekali memarahi nenek kesayangannya itu. Tapi saat dia melihat Giayang duduk di sampingnya, dia menarik Gia hingga jatuh ke kasur lalu memeluknya. “Oma keluar sana. Aku masih mau pelukan sama Gia sampai matahari terbit.”

“Gia?”

Deva dan Gia pun membeku seketika. Mereka saling bertatapan dengan wajah tegang. Apakah sandiwara kita akan terbongkardi sini?

Feya, Oma,” kata Deva yang langsung mengalihkan pembicaraan. Kayaknya Oma perlu ke dokter THT deh.”

Kuping Oma masih sehat ya, Anak Nakal! Kamu yang harusnya ke THT karena nggak denger waktu dibangunin!

Deva tertawa. Dia tidak menghiraukan omelan Kemala danmalah memeluk Gia lebih erat.

Oma tidur lagi aja sana. Aku masih mau tidur sama Feya. Kitasarapan jam delapan aja, kata Deva.

Sementara itu, Gia mencoba melepas tangan dan kaki Deva yang menahan tubuhnya. Sedangkan wajahnya merah menahan malukarena Deva tiba-tiba saja memeluknya begitu. Di depan Kemala pula!

“Dev!” seru Gia pelan. “Lepasin!”

Namun Deva tidak menghiraukan kepanikan di suara Gia. Dia malah kembali menutup matanya sambil terus memeluk erat Gia seakan gadis itu adalah pengganti gulingnya.

“Dev!” Gia kembali berbisik dengan nada memohon, tapi Deva tetap tidak bergeming.

Sementara wajah Gia semakin merah, Kemala malah tersenyum melihat Deva memeluk istrinya.

“Ya sudah. Nanti Oma bangunin kalian dua jam lagi, kata Kemala.

Deva tidak menjawab. Sementara Gia yang gagal melepaskan pelukan Deva hanya bisa menatap Kemala dengan perasaan tidak enak.

“Maaf ya, Oma…” ucap Kemala dari balik tubuh Deva.

Kemala menggeleng sambil tersenyum. “Oma balik ke kamar dulu ya,” ucapnya.

“Baik, Oma…”

Kemala lalu keluar dari kamar Deva dan menutup pintunya. Di dalam kamar, Gia kembali mencoba melepas pelukan Deva, tapi tenaga pemuda itu terlalu kuat untuk Gia. Lelah, akhirnya Gia mencoba mengajak Deva bicara.

“Dev” Gia menatap wajah tampan Deva yang tidur sangat dekat dengan wajahnya. Meski jantungnya berdetak sangat kencang, dia berusaha untuk bersikap biasa saja dan terdengartegas.Lepasin aku. Please.

Deva tidak menjawab. Gia lalu lanjut bicara, “Oma sudah keluar kamar, Dev. Kita nggak perlu sandiwara lagi.”

Deva tetap diam. Gia pun mengira Deva sudah benar-benar pulas. Akhirnya Gia menyerah dan memutuskan untuk ikut tidur sampai Deva berganti posisi dan melepaskan pelukannya.

Sebelum kantuk kembali membuat Gia tertidur, dia menatap wajah tampan Deva sekali lagi. Menatap alisnya yang tebal, bulu matanya yang panjang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang sedikit merah muda

Tolong jangan kayak gini lagi, Dev” bisik Gia dengan mata yang tiba-tiba basah. Kalau kamu kayak gini terus, bagaimana kalau nanti aku nggak mau mengakhiri sandiwara kita ini?”

Gia lalu menutup matanya sebelum air matanya jatuh.

Beberapa detik kemudian, Deva membuka matanya dan menatap Gia yang tertidur dalam pelukannya. Lalu Deva menanyakan risalah hatinya pada Gia. Dalam hati.

Bagaimana kalau saya juga nggak mau mengakhiri sandiwara ini, Gia? Apa kamu mau meninggalkan pacar kamu, seperti saya yang diam-diam sudah membatalkan pernikahan dengan adik kamu?

***