Lana tidak menyangka dia sekarang sedang duduk di samping Disty yang tampak serius menyetir.
Ini pertemuan pertama Lana dengan Disty setelah kakak perempuannya itu pergi dari rumah 3 tahun yang lalu, meninggalkan Lana hanya berdua dengan ibu mereka, Rani, tanpa alasan yang jelas.
Ini juga pertama kalinya Disty bicara dengan Lana setelah kakak yang lebih tua setahun darinya itu berhenti bicara dengannya 5 tahun lalu, juga tanpa alasan yang jelas.
“Kakak mau ngomong apa sama aku?” tanya Lana saat mobil yang dikendarai Disty melewati pinggiran sungai yang airnya tenang.
Disty menoleh ke Lana. Namun, yang akan diucapkan Disty bukan kalimat yang ingin Lana dengar dari saudara kandung satu-satunya yang dia miliki itu.
“Aku hamil, Lan.”
Apa kabar? Bagaimana kesehatan Bunda? Aku kangen kalian. Seharusnya kata-kata seperti itu yang diucapkan oleh seorang kakak yang sudah lama tidak menjenguk ibu dan adiknya. Bukan yang seperti tadi.
“Aku hamil anak pacar kamu. Baskara.”
Juga bukan yang seperti ini.
Namun, belum sempat Lana bereaksi atas ucapan Disty, sebuah truk berkecepatan tinggi tiba-tiba muncul di tikungan dan berhadapan dengan mobil yang dikendarai Disty.
“AWAS, KAK!!!”
Peringatan Lana kalah cepat dengan laju truk bermuatan kosong itu. Walau begitu, Disty cukup refleks membanting setir hingga mobil berputar menjauhi truk. Sayangnya, supir truk terlambat mengerem hingga akhirnya truk yang dibawanya mendorong mobil Disty hingga menabrak pembatas jalan.
Mobil yang dikendarai Disty jatuh ke sungai, tapi Lana tidak ingat jelas apa yang terjadi setelah itu.
Yang Lana ingat, mobil terjatuh ke dalam sungai yang ternyata cukup dalam itu. Lana lalu mencoba berenang keluar dari mobil. Namun tenaganya melemah saat dia menyadari Disty sudah lebih dulu berenang ke permukaan. Kesadarannya lalu perlahan menghilang dan, entah kenapa, dia merasa sangat mengantuk. Seperti orang yang tidak tidur seminggu.
Kemudian…
Gelap.
***
6 tahun yang lalu, Aryo Bagaskoro meninggal dunia karena komplikasi penyakit diabetes dan gagal ginjal yang dideritanya. Saat itu Disty baru berusia 18 tahun dan duduk di kelas 12 SMA. Sementara Lana baru berusia 17 tahun dan duduk di kelas 11 SMA.
Setelah pulang dari pemakaman Aryo, Lana mengurung diri di kamarnya. Di dalam sana, dia menangis sampai matanya bengkak dan air matanya tidak bisa menetes lagi.
Lana memang sangat menyayangi Aryo. Bagi Lana, Aryo adalah cinta pertamanya yang membuatnya selalu bahagia dan merasa berharga. Oleh karena itu, kepergian Aryo membuat Lana sangat kehilangan sosok ayahnya itu. Hatinya seketika jadi hampa. Semangatnya untuk menjalani hidup pun menghilang.
Rani dan Disty yang sebenarnya juga sedang berduka atas kepergian Aryo bergantian mencoba membujuk Lana untuk keluar kamar. Mereka khawatir karena Lana sama sekali tidak makan dan minum setelah pulang dari pemakaman Aryo. Namun, Lana tetap diam, menyembunyikan dirinya dari takdir kejam dunia.
Baskara—yang saat itu sedang kuliah semester 2 dan sudah setahun berpacaran dengan Lana—juga tidak bisa membujuk pacarnya itu untuk keluar dari kamar. Selembut apa pun Baskara memohon, Lana tetap mengurung dirinya dalam kegelapan, membiarkan dirinya tenggelam dalam lautan duka.
Di saat asam lambung Lana kambuh dan keringat dingin menghiasi keningnya, terdengar suara ketukan di kaca yang cukup kencang, seperti dipukul dengan batu.
Lana yang telungkup di tempat tidur menatap lemas ke arah jendela. Dia belum makan sama sekali dari pagi, dan dia habis menangis seharian. Dia sudah tidak punya tenaga untuk bangun dan melihat siapa yang mengetuk jendela kamarnya.
Lalu, PRANGG!!!
Kaca jendela kamar Lana pecah, membentuk lubang seukuran bola tenis. Sebuah tangan kemudian masuk di lubang itu. Tangan lentik yang kuku-kukunya dicat merah itu membuka kunci jendela kamar Lana.
Tangan itu milik Disty.
Dengan menaiki bangku, Disty masuk ke kamar Lana melalui jendela yang kini dia buka lebar-lebar. Dia tidak mempedulikan pecahan kaca yang menggores kakinya. Yang penting, dia berhasil masuk ke dalam kamar Lana.
Dari raut wajah Disty, Lana tahu kalau kakaknya itu sedang marah besar dengannya. Lana pun memaksakan dirinya untuk bangun dan duduk di tepi tempat tidur.
“Kak, ma—”
Belum sempat Lana menyelesaikan kata-katanya, Disty tiba-tiba memeluknya.
“Kamu nggak apa-apa kan, Lan?” tanya Disty sambil memperat pelukannya. Dari suaranya yang sedikit bergetar, terdengar jelas kalau Disty khawatir dengan adiknya itu. “Jangan kunci diri kamu kayak gini lagi ya, Lan. Kamu udah bikin aku sama Bunda khawatir.”
Lana mengangguk. Lalu dia menangis dalam pelukan Disty.
“Aku nggak mau kehilangan kamu, Lan,” ucap Disty yang kini ikut menangis bersama adiknya itu. “Jadi, kalau kamu sedih karena kepergian Ayah, kamu ngomong sama aku. Jangan mengurung diri kayak gini…”
“Iya, Kak…”
“Janji?”
“Janji…”
Disty lalu melepas pelukannya dan menatap Lana yang masih menangis.
“Kakak juga janji sama kamu,” ucap Disty sambil menghapus air mata Lana yang masih terus mengalir. “Kakak akan selalu ada buat kamu. Kakak akan selalu menjadi pendengar keluh kesah kamu. Jadi, kalau ada apa-apa, ngomong sama Kakak. Jangan dipendam sendiri. Oke?”
Lana mengangguk. Lalu dia kembali berpelukan dengan Disty.
Saat itu mereka berdua tidak tahu kalau setahun kemudian Disty akan mengingkari janjinya sendiri.
Lalu, ketika akhirnya Disty kembali bertemu dan bicara dengan Lana, dia malah membuat Lana terluka dan celaka.
***
Lana berpikir dia sudah mati tenggelam di sungai yang entah apa namanya itu. Karena, saat Lana membuka mata, dia berada di ruangan yang sangat terang. Lana mengira dia sedang berada di ruang tunggu alam baka, sebelum akhirnya bertemu malaikat yang akan membawanya ke surga atau neraka.
Sampai akhirnya Lana mendengar bunyi ‘bip bip bip’ dari mesin yang biasa ada di ruang ICU. Dia juga akhirnya menyadari kalau dia sedang berbaring di tempat tidur rumah sakit. Sementara sinar menyilaukan yang dilihatnya tadi berasal dari lampu yang berada tepat di atas kepalanya.
Rasa sakit kemudian menyerang kepala Lana sampai dia meringis dan mengaduh. Tapi, beberapa detik kemudian, gadis itu memaksakan diri untuk bangun dan duduk di tempat tidurnya. Kemudian dia melihat ke sekeliling ruang rawatnya.
Hanya ada satu tempat tidur di sana. Di samping kanan tempat tidur ada meja nakas dan tiang untuk menggantung infus. Sementara di kiri tempat tidur ada monitor yang menunjukkan tanda vital Lana. Lalu, di samping meja nakas, ada sebuah sofa berwarna krem yang senada dengan warna tembok ruang rawatnya.
Lana lalu bertanya-tanya. Bagaimana dia bisa berada di rumah sakit ini? Kenapa dia sendirian di sana? Bagaimana dengan Disty? Apa Disty dirawat di kamar yang berbeda? Atau…
Lana menggeleng.
Kak Disty pasti baik-baik saja, batin Lana. Dia sudah lebih dulu berenang ke permukaan sebelum aku. Dia pasti selamat.
Kemudian sebuah nama muncul di benak Lana.
Baskara… Air seketika menggenang di kedua mata Lana. Kamu di mana, Bas? Aku kangen…
Seorang suster bernama Melati masuk ke ruang rawat Lana tepat di saat gadis itu sedang memikirkan Baskara. Menyadari kalau Lana sudah siuman setelah hampir 3 hari tidak sadarkan diri, Suster Melati segera memeriksa kondisi vital Lana di monitor. Kemudian dia meminta Lana kembali berbaring sebelum dia pamit pergi untuk memberitahu Dokter Adrian—dokter yang merawat Lana—kalau Lana sudah siuman.
Namun, bukannya mengikuti permintaan Suster Melati, Lana malah turun dari tempat tidur dan keluar dari ruang rawatnya.
Lana mencoba berjalan menyusuri lorong rumah sakit untuk pergi ke bagian informasi. Dia ingin meminjam telepon untuk menelepon Baskara. Dia harus memberitahu Baskara di mana dia berada sekarang. Dia tidak mau membuat kekasihnya itu semakin khawatir.
Tapi, nyeri di kepala Lana terasa semakin sakit, dan kakinya terlalu lemah untuk diajak berjalan.
Lana akhirnya duduk di bangku panjang yang berada di depan ruang rawat 501, yang terletak di sebelah ruang rawatnya yang bernomor 502. Lana memutuskan akan menunggu di sana sampai Suster Melati datang dan membantunya kembali ke ruang rawatnya. Dia tidak mau lagi mengambil resiko yang akan membuat kondisinya semakin buruk.
Namun, betapa kagetnya Lana saat pintu ruang 501 terbuka, seorang pemuda tampan berkacamata yang sangat dikenalnya keluar dari sana.
“Baskara…” Lana refleks berdiri. Wajahnya seketika tersenyum lega karena bisa melihat pemuda yang sangat dicintainya itu. Namun, sedetik kemudian, kening Lana membentuk kerutan. “Kamu ngapain di ruangan itu, Bas?”
Baskara tidak menjawab pertanyaan Lana. Dia malah mematung di depan pintu ruang 501 yang kini sudah kembali tertutup.
“Bas?” Lana kembali menegur Baskara, namun jantungnya kini berdebar kencang.
Kenapa Baskara mematung begitu? batin Lana. Apa dia marah sama aku karena aku sudah membuat dia khawatir?
“Kamu nggak apa-apa, Bas?” tanya Lana. Matanya menatap Baskara, mencoba membaca emosi di raut wajah pemuda itu. Tapi, nihil. Wajah Baskara terlalu datar untuk dibaca.
“Aku nggak apa-apa,” kata Baskara akhirnya setelah menggantung pertanyaan Lana cukup lama. “Kamu sudah lama sadar?”
Lana menggeleng.
“Aku baru sadar barusan,” ucapnya sambil kembali duduk karena kepalanya kembali terasa nyeri. “Mungkin sepuluh menit yang lalu…”
“Oh…”
Baskara lalu ikut duduk di sebelah Lana, tapi posisinya cukup berjarak dengan gadis itu. Lana pun menatap Baskaran dengan tatapan heran. Selama pacaran, Baskara tidak pernah duduk berjauhan dari Lana. Tapi, kenapa saat gadis itu sangat membutuhkan Baskara berada di sampingnya, pemuda itu malah menjaga jarak?
Walau bingung dengan perubahan sikap Baskara, Lana terus menatap kekasihnya yang sangat tampan itu. Dalam hati, Lana masih berharap Baskara akan menanyakan keadaannya atau menunjukkan sedikit kekhawatiran. Tapi, setelah satu menit menunggu, pemuda itu hanya diam menatap tembok polos di depannya dengan tatapan kosong.
Melihat sikap Baskara yang kaku dan tak acuh, Lana merasa ada yang janggal. Di saat yang sama, dia juga merasa sedih. Dia tidak suka melihat Baskara menjaga jarak dengannya seperti itu.
“Kamu marah sama aku, Bas?” Lana akhirnya memberanikan diri bertanya. “Aku minta maaf karena aku sudah membuat kamu khawatir. Aku nggak bermaksud—“
“Nggak perlu minta maaf, Dis,” potong Baskara tanpa melihat wajah Lana. “Percuma. Semuanya sudah terjadi.”
Kata-kata Baskara membuat Lana semakin bingung. Namun, ada satu kata yang membuat gadis itu sangat bingung dan sakit hati.
“Kamu bilang apa barusan, Bas?”
Baskara menghela napas panjang, lalu akhirnya dia menoleh ke Lana.
“Aku bilang, kamu nggak usah minta maaf.”
“Bukan itu,” kata Lana sedikit tidak sabar. “Kamu panggil aku apa tadi?”
“Apa?” Baskara mencoba mengingat kembali apa yang dia ucapkan tadi. “Dis?”
Lana mematung. Kenapa Baskara memanggil namaku pakai nama Kak Disty?
Tiba-tiba, Lana teringat dengan kata-kata Disty sebelum mereka mengalami kecelakaan.
“Aku hamil, Lan. Aku hamil anak pacar kamu. Baskara.”
Air mata Lana seketika menggenang. Hatinya pun terasa semakin nyeri seperti habis dipukul dengan batu yang digunakan Disty untuk memecahkan kaca jendela kamarnya 6 tahun lalu.
“Kamu kenapa panggil nama aku pakai nama Kak Disty, Bas?” tanya Lana dengan suara bergetar menahan emosi. “Kalau selama ini kamu suka sama Kak Disty, bilang terus terang, Bas! Jangan malah menusuk aku dari belakang kayak gini!”
Namun, bukannya menjelaskan apalagi memeluk Lana yang sedang terbakar emosi, Baskara malah terlihat semakin bingung.
“Kamu ngomong apa sih?” seru Baskara. “Dari pertama aku kenal kamu, ya nama kamu Disty. Adisty Prameswara. Lana dan Bunda Rani memanggil kamu ‘Disty.’ Jadi, salahku di mana kalau aku memanggil kamu ‘Disty’ juga?”
Lana terdiam. Kepalanya terasa semakin sakit. Batu yang tadi memukul hatinya kini pindah memukuli kepalanya.
“Kayaknya kecelakaan ini membuat emosi kamu nggak stabil,” lanjut Baskara. “Lebih baik kamu kembali ke kamar sebelum kondisi kamu makin parah.”
Baskara bangkit dari kursi, tapi Lana menahan lengan kaus hitam yang dipakai kekasihnya itu.
“Aku Lana, Bas,” ucap Lana. Kemudian dia berdiri dan menatap lurus ke mata Baskara dengan tatapan terluka. “Aku Alana Prameswati. Kamu lupa sama aku?”
Mendengar pertanyaan Lana, Baskara semakin bingung.
“Dis, kayaknya ada yang salah sama kamu,” ucap Baskara hati-hati. Dia tidak mau menyakiti hati gadis yang terus memegang lengan kausnya itu. “Lebih baik kamu kembali ke kamar kamu sekarang. Aku akan panggil dokter buat memeriksa kamu.”
Baskara melepas tangan Lana, lalu dia kembali masuk ke ruang 501, meninggalkan Lana yang mematung di tempat.
Walau kepalanya semakin sakit dan kakinya sangat lemah, Lana akhirnya memaksakan diri melangkah. Namun, bukannya kembali ke ruang rawatnya, dia malah masuk ke ruang 501.
Baskara seketika menoleh saat pintu ruang 501 terbuka.
“Kamu ngapain ke sini, Dis?” tanya Baskara sedikit emosi. “Kondisi Lana masih belum stabil.”
Lana tidak menghiraukan Baskara yang mencoba menahannya masuk. Dia juga tidak menghiraukan kata-kata Baskara yang menyebut namanya. Dia malah mendorong pintu kamar mandi yang terletak di samping pintu kamar. Kemudian dia menatap cermin bulat yang berada di atas wastafel.
Detik itu Lana akhirnya paham kenapa Baskara terus memanggilnya dengan nama Disty.
Karena, pantulan wajah kakaknya itu yang kini Lana lihat di cermin. Bukan pantulan wajahnya sendiri.
Nggak mungkin… Lana menatap histeris cermin di depannya. Nggak mungkin! NGGAK MUNGKINNN!!!
***