Unexpected Reunion (Chapter 1)

Blue & Grey tutup lebih cepat karena sepasang kekasih yang menjadi tamu malam ini tiba-tiba bertengkar dan memutuskan untuk pulang karena nafsu makan mereka sudah hilang. Suasana di restoran fusion Asia dan Eropa berkonsep private dining itu pun kembali sepi. Kini di sana hanya ada Lana yang sedang merapikan meja makan, dan Baskara yang sedang merapikan isi kulkas. 

Baskara merupakan pemilik sekaligus chef di Blue & Grey yang bertanggung jawab dalam urusan memasak dan keuangan. Sementara Lana adalah manajer yang mengurus banyak hal lainnya di restoran itu, mulai dari mengatur jadwal kedatangan tamu sampai menyajikan makanan. Selain partner kerja, mereka juga sepasang kekasih yang sama-sama suka dengan dunia kuliner.

Blue & Grey sendiri sebenarnya adalah tempat tinggal Baskara yang terletak di jalan utama sebuah kompleks perumahan yang cukup terkenal di selatan Jakarta. Baskara yang tinggal sendirian di sana—sejak kedua orangtuanya pindah ke Bali 8 tahun lalu untuk mengurus bisnis penginapan mereka—ingin mewujudkan mimpinya menjadi seorang chef yang memiliki restoran sendiri. Baskara yang memang suka dan jago memasak itu akhirnya meninggalkan bangku kuliahnya di jurusan Desain Komunikasi Visual untuk mendalami ilmu memasak di sekolah kuliner terbaik di Jakarta. 

Setelah lulus, Baskara mengubah lantai pertama rumahnya menjadi restoran yang dia impikan, yang suasananya nyaman seperti main ke rumah teman. Baskara lalu mengajak Lana yang merupakan lulusan sekolah bisnis dan manajemen untuk bekerja di restorannya yang kemudian dia beri nama Blue & Grey, warna kesukaan dua sejoli itu. Mereka pun bekerja sama membangun Blue & Grey hingga akhirnya restoran rumahan itu kini jadi banyak peminatnya. 

Walau baru dua tahun berdiri, waiting list untuk makan di Blue & Grey cukup panjang. Apalagi mereka hanya menerima 2 grup tamu setiap malamnya dengan jumlah tamu 2 sampai 6 orang per grup. Bisa dibilang, dua tamu yang pulang tadi sudah membuang sia-sia waktu dan kesempatan mereka untuk menikmati makan malam di Blue & Grey.

“Sup buatan kamu jadi kebuang deh, Bas,” sesal Lana saat menaruh dua mangkuk cream soup yang belum sempat tersentuh dua tamu tadi ke kitchen sink.

Baskara yang masih berdiri di depan kulkas menoleh ke Lana sambil tersenyum.

“Nggak apa-apa, Lan,” ucap pemuda berusia 25 tahun itu sambil memakai kacamata yang dari tadi berada di saku kaus abu-abu yang dipakainya. “Yang penting pasangan itu nggak bertengkar lagi di sini. Pusing aku dengernya.”

Lana mengangguk setuju. Pertengkaran pasangan yang ketahuan selingkuh tadi hampir membuat kepalanya migrain. Dalam hati Lana pun bersyukur karena dia tidak pernah bertengkar dengan Baskara seperti itu.

Setelah selesai merapikan bahan makanan, Baskara menutup pintu kulkas. Lalu dia menghampiri Lana yang kini sedang mengelap meja makan dengan kain lap.

“Kamu mau makan malam apa?” tanya Baskara sambil mengungkung Lana dengan kedua tangannya, membuat gadis berambut cokelat gelap yang terjebak di antara meja dan tubuhnya itu berhenti mengelap meja. Kemudian Baskara menaruh dagunya di bahu Lana. “Masakanku, atau kita beli nasi padang kesukaan kamu?”

Pertanyaan Baskara membuat Lana tersenyum. Satu, karena dagu Baskara yang bergerak-gerak di bahunya saat dia bicara membuat Lana geli. Kedua, karena dia memang sedang ingin makan nasi padang.

“Sebelum aku menjawab pertanyaan kamu, kamu jawab dulu pertanyaanku,” ucap Lana sambil berputar dalam kurungan tangan Baskara sehingga dia bisa bertatapan dengan pemuda yang sudah 7 tahun menjadi kekasihnya itu. “Kenapa minggu depan kita nggak menerima tamu? Kamu mau cuti?”

Baskara menatap manik mata Lana yang berwarna cokelat tua. Namun, bukannya menjawab pertanyaan Lana, dia tersenyum.

“Ditanya kok malah senyum?” seru Lana jengkel. Kemudian dia menurunkan kacamata yang membingkai wajah Baskara hingga ke ujung hidung mancungnya. “Jawab pertanyaanku, atau malam ini kamu bikinin aku rendang sepuluh kilo!”

Baskara membetulkan kembali posisi kacamatanya sambil tertawa karena geli mendengar ancaman Lana. Kemudian dia menatap Lana dengan wajah serius. 

“Aku mau ajak kamu ke Bali,” ucap Baskara.

“Kita mau liburan ke Bali?” tanya Lana dengan mata berbinar.

23 tahun hidup di Indonesia, Lana belum pernah sekali pun pergi ke Bali. Dari kecil dia ingin sekali liburan ke pulau dewata itu. Tapi, karena kedua orangtuanya sibuk bekerja, mereka nggak punya waktu untuk mengajak anak-anak mereka liburan. Sedangkan sekarang Lana yang terlalu sibuk bekerja sampai nggak punya waktu untuk pergi liburan.

“Lebih dari itu.” Baskara merapikan beberapa helai rambut Lana yang menjuntai menutupi mata lalu menyelipkannya di belakang telinga gadis itu. “Aku mau ajak kamu ketemu Ibu dan Bapak.”

Lana terdiam menatap Baskara. 

Walau sudah cukup lama pacaran, Lana belum pernah sekali pun bertemu dengan kedua orangtua Baskara. Lana memang pernah beberapa kali bicara dengan Desi dan Damar saat Baskara video call atau menelepon kedua orangtuanya itu—dan mereka selalu memperlakukan Lana dengan ramah—tapi hubungan Lana dengan kedua orangtua Baskara hanya sebatas itu saja. Lana tidak tahu bagaimana reaksi orangtua Baskara jika bertemu langsung dengannya nanti.

Jangan salah sangka. Lana adalah gadis yang sangat cantik. Tubuhnya tinggi langsing. Kulitnya putih mulus. Rambutnya lurus halus dengan panjang sepinggang. Wajahnya mulus tanpa jerawat. Alisnya tebal dan rapi. Bulu matanya panjang dan lentik. Hidungnya mancung. Pipi dan bibirnya merah muda. Persis seperti boneka.

Hanya saja, Lana tidak pernah percaya diri dengan penampilannya yang menurutnya biasa saja. 

Pakaian yang Lana gunakan selalu kasual, hanya kaus v-neck polos dan celana jeans. Sementara make up yang dia gunakan juga selalu natural, hanya face tint dan lip tint dengan warna yang tidak jauh beda dari warna asli bibirnya. Yang pasti, Lana tidak pernah mengenakan gaun yang ketat memeluk tubuh, high heels yang membuat kakinya jenjang, apalagi lipstik berwarna merah menyala seperti gambaran wanita cantik di sosial media.

Sedangkan Baskara adalah pemuda yang sangat tampan. Walaupun Baskara juga selalu memakai pakaian yang kasual dan hanya menggunakan basic skincare, pemuda berkacamata minus 3 itu selalu tampak seperti model. Baskara juga pemuda yang pintar secara akademis sampai dia berhasil membuat Lana jatuh cinta karena he’s such an attractive nerd. Belum lagi, latar belakang keluarga Baskara yang merupakan pengusaha penginapan yang sukses, sementara Lana hanya berasal dari keluarga karyawan biasa—walau Lana sangat bangga dengan prestasi kedua orangtuanya. Lana pun jadi tidak yakin orangtua Baskara mau mengizinkan putra mereka yang sempurna itu berpasangan dengan gadis biasa saja seperti dirinya. 

“Kamu yakin, Bas?” tanya Lana akhirnya. 

“Kamu takut?” Baskara tersenyum jail. “Orangtuaku nggak gigit kok.”

“Bukan itu…” Lana mencubit perut Baskara yang tidak buncit itu dengan gemas. “Aku cuma…”

“Iya, iya…” potong Baskara sambil balas mencubit pipi Lana dengan gemas. “Aku paham sama apa yang kamu khawatirkan.”

Lana pun menunduk. Sekian tahun bersama, tentu Baskara bisa dengan mudah membaca kekhawatiran di wajahnya. 

“Kamu nggak perlu khawatir, Lan,” sambung Baskara. “Walau kalian nggak pernah ketemu, orangtuaku sudah sayang sama kamu seperti mereka sayang sama aku. Mereka juga sudah lama merestui hubungan kita, bahkan sebelum aku minta.”

Lana diam. Tapi, dalam hati, dia terharu mendengar kata-kata Baskara tadi. Dia tidak menyangka kalau orangtua Baskara mau menerima kehadirannya di samping putra mereka.

Baskara lalu meraih tangan Lana dan menggenggamnya.

“Aku mengajak kamu menemui orangtuaku karena aku mau menunjukkan ke kamu kalau aku serius sama hubungan kita,” ucap Baskara dengan wajah serius. “Walaupun aku belum pernah membahas hubungan kita ini mau dibawa ke mana, aku mau kamu tau kalau aku serius sama kamu.”

Seketika, kedua mata Lana berkaca-kaca. Kemudian dia memeluk Baskara untuk menyembunyikan air matanya yang hampir tumpah.

“Oke…” ucap Lana dengan suara bergetar menahan tangis. “Kita ke Bali minggu depan.”

Baskara tersenyum, lalu dia melepas pelukan Lana. Kemudian dia menghapus setetes air mata yang jatuh membasahi pipi gadisnya itu. 

“Tapi, kamu jangan nangis lagi, ya?” pintanya.

Lana mengangguk walau air matanya kini semakin deras mengalir. Baskara pun mengecup kening Lana. Lalu dia kembali menarik Lana dalam pelukannya, membiarkan gadis itu menangis dalam dekapannya.

Bisa mencintai dan dicintai oleh Alana Prameswati adalah kebahagiaan terbesar dalam hidup Baskara Wijaya. Dia berharap, dengan membuktikan keseriusannya pada hubungan mereka, dia tidak akan pernah kehilangan gadis itu.

***

Seminggu kemudian, Baskara dan Lana pergi ke Bali. Pesawat yang membawa mereka akhirnya tiba di Bandara Ngurah Rai setelah sempat tertunda 1 jam. Namun, bukannya membawa Lana ke rumah kedua orangtuanya, Baskara membawa Lana ke sebuah rumah bergaya Japandi yang juga berada di kawasan Ubud.

“Kok kita nggak langsung ke rumah orangtua kamu, Bas?” tanya Lana saat Baskara selesai membayar taksi yang mereka tumpangi dari bandara.

“Di rumah orangtuaku cuma ada dua kamar. Kamar orangtuaku dan kamarku. Di sana nggak ada kamar tamu,” kata Baskara. “Penginapan mereka juga lagi full booked karena disewa sama beberapa pengisi acara festival buku di Ubud. Jadi, untuk sehari ini kita tinggal di sini. Besok kita bisa pindah ke penginapan orangtuaku setelah tamu-tamu itu check out.”

“Oke…” Lana melihat arah jendela bulat yang menjadi daya tarik rumah bernuansa Jepang itu. “Omong-omong, ini rumah siapa, Bas?” 

“Ini rumah orangtuaku juga,” jawab Baskara sambil mengambil kunci yang ada di bawah keset bertuliskan WELCOME di depan pintu. “Tapi rumah ini cuma disewakan buat Airbnb.”

“Oh…”

“Sebenarnya kita bisa tidur di rumah orangtuaku,” lanjut Baskara setelah dia berhasil membuka pintu. “Tapi kita harus tidur bareng di tempat tidurku yang hanya cukup buat satu orang. Mau?”

Baskara menaikkan alisnya sambil tersenyum jail, sementara kuping Lana terasa hangat. Lana pun buru-buru masuk ke dalam rumah yang tampak nyaman itu.

“Aku mau tidur di kamar yang ada jendelanya,” kata Lana, pura-pura tidak peduli dengan wajahnya yang memerah. “Kamu bisa tidur di halaman.”

“Kejam! Ini kan rumah orangtuaku!”

Walau protes, bibir Baskara membentuk senyum. Dia senang sudah berhasil menggoda Lana.

“Kamar yang ada jendela letaknya di sebelah sana,” kata Baskara sambil menggandeng Lana menuju kamar di pojok rumah. “Tapi kamar itu agak panas karena letak jendelanya menghadap ke timur. Nggak papa?”

“Nggak papa,” jawab Lana. “Toh aku nggak akan lama-lama di kamar. Cuma pas tidur aja.”

“Baiklah…”

Lana dan Baskara kemudian masuk ke dalam kamar yang akan menjadi kamar Lana. Interiornya persis seperti penginapan di Kyoto yang pernah Lana lihat fotonya di Pinterest. Sederhana, tapi nyaman.

“Terus, kamu tidur di mana, Bas?”

“Di halaman.”

Lana cemberut sementara Baskara tersenyum geli.

“Aku tidur di kamar yang ada di samping pintu masuk tadi,” sambung Baskara. Lalu dia mencubit lembut pipi Lana. “Kamu istirahat dulu di sini ya, Alana cantik. Nanti sore kita ketemu lagi.”

“Kamu mau ke mana?” tanya Lana.

“Aku mau ke rumah temenku sebentar,” jawab Baskara. Melihat kekhawatiran di wajah Lana, dia menambahkan, “Jangan takut. Ada Bu Indah yang menjaga rumah ini. Rumahnya pas di samping. Kalau ada apa-apa, kamu bisa minta tolong sama dia.”

Walau tidak yakin, Lana akhirnya menjawab, “Oke…”

Baskara pun tersenyum sambil mengacak puncak kepala Lana. “Aku jalan dulu, ya?”

Setelah Lana mengangguk, Baskara keluar dari kamar Lana, lalu dia pergi meninggalkan rumah sambil memesan taksi online.

Baskara ada janji dengan Gilang, teman kuliahnya yang kini tinggal di Kuta dan menjadi pengrajin perhiasan di sana. Dia ingin mengambil cincin yang dia pesan dari toko perhiasan milik temannya itu. Cincin yang akan dia gunakan untuk melamar Lana malam nanti.

Baskara tidak tahu kalau siang itu kali terakhir dia bersama Lana.

***

Langit mulai memerah, tapi Baskara belum juga pulang. Dia juga tidak menjawab telepon maupun pesan dari Lana.

“Kamu ke mana sih, Bas?” gumam Lana khawatir sambil kembali melihat ponselnya yang masih sunyi. Tidak ada telepon, apalagi pesan dari kekasihnya itu.

Tidak lama kemudian, Lana mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumah. Lana pun bergegas keluar karena mengira itu Baskara yang pulang naik taksi. Namun, saat Lana melihat sosok yang turun dari sebuah sedan mewah yang kini terparkir di halaman itu, senyum di wajahnya berubah menjadi kerutan di kening.

“Kak Disty…?” gumam Lana ke dirinya sendiri.

Seorang gadis cantik bergaun merah dan memakai high heels hitam melambaikan tangannya ke arah Lana. Rambut panjangnya yang berwarna cokelat terang tergerai bebas, bergoyang ke kiri dan kanan, mengiri langkahnya yang mendekat ke Lana. Sementara bibirnya yang dipoles lipstik berwarna merah menyala membentuk segaris senyum.

Dia adalah Adisty Prameswara, kakak kandung Lana yang memiliki persona yang berbanding terbalik dengannya. 

Disty adalah seorang fashion stylist yang karirnya sedang naik daun. Dia juga seorang model dan beauty influencer yang senang memperhatikan penampilan dirinya. Oleh karena itu, Disty selalu terlihat cantik seperti bidadari tanpa cela. Saking cantiknya, Lana sempat berpikir kalau kakaknya itu lebih cocok berada di samping Baskara dibandingkan dirinya.

“Itu Kak Disty, kan?” Lana kembali bergumam sambil terus menatap Disty.

Lana tidak percaya dia akan bertemu kembali dengan Disty. Apalagi di tempat yang jauh dari rumah seperti ini.

Tapi… Dari mana Kak Disty tau kalau aku ada di sini? batin Lana.

Disty—yang, tentu saja, tidak mendengar pertanyaan di benak Lana—memeluk adiknya itu dengan pelukan yang hanya bertahan dua detik. Lalu dia menatap Lana dengan wajah serius.

“Ada yang mau Kakak omongin sama kamu, Lan,” ucapnya.

Lana tersenyum kikuk. Setelah sekian lama tidak bertemu, dia tidak tahu harus bersikap bagaimana dengan Disty. Apalagi raut wajah dan pesona kakaknya itu tidak pernah gagal mengintimidasinya.

“Kalau gitu, silakan masuk, Kak,” ucap Lana sambil membukakan pintu lebih lebar. “Kita ngobrol di dalam.”

Namun, Disty menggeleng. 

“Jangan di sini,” kata Disty. “Kita ngobrol di jalan aja. Sekalian kamu temenin Kakak ke pengrajin kain di sekitar sini. Aku mau cari kain buat acara pemotretan bulan depan.”

“Tapi, Baskara lagi pergi…”

“Kamu kirim pesan aja ke Baskara sekarang. Bilang sama dia kalau kamu lagi jalan sebentar sama aku.”

Lana menelan ludah. Dia tidak mau meninggalkan rumah tanpa persetujuan Baskara dan membuat kekasihnya itu khawatir. Namun dia juga tidak bisa menolak permintaan kakaknya itu.

Akhirnya, Lana mengunci pintu rumah, lalu dia mengikuti Disty yang sudah berjalan kembali ke mobil yang disewanya selama berada di Bali itu.

***

Ini pertemuan pertama Lana dengan Disty setelah kakak perempuannya itu pergi dari rumah 3 tahun yang lalu, meninggalkan Lana hanya berdua dengan ibu mereka, Rani, tanpa alasan yang jelas. Sementara ayah mereka, Aryo, sudah meninggal dunia saat Disty dan Lana masih duduk di bangku SMA. 

Ini juga pertama kalinya Disty bicara dengan Lana setelah kakak yang lebih tua setahun darinya itu berhenti bicara dengannya 5 tahun lalu, juga tanpa alasan yang jelas.

Namun, yang diucapkan Disty bukan kalimat yang ingin Lana dengar dari saudara kandung satu-satunya yang dia miliki itu. 

“Aku hamil, Lan,” ucap Disty. “Aku hamil anak pacar kamu. Baskara.”

Belum sempat Lana memberi reaksi atas ucapan Disty, mereka mengalami kecelakaan.

***

Exit mobile version