Danilla kehilangan pandangannya kepada lelaki yang baru saja dia seperti lihat beberapa detik lalu. Danilla berjalan menuju IGD, namun keadaan Sabtu malam itu begitu ramai. Lorong rumah sakit dipenuhi oleh orang-orang yang mengantri obat dan menunggu giliran untuk diperiksa. Danilla pun berjalan pelan karena di depannya ada beberapa petugas medis yang mendorong bed yang ditempati oleh seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan akhir. Tetapi wajahnya tidak terlalu jelas. Tubuh Danilla seakan reflek tetap mencari Langit yang mungkin akan ke IGD bersama dengan rombongan para petugas medis itu. Berry dan Indy saling pandang kemudian mengikuti Danilla yang mengikuti Langit.
“Gue rasa Tuhan itu lagi nunjukin Danilla harus kemana, ya gak sih? It’s obvious!” Berry yang melihat Danilla mengikuti Langit ikut antusias. Indy juga tersenyum melihatnya.
“Iya, dan dia ngikutin kemana hatinya harus pergi.”
“Uhh, gue akan jadi shipper paling setia!”
“Gue berharap juga. Semoga Tuhan memang menjodohkan mereka berdua.”
“Tapi kali ini kita balik aja gimana? Gue cape banget, Ndy.”
“Setuju. Yuk! Biar mereka aja berdua.”
Indy dan Berry meninggalkan lorong rumah sakit dan berjalan menuju keluar.
Danilla sudah tiba di depan pintu IGD, melihat ke sekitar dan tidak menemukan di mana Langit. Danilla hampir saja tidak sadar atau distracted karena harus mencari Langit. Padahal dia bisa saja membantu di IGD, walaupun hari itu bukan bagian shift-nya. Hingga, beberapa saat, beberapa perawat di dalam IGD menyambut Danilla dengan rasa lega. Sementara, dalam balik tirai UGD, wanita yang dibawa oleh Langit didampingi Langit.
“Dokter Danilla, syukurlah dokter udah pulang. Langsung shift malem, dok?”
“Iya, baru aja tadi siang. Harusnya saya pulang, tapi saya ingin ke sini dulu.”
“Beberapa dokter sedang mengoperasi, jadi dari tadi pagi hectic.”
Danilla mulai merasa ingin membantu dan mau melihat chart pasien. Tetapi salah satu tirai terbuka dan membuat kegaduhan. Bahkan perawat yang ada di dalamnya hampir menyembul dari tirai karena panik menahan pasien itu. Pasien wanita berusia sekitar 50 tahunan itu, baru saja tersadar dan mungkin panik kalau dirinya masih ada di rumah sakit. Wanita itu berusaha keluar dari tirainya, tetapi perawat menahannya. Bahkan beberapa perawat yang mau membantu, tidak bisa karena sibuk masing-masing.
“Ibu, maaf tapi jangan dulu banyak gerak, karena baru saja disuntikkan obat.”
“Saya baik-baik aja, sus. Udah enakan kok, saya mau pulang aja. Saya ada urusan!” Wanita itu tetap kekeuh dan merasa dirinya baik-baik saja. Padahal tangan kanannya seperti menahan rasa sakit di perut bagian tengah dan atasnya.”
“Saya mohon ibu kembali ke tempat tidur. Setidaknya sampai ponakan ibu datang.” Suster memohon kepada wanita itu dengan pelan-pelan dan berharap ucapan soal ponakan akan membuatnya diam.
“Justru saya mau susul ponakan saya. Udah ya sus, makasih!” Wanita itu terus berusaha berjalan, tetapi saat mau keluar dari tirai, tiba-tiba gontai dan terhuyung hampir jatuh. Danilla yang melihat itu segera menangkap wanita itu supaya tidak terbentur ke lantai.
“Ibu, tolong berbaring dulu ya. Saya periksa sebentar, kalau memang sudah bisa pulang, saya ngga akan melarang kok.” Danilla menjelaskan kepada wanita itu dengan lembut dan sopan. Bahkan, wanita itu saja kini mulai melunak dan menatap Danilla dengan heran tetapi tidak berani protes seperti pada perawat tadi. Wanita itu pun perlahan mau duduk lagi di tempat tidurnya.
“Mbak, siapa ya?”
“Saya dokter di sini, Bu. Sebentar ya bu. Sus, boleh saya lihat catatan medis ibu ini?” Suster memberikan file catatan medis wanita itu. Danilla membacanya dengan seksama.
“Dokter Fiona akan visit lagi jam berapa?”
“Tadi setelah penyuntikan obat, dokter bilang sekitar dua jam lagi dia akan visit karena pasien dibiarkan istirahat dulu untuk menunggu efek obatnya.”
“Saya sudah istirahat kok, dok. Bagi saya, saya udah enakan. Saya ingin pulang.” Wanita itu akhirnya tetap tidak sabaran. Danilla paham perasaan seperti itu, hingga dia meminta suster untuk memberikan peralatan periksanya. Danilla memeriksa wanita itu dengan seksama. Hingga, saat sudah selesai, terdengar suara perut wanita itu yang keroncongan. Wanita itu tampak malu dan mengalihkannya dengan melihat jam tangannya terus.
“Dok, saya mau makan di rumah aja, boleh ya dok?”
“Sebentar bu. Sus, tadi yang mengantar ibu ini ke sini siapa?” Danilla berbicara kepada perawat agak menjauh dari wanita tersebut.
“Ibu ini tadi dibawa oleh supirnya. Lalu baru disusul dengan keponakannya. Sepertinya beliau sedang mengurus administrasi dan beli makan untuk tantenya ini.”
“Sambil menunggu dokter Fiona dan keponakannya, saya temani ibu ini dulu sebentar supaya beliau mau makan di sini. Suster keluar aja dulu.”
“Dokter ngga cape? Gak apa-apa, saya yang temani.”
“Ngga, suster bisa bantu yang lain karena lagi ramai kan? Biar saya aja, karena saya ngga ada shift hari ini.”
“Baik dok, terima kasih ya.” Perawat tersebut pergi meninggalkan mereka berdua dengan menutup tirainya. Danilla kembali mendekat kepada wanita itu.
“Perkenalkan sebelumnya, saya Danilla. Maaf kalau ibu mungkin kaget dengan kedatangan saya. Tetapi saya hanya coba membantu, karena IGD sedang ramai. Dokter Fiona akan visit sekitar 45 menit lagi, dan keponakan ibu sedang membelikan ibu makanan. Ibu harus isi perut ibu, karena kalau ditunda, nanti asam lambung ibu kumat lagi.” Danilla berkata dengan sangat sopan dan berusaha menjelaskan dengan pelan kepada wanita itu.
“Saya pasti makan kok, dok. Apa saya ngga bisa diperiksa dokter aja? Supaya saya bisa makan di rumah?”
“Itu semua sudah sesuai aturan, bu. Saya tidak boleh melangkahi dokter Fiona. Ibu sabar sebentar ya. Supaya ibu cepat sembuh.” Wanita itu kalut sendiri dan tampak gusar melihat jam. Dia mencoba menggapai handphonenya, hingga dibantu oleh Danilla. Wanita itu mencoba menelpon keponakannya tetapi tidak diangkat. Wanita itu makin gusar sampai menghela nafas berat.
“Saya harus pulang dok, karena saya harus memastikan catering untuk besok aman. Saya ngga mau, sampai mengecewakan lima ratus orang yang datang di pernikahan klien saya. Ini ponakan saya ngga angkat-angkat. Aduh saya harus gimana? Supir saya juga udah disuruh pulang sama ponakan saya.” Wanita itu kian gusar. Sementara, Danilla cukup tertegun mendengar kalau ibu itu memiliki catering. Sama seperti almarhumah ibunya. Hingga, wanita itu kembali berbicara dan mengeluh.
“Saya memang punya karyawan, tapi saya yang melakukan quality control-nya sebelum makanan akan disajikan besok. Kebayang kan dok, untuk lima ratus orang saya ngga boleh mengecewakan.” Danilla mendengarkan wanita itu sambil mengingat bagaimana ibunya dulu mengurus catering yang akhirnya sampai ratusan pesanan.
“Saya mengerti kok bu, ibu saya juga punya catering. Ibu saya benar-benar ngga bisa meninggalkan dapur dan semuanya karena ngga mau sampe masakannya kenapa-napa. Tapi, ibu saya juga sempat sakit-sakitan karena terlalu capek dan stress memikirkan itu semua. Saya mencoba menyadarkan beliau kalau kesehatan yang paling penting, karena kalau induknya sakit dan panik, semuanya juga akan ikutan panik.” Wanita itu kini mulai terdiam mendengarkan cerita Danilla yang hampir sama dengannya.
“Saya sangat mengerti kalo ibu seperti ibu saya yang perfeksionis terhadap masakan sendiri. Tapi, saat sakit, berarti Tuhan meminta ibu untuk berhenti sejenak dan mempercayakan pada karyawan ibu. Kalau ibu mengikuti aturan dokter, saya yakin ibu bisa melakukan control lagi untuk besok. Jadi, saya mohon ibu tetap di sini sampai diperbolehkan pulang oleh dokter Fiona ya, bu.” Danilla memohon dengan pelan dan berusaha menenangkan. Kini tumbuh rasa simpati dari wanita itu kepada Danilla.
“Ibu kamu pasti beruntung memiliki anak seorang dokter yang sabar seperti kamu. Kalau boleh tau, apa nama kateringnya? Apa kapan-kapan, saya bisa ketemu sama ibu kamu?” Sesaat Danilla ingin menjelaskan tentang ibunya, tirai kemudian terbuka. Tampak Langit yang membukanya sambil tergesa. Langit langsung menatap Danilla yang ada di sana. Keduanya sempat bertatapan dalam beberapa detik. Danilla tidak menyangka akan dipertemukan kembali dengan situasi seperti ini dengan Langit yang ternyata adalah keponakannya.
“Danilla? Kamu langsung jaga malam ini?”
Wanita itu agak terkejut Langit yang ternyata keponakannya, mengenal Danilla yang sudah mulai dikaguminya.
“Ngga kok, Lang. Saya harus laporan tadi ke kepala rumah sakit. Kamu udah bawa makanan untuk tante kamu, kan?”
Langit tersadar dan langsung fokus mengeluarkan makanan yang sudah dibelinya dari kantin.
“Maafin Langit, tante. Tadi di administrasinya lama. Baru Langit beliin makanannya buat tante.” Langit benar-benar tampak khawatir menatap wanita itu.
“Ngga apa-apa, sayang. Kamu kenal dengan Danilla?
Langit berpandangan dengan Danilla sejenak, keadaannya cukup canggung.
“Iya tante. Kami kenal sejak SMA. Oh iya, tante makan dulu yuk.” Langit membukakan makanan yang dibawanya untuk tantenya itu sambil mengalihkan supaya ceritanya tidak terlalu panjang. Melihat hal tersebut, Danilla memilih sebaiknya untuk pergi.
“Ibu, saya permisi dulu ya. Ibu semangat makannya ya dan cepat sembuh.” Danilla mau melangkah keluar, lalu tangan wanita itu menahan Danilla.
“Saya masih mau ngobrol sama kamu. Kamu temani saya makan sebentar, mau ya?”
“Tante, udah kasihan Danilla baru pulang dari Bima. Belum istirahat.”
“Ngga apa-apa, Lang. Saya bisa temani sebentar.”
“Maaf ya, Dan. Tante kalau ada maunya ingin diturutin.”
“Ngga apa-apa. Yang penting tante kamu harus kuat, jangan telat makan, jangan banyak stress mikirin kateringnya.” Langit kemudian mengurutkan keningnya mendengar ucapan ini dari Danilla. Sementara, tantenya Langit hanya mengangguk-angguk.
“Oh iya, tante belum kenalan sama kamu. Nama tante, Rianti. Kamu boleh kok panggil tante aja, kaya Langit ke tante.” Kini Rianti semakin tampak ramah kepada Danilla.
“Iya, tante.” Danilla pun mengangguk dengan ramah.
“Jadi, kapan tante bisa ketemu sama ibu kamu?” Saat mendengar itu, Langit menatap Danilla dengan tidak enak.
“Tan, ibunya Danilla udah meninggal dunia.”
“Ya Tuhan, maafin tante ya Danilla.” Rianti reflek mengusap pundak Danilla dengan wajah yang sedih dan tidak enak.
“Ngga apa-apa, tante. Udah lama, sejak saya SMA.” Sejak Danilla bilang hal terakhir itu, Rianti mulai mengingat-ingat sesuatu.
“Kalau gitu, berarti kamu ini perempuan yang sering Langit ceritakan ke tante. Danilla, kamu itu mantan pacarnya Langit?”
Danilla dan Langit sama-sama tertegun. Di satu sisi, Langit merasa takut kalau sisi bucinnya yang dulu membuatnya galau parah akan ketahuan oleh Danilla. Sementara, Danilla jadi tau ternyata ada sosok pengganti ibunya yang mungkin menjadi pelipur lara serta penyembuh lukanya di masa lalu.
“Benar kan, Danilla?”