Panggung Sandiwara (Chapter 13)

Ingat, Gia. Kamu nggak mencintai Deva. Kamu hanya ada di situasi ‘terpaksa mencintai’ dia.

Sepanjang perjalanan menuju bandara, Gia terus mengulang kata-kata itu. Dia harus mengingatkan dirinya kalau dia sekarang sedang berada di panggung sandiwara. Dia bukanlah dirinya. Dia adalah Feya. Dia tidak mencintai Deva. Dia hanya sedang berada di situasi ‘terpaksa mencintai’ pemuda itu.

Kamu kenapa?” tanya Deva yang duduk di kursi pengemudi. Sambil menyetir, sesekali dia melirik ke arah Gia, dan dia jadikhawatir saat melihat Gia tampak gelisah di sebelahnya. “Kamu gugup mau ketemu Oma?”

Gia menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangguk.

“Aku takut lupa sama semua informasi yang kamu kasih kemarin,” kata Gia setengah berbohong. Gia memang takut rasa gugupnya akan membuat dia lupa dengan semua informasi dari Deva., namun dia lebih khawatir lupa kalau dia sedang sandiwara. Dia takut membuat sandiwaranya terbongkar dan Kemala marah besar ke Darmawan. Atau yang lebih parah, membuatnya ingin terus bersandiwara agar bisa terus ‘mencintai’ Deva.

“Jangan khawatir,” ucap Deva dengan nada tenang.Saya akanbantu kamu. Lagipula kamu sudah catat semuanya di hape kamu, kan?”

Iya sih…” Gia menggigit bibir bawahnya. “Tapi, gimana kalau aku lupa pas kamu nggak ada dan hape aku mati?”

“Tenang. Saya akan belikan kamu power bank supaya hape kamu bisa nyala terus. Saya juga nggak akan masuk kantor selama Oma di Jakarta. Saya akan cuti.

“Kalau Oma stay di Jakarta setahun, kamu juga akan cuti setahun?”

Well, saya bisa WFH. Saya punya anak buah yang bisa menggantikan pekerjaan saya. Kamu nggak perlu khawatir.”

“Kalau Oma nggak mengizinkan kamu WFH?”

“Kalau itu…” Deva melirik Gia sambil menahan senyum. “Berarti nasib ada di tangan kamu, Gia. Maaf, saya nggak bisa bantu.

Gia menjatuhkan kepalanya, sementara Deva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Dia bahkan tertawa geli.

“Kamu kok ketawa sih?” gerutu Gia sambil membuang wajahnya, menatap pemandangan di luar jendela mobil.“Memangnya ada yang lucu?”

Ada. Kamu yang lucu,” jawab Deva setelah puas tertawa.“Kalau kamu nggak lucu, saya nggak akan ketawa, Gia.”

Aku lucu dari mana? Dari Hong Kong?!

“Dari waktu kamu mencoba menghapus makian buatku di pantai.”

Gia terpaku. Lalu dia menoleh perlahan ke Deva. “K-kamulihat tulisan itu?”

Deva mengangguk. “Deva is a Devil.”

Gia kembali menjatuhkan kepalanya. Dia tidak menyangka usahanya untuk segera menghapus tulisan itu berakhir sia-sia.Sementara Deva kembali tertawa geli.

Entah kenapa, semenjak Deva menunjukkan sisi rapuhnya di depan Gia, dia tidak lagi menutupi emosinya. Topeng dingin yang selama ini dia bawa ke mana-mana perlahan lupa dia pakai.

Namun, saat melihat wajah Gia seperti menahan tangis, Deva segera berhenti tertawa. Kemudian, Deva meraih tangan Gia dan menggenggamnya, seperti saat mereka bertemu Kean tadi.

Gia menoleh ke Deva dengan tatapan bingung campur marah.Sementara air yang menggenang di matanya hampir tumpah.

Maaf, saya sudah keterlaluan,” ucap Deva sungguh-sungguh.Kemudian dia mengeratkan pegangan tangannya. “Kamu jangan khawatir soal Oma. Saya akan selalu berada di sisi kamu.”

Setetes air mata Gia mengalir, namun belum sempat Gia menghapusnya, Deva sudah lebih dulu melakukannya.

“Jangan nangis ya,” ucap Deva dengan senyum memohon.

Wajah Gia memerah seketika. Sementara jantungnya berdebar sangat kencang saat melihat senyum dan tatapan Deva.Sepertinya dia akan mati di tempat kalau terlalu lama berada di sebelah Deva. Untungnya, Gia berhasil mengangguk. Deva pun melepaskan tangannya untuk memegang kembali setir dengan kedua tangannya.

Nama kamu siapa?” tanya Deva sambil melihat lurus ke arah jalan tol yang lengang di depannya.

“Gia.”

“Salah.”

Gia menelan ludah. Akhirnya dia paham pertanyaan Deva, dan rasanya sakit sekali. Baru saja dia dibuat terlena oleh sikap Deva, dia harus menerima kenyataan kalau Deva melakukan itu karena dia sedang memainkan perannya. Seperti ditusuk jarum, rasa sakit pun segera membawa Gia kembali ke panggungsandiwara.

Aku Feya. Feya Putri Darmawan.”

***

Sesampainya Deva dan Gia di terminal kedatangan luar negeri, Kemala ternyata sudah menunggu mereka. Yang Gia rasakan saat melihat Kemala dari dekat seperti saat melihat seorang oma yang cantik dan anggun. Walau usianya hampir kepala 7 dan wajahnya dihiasi kerutan, itu semua tidak bisa menutupi kecantikan Kemala. Belum lagi rambut bob sebahu yang membingkai cantik wajahnya. Dan, walau badannya mulai menggemuk karena metabolisme yang melambat, gaun yang dia pakai tetap bagus membentuk badannya.

Kemala menyambut Gia dengan senyum ramah. Kemala memeluk Gia erat dan terus membelai rambutnya sambil memujinya cantik. Rasa gugup di hati Gia pun perlahan berkurang. Sepertinya dia bisa menjadi Feya dengan lancar.

Sementara, saat Deva mau memeluk omanya, Kemala malah memukul kepala Deva dengan tongkat jalannya.

“Aduuuhhh…” Deva meringis.

“Kamu nggak papa?” tanya Gia refleks membelai kepala Deva.

Saya nggak apa-apa.” Deva lalu beralih ke Kemala. “Oma kok pukul kepala aku sih?”

“Karena kamu terlambat, Anak Nakal! Oma sudah bilang jam 10 teng harus sudah di sini!”

Deva mau protes, tapi Kemala kembali mengangkat tongkatnya, membuat Deva diam seketika.

Jangan banyak omong lagi! Bawa koper Oma dan masukkan ke mobil!”

Gia menahan senyum saat melihat wajah manyun Deva yang berjalan ke arah dua koper besar milik Kemala. Sementara itu Kemala beralih ke Gia dan merangkul tangannya. Lalu dia mengajak Gia berjalan perlahan menuju mobil Deva.

“Bagaimana pernikahan kamu dengan si Anak Nakal, Feya?” tanya Kemala dengan tatapan ingin tahu. “Dia nggak membuat kamu kesal, kan?”

“Aku suami yang baik, Oma!” seru Deva yang menyusul di belakang sambil membawa koper di kedua tangannya. “Jangan meracuni pikiran istriku!”

Suami baik mana yang ngomong ke istrinya pakai kata ‘saya’?!Memangnya dia rekan kerja kamu?!” Kemala beralih ke Gia. “Nggak romantis banget. Iya kan, Feya?”

Mendengar nama Feya yang disebut saat bicara dengannya membuat Gia merasa asing sekaligus merasa sedih. Namun tidak ada yang bisa dia lakukan selain terus mengikuti alur sandiwara ini. Akhirnya Gia memaksakan dirinya untuk tersenyum dan bersikap senatural mungkin.

Aku nggak keberatan kok, Oma,” kata Gia. “Lagipula, kamiterlalu cepat menikah. Jadi, wajar kalau percakapan kami berduamasih agak kaku.”

Kemala tersenyum sambil membuka pintu belakang mobil Deva.

“Makanya aku datang ke Jakarta,” ucap Kemala sambil masuk ke dalam mobil. “Biar pernikahan kalian bisa berjalan lancar.”

Kemala mengedipkan matanya, lalu menarik pintu mobil. Sementara Deva yang sudah selesai menaruh koper di bagasi mobil menghampiri Gia yang sudah membantu menutup pintu mobil untuk Kemala.

“Oma bilang apa?” bisik Deva.

“Dia ke sini untuk membuat pernikahan kita berjalan lancar,” jawab Gia, juga sambil berbisik.

Deva terlihat bingung, tapi Gia hanya bisa tersenyum. Mereka kemudian masuk ke dalam mobil, dan memulai babak kedua dari sandiwara mereka.

***

Sementara itu, Kean sedang sibuk memindahkan pakaiannyadari lemari ke dalam tas ranselnya.

“Kenapa sih Oma ke sini segala?” keluhnya sambil memaksakan bajunya masuk ke dalam tas. “Ganggu rencana gue aja!Brengsek!

Dengan jengkel Kean terus memasukkan baju-bajunya ke dalam tas ransel. Lalu, setelah dia selesai, Kean bergegas menuju mobilnya dan segera pergi dari rumah Deva.

Kemala Adhikara, kehadiran lo nggak akan bisa menghalangi gue merebut apa yang seharusnya menjadi hak gue. Nggak akan!”

Dengan wajah kesal Kean menginjak pedal gas dan terus-terusanmenekan klakson. Tidak boleh ada yang satu pun mobil yang menghalangi mobilnya. Tidak boleh!

***