Pernah dengar soal siksaan waterboarding? Waterboarding merupakan salah satu metode atau teknik penyiksaan dengan memposisikan terdakwa diikat, lalu kepalanya disiram dengan air.
Konsepnya berawal dari fakta bahwa manusia merupakan makhluk darat, yang berarti manusia tidak bisa bernapas jika hidung atau mulutnya terlalu lama terkena air.
Sejak ribuan tahun silam memang ada banyak metode penyiksaan yang menggunakan air, salah satunya dengan cara merendam kepala terdakwa dalam air selama beberapa menit. Setelah itu kepala terdakwa dikeluarkan sejenak dari air supaya korban menghirup udara, jika masih menolak menuruti perintah atau tidak mau mengakui perbuatannya, maka kepala orang tersebut kembali direndam dalam air.
Sementara waterboarding, penyiksaannya dengan cara tangan dan kaki terdakwa diikat, lalu terdakwa akan dibaringkan di atas papan atau di atas tanah dengan kepala yang ditutupi kain.
Teknik penyiksaan ini dikenal dengan sebutan waterboarding karena metodenya yang menggunakan water = air dan board = papan.
Ketika terdakwa berada dalam kondisi tak berdaya, kepala terdakwa akan disiram dengan air. Ketika air masuk ke hidung dan mulutnya maka terdakwa akan merasa kesulitan bernapas seperti orang tenggelam.
Teknik penyiksaan ini memang sudah dilakukan sejak masa Abad Pertengahan, tepatnya sejak abad ke-14. Saat itu kelompok radikal agama Inkuisisi Spanyol diketahui kerap menggunakan metode waterboarding ketika melakukan penyiksaan atau menginterogasi seseorang.
Teknik waterboarding tersebut dikenal dengan sebutan toca. Orang yang hendak disiksa memakai teknik waterboarding akan diikat dalam posisi berdiri.
Kemudian kepala orang tersebut akan ditutupi kain dan dipaksa mendongak ke atas. Setelah itu anggota Inkuisisi akan menyiramkan air ke atas kepala orang tersebut dan diulang berkali-kali hingga korban menyerah dan bersedia memberikan informasi.
Tidak jarang terdakwa yang disiksa memuntahkan kembali air yang masuk ke dalam mulut dan hidung mereka.
Lalu metode waterboarding sejak tahun 1800-an mulai ditinggalkan oleh lembaga resmi. Namun tetap masih dijalankan secara sembunyi-sembunyi.
Ketika Amerika Serikat menjajah Filipina menggantikan Spanyol, sejak tahun 1902, tentara AS kerap menggunakan teknik waterboarding untuk menyiksa dan menginterogasi gerilyawan Filipina yang telah ditangkap
Presiden Theodore Roosevelt pun mengirimkan pesan kepada petinggi militer AS supaya para personilnya berhenti menggunakan teknik waterboarding sebagai bentuk penyiksaan.
Sementara di Asia penyiksaan macam ini juga sempat dipraktikkan, Ramon Navarro yang mengaku pernah jadi korban waterboarding oleh tentara Jepang bernama Chinsaku Yuki saat Perang Dunia Kedua salah satu contohnya.
Kelompok komunis Khmer Merah juga diketahui menggunakan teknik waterboarding pada tahanan Kamboja. Seorang pelukis Kamboja pun sempat mendekam di penjara Khmer Merah dan mengabadikan momen tersebut dalam lukisannya.
Sekalipun menyiksa, waterboarding ini teknik penyiksaan yang termasuk dalam kategori “bersih”. Karena terdakwa yang disiksa hanya disiksa dengan disiram air, jadi terdakwa tak akan merasa kesakitan seperti jika ditusuk atau dicambuk yang menimbulkan luka.
Sekalipun tak meninggalkan luka, waterboarding jadi teknik penyiksaan yang seperti “membunuh korbannya perlahan”, karena orang yang sering disiksa dengan metode waterboarding lama kelamaan bakal mengalami masalah pada organ-organ dalamnya.
Maka waterboarding benar-benar membuat korbannya seolah-olah merasa tenggelam. Mereka akan kesulitan bernafas, dan kekurangan oksigen, secara refleks mereka akan membuka mulutnya dan secara otomatis air akan masuk ke dalam paru-paru.
Akibatnya selain sesak napas, mereka akan mengalami gagal jantung, kerusakan otak, kerusakan paru-paru, hingga terdampak dari segi psikologis seperti akan mengalami trauma, cemas dan depresi.
Gak kebayang ya Sobat Vero kalau siksaan semacam itu masih diterapkan hingga saat ini untuk menghukum manusia?