20 Juni 2010
Pukul 07.00 pagi yang dingin, semua siswa telah berkumpul dan diatur barisnya. Semua siswa memakai atribut ospeknya, berpakaian hitam putih, dengan memasang pita di tubuhnya sebanyak tanggal lahir mereka, yang lahir tanggal 1-5 memakai pita yang lebih besar. Pastinya akan apes buat yang lahir tanggal 31. Tapi lebih apes lagi maru yang telat. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.30, tampak lima orang baru datang dan tergesa segera mau masuk ke barisan. Namun, seksi ketertiban langsung menahan mereka di belakang. Lima orang di antaranya, ada Danilla dan juga Langit. Tiga siswa lainnya beratribut lengkap sehingga hukuman mereka diberi keringanan. Sementara, Danilla yang lahir di tanggal 12 kehilangan dua pitanya dan Langit yang lahir di tanggal 20, hanya memakai sepuluh pita. Langit tampak cool dan tidak peduli dengan kemarahan seksi ketertiban karena jumlahnya sangat jauh dengan yang diminta.
“Kenapa kamu ngga pakai dua puluh pita sebanyak tanggal lahir kamu?” salah satu senior seksi tertib bertanya dengan tegas ke Langit.
“Pita yang saya punya hanya cukup sepuluh, kak.” Wajah Langit yang walaupun cakep tapi sok cool dan nyebelin. Danilla yang melihat Langit bersikap seperti itu sejujurnya kesel karena muka Langit yang ngehe banget.
“Saya dan kakak-kakak yang lain sudah mengingatkan kamu untuk membawa atribut. Seharusnya kamu denger baik-baik.” Senior itu meneruskan.
“Maaf kak, emangnya pake atribut ngaruh ke pelajaran? Kok kayanya ribet banget mau sekolah aja.” Jawaban Langit cukup lantang, beberapa maru jadi ikut berbisik-bisik dan senior ketertiban jadi tegang sendiri. Danilla yang berada di sebelahnya jadi bingung berekspresi karena ngga tau harus nanggepin kesongongan Langit.
“Kalian berdua, karena sudah telat dan atribut tidak lengkap, silakan mengikuti dua kakak di belakang saya.” Senior itu malas berdebat dan mengakhiri pembicaraan dengan menghukum mereka.
Danilla dan Langit telah sampai di lapangan bola basket sekolah. Kedua senior itu kemudian meminta mereka untuk berkeliling lapangan dengan jalan bebek sebanyak tiga kali. Danilla langsung menghela nafas kesal dan lelah. Sementara Langit sok-sokan cool. Salah satu senior langsung ngedumel sambil melihat ke Langit.
“Lo harusnya ngga menentang seperti tadi. Capek nih!”
Rasanya saat mendengar senior itu ngedumel, Danilla pun merasa dirinya malah berada di situasi yang susah karena Langit yang tadi songong banget. Akhirnya mau ngga mau mereka harus jalan bebek bersama mengitari lapangan itu. Danilla jelas tidak terlihat capek karena dirinya berusaha tegar. Sementara Langit sudah terlihat capek ketika mau mengakhiri putaran yang terakhir. Ketika Danilla sudah mau memulai putaran kedua, Langit berdiri untuk mengistirahatkan dirinya. Salah satu senior menegur karena masalah waktu. Mereka ngga boleh terlalu lama.
“Ayo cepat, kalian hanya punya waktu tiga menit lagi untuk dua keliling lapangan.”
Danilla dan Langit kemudian memulai lagi putaran kedua. Danilla melirik Langit dengan sinis.
“Kalo lo emang ngga sanggup sama hukumannya, harusnya lo jangan sok-sokan langgar peraturannya dong. Sampe-sampe bawa gue.” Danilla mendelik kesal.
“Makanya jangan sok kuat. Ngeluh ya ngeluh aja.” Langit mendengus ke Danilla.
“Ngeluh boleh tapi gak ngerugiin orang lain, jadi diem aja deh lo tanggal 20.” Danilla kesel banget dan jadi ngos-ngosan jalan bebeknya.
Langit rupanya diam, dan malah memandang ke salah satu arah dekat luar lapangan. Danilla yang kesel dicuekin jadi ngedumel lagi.
“Duh, mana pake baju putih lagi, kalo keringetan bakalan keliatan kumelnya.” Danilla melanjutkan ngedumel sendiri karena saking kesalnya. Namun beberapa detik Langit ternyata udah ngga ada di sebelahnya. Dia terkejut dan melihat Langit lagi lari menuju kantin yang berada di pinggir lapangan. Danilla mau ngga mau jadi harus melihat kea rah senior apakah mereka melihat kepergian Langit. Namun keduanya cukup jauh dan sedang ngobrol sehingga ngga terlalu ngeuh dengan Langit yang jalan ke kantin.
Lalu Langit akhirnya kembali dengan cepat. Danilla pun lega tapi kesal banget.
“Lo harusnya ngga kab–…”
Langit kemudian memotong pembicaraan dan menyodorkan botol air mineral pada Danilla.
“Nih, buat lo. Sorry kalo gara-gara gue lo malah ikut dihukum juga.”
Danilla tertegun sekaligus kesalnya kemudian hilang sedikit demi sedikit.
“Makasih, tanggal dua puluh. Gue kira—“
Danilla mau ngelanjutin kalimatnya namun ternyata kedua senior itu udah ada di depan mereka dengan wajah yang amat masam.
“Sudah minumnya? Ayo kami tambah dua keliling lagi! Habis itu baru masuk aula.”
Kedua senior itu melangkah menjauhi mereka untuk memberi ruang supaya mereka bisa jalan bebek di jalurnya sendiri. Namun Langit tiba-tiba mencengkram pergelangan tangan Danilla, kemudian menatap Danilla agak dekat. Danilla terdiam sesaat menatap Langit canggung.
“Lo dengerin gue, dalam hitungan ketiga, kita lari ke arah aula lewat jalan belakang. Satu….Tiga.”
Langit yang memegang pergelangan tangan Danilla lalu berlari sekencang mungkin menjauhi lapangan. Saat itu Danilla seperti tidak sadar dan ikut saja aba-aba dari Langit.
“Eh kalian mau kemana! Tunggu!” Dua senior itu mengejar mereka tapi Langit dan Danilla sudah terlanjur pergi terlalu jauh.
Langit dan Danilla berlari sekencang mungkin. Mereka sesekali ngos-ngosan, dan Langit akhirnya narik Danilla ke tembok yang tidak akan terlihat senior yang mengejarnya. Disitu Langit juga rehat dulu sambil melihat keadaan aman untuk lari lagi. Lalu kedua senior itu lewat di belakang tembok tersebut hingga Langit dan Danilla jadi sejajar bersembunyi, menahan nafas dan terdiam. Ketika sudah aman, Langit lalu memegang pergelangan tangan Danilla lagi menariknya untuk pergi. Danilla melihat ke tangan Langit. Langit yang merasa diliatin akhirnya sadar kalau dia ngga sengaja memegang tangan Danilla.
“Maaf.” Langit melepas tangannya. Namun Danilla hanya terdiam dan tetap berlari bersamanya. Dalam sesaat, dunia terasa hanya milik mereka berdua.
Di depan aula, mereka berdua tiba dengan ngos-ngosan. Tetapi mereka tersenyum bersama karena telah melakukan hal bodoh. Hingga, Danilla sadar kalau ada luka goresan di tangan Langit yang mungkin didapatkannya saat berlari melewati pepohonan. Danilla dengan lembut menarik tangan Langit, lalu mengambil tissue dan plester dari tasnya.
“Lain kali hati-hati, tanggal 20.” Danilla sibuk mengobati, Langit akhirnya memiliki kesempatan memandangi Danilla yang berparas cantik dan lembut.
“Panggil gue Langit.” Langit menyebutkan.
“Panggil gue Danilla. Udah nih.” Danilla selesai menempelkan plesternya.
“Nama yang cantik, kaya orangnya.” Langit mengucapkan itu dengan lembut.
Danilla seketika mulai tersipu dan tersenyum, “gombal!” sambil memukul bahu Langit.
“Makasih ya, Danilla.” Langit tersenyum dengan paling cerahnya hari itu menghadap Danilla.