Maaf, Selamat Tinggal! (Chapter 5)

13 Desember 2013

“Selamat ulang tahun, Danilla.” Danilla kali itu mengucapkanuntuk dirinya sendiri di depan makam almarhumah ibunya. Celine telah mengembuskan nafasnya yang terakhir tepatenam bulan yang lalu karena penyakit pernapasan yang dideritanya sejak lama.

Danilla mengusap batu nisan yang bertuliskan nama ibunyasambil bersimpuh dan menangis. Danilla memakai dress putihdan hiasan rambut putih, bermaksud untuk membuat ibunyabahagia. Tetapi Danilla kembali meneteskan air matanya. Kemudian sebuah tangan mendorongnya dengan pelan dan menyandarkan ke bahunya. Bahu bidang itu milik Langit, kekasihnya yang telah menjalani hubungan dua tahunbersamanya.

Dengan perasaan yang campur aduk, Danilla menangis di bahu Langit. Langit dengan sabar mengelus lengan kananDanilla dengan lembut.

“Jangan nangis terus, kasihan ibu.” Langit mencobamenenangkannya.

Danilla seakan menyesal dengan tangisannya lalu menghapusair matanya dan bangun dari sandaran. “Makasih ya, kamuudah mau nemenin aku.”

Langit agak heran, “Kan memang harusnya gitu, sayang. Kita berdoa bareng buat ibu ya.” Langit sambil mengusap rambutDanilla dengan lembut.

“Bu, maafin aku ya, nangis lagi, nangis lagi. Danilla maungerayain ulang tahun sama ibu sekaligus cerita kalau Danillaudah lulus, Bu.” Danilla mengusap nama Celine di nisandengan menahan air matanya.

“Iya, Bu. Danilla, anak ibu yang cantik ini, hebat dan kuat. Dia lulus dengan nilai yang sangat bagus. Ibu pasti senangdan bangga sama Danilla.” Langit menceritakan dengansemangat. Sementara, Danilla menatapnya dengan perasaanyang masih belum menentu, namun tetap berusaha tersenyum.

“Semoga ibu juga merasakan kebahagiaan Danilla disini. Ibu baik-baik disana ya. Tuhan pasti jaga ibu dengan baik.” Danilla menunduk dan berdoa sambil memegang nisanCeline. Langit di sebelahnya juga menundukkan kepala. Hingga beberapa saat selesai, mereka menyiram air sekaligusmenaburkan bunga di makam Celine.

Setelah selesai, Langit menggandeng tangan Danilla dan mengajaknya pergi meninggalkan pemakaman. Pada saat itu, Danilla tampak bimbang melihat tangannya yang digenggamoleh Langit. Mereka berjalan dengan diam sampai ke parkiranmotor. Langit memakaikan Danilla helm.

“Aku anter pulang ya. Kita makan di rumah kamu aja, akutemenin. Trus kamu istirahat.” Langit menatap Danilla denganlembut dan Danilla hanya bisa terdiam lalu menganggukpelan.

***

Hari sudah tampak gelap di jalanan perumahan Danilla. Motor Langit tiba di depannya. Danilla turun dari motor. Langit maumelepaskan helmnya, tetapi Danilla menolak.

“Aku bisa sendiri.” Danilla melepasnya dengan tatapan yang datar. Langit mulai tambah heran dengan sikap Danilla.

“Kamu kok dari tadi diem aja? Apa kamu masih sedih?” Langit berusaha menatap dalam ke mata Danilla. Danillatampak makin merasa serba salah tetapi dia tau sudahwaktunya.

Danilla menatap Langit dan tetap berdiam, membiarkan anginmalam membuat suasana semakin dingin di antara merekaberdua.

“Aku mau kita putus, Lang.” kata-kata yang paling tidak ingindidengar pun keluar dari mulut Danilla. Langit sontak kagetdan berusaha mencerna perkataan Danilla.

“Maksud kamu apa? Kok minta putus? Kamu kenapa, Danilla?”  Langit pun menghambur Danilla denganpertanyaan heran.

“Maafin aku, tapi aku mau fokus dengan kuliahku, Lang. Mulai besok aku udah pindah ke Surabaya untuk menguruskuliah kedokteranku.” Danilla berusaha tetap tenang menjelaskan semuanya.

“Surabaya? Kamu keterima disana? Kenapa kamu gak bilang?” Langit mulai marah dan suaranya meninggi.

“Iya, beasiswa yang aku ajuin dari lama, diterima. Aku haruspindah.”

“Trus semudah itu gitu, pindah besok dan trus putusin aku?”

“Ini berat buat aku, Lang. Tapi ini udah jadi keputusan aku. Kamu juga harus kejar apa yang harus kamu mau.”

“Bukannya kita udah sepakat bakal kuliah di Bandung, disini! Kenapa kamu tiba-tiba udah bikin rencana sendiri tanpabilang apa-apa sama aku.” Langit kini mulai merasa kecewa.

“Sejak ibu meninggal, aku harus memutuskan apapun sendiri, demi kebaikan aku, Lang!” Danilla kini mulai terlihat tegas.

“Bahkan putus dari aku itu demi kebaikan kamu? Selama inikamu beneran sayang sama aku ngga sih, Dan?” Langitmenatap dengan tegas ke mata Danilla. Kini, air mata Danillamulai menetes.

“Aku sayang banget sama kamu, Langit. Maaf aku harusmengorbankan kamu, tapi aku harus fokus demi masa depanaku. Kamu juga harus pikirin tentang diri kamu juga. Makasih, untuk semuanya selama dua tahun ini.” Danillatampak berat menyudahi percakapan itu lalu berbalik badan meninggalkan Langit. Langit masih tidak terima dan menariktangan Danilla.

“Tunggu! Kenapa kamu jadi egois kaya gini?!”

“Terserah kamu mau pikir apa, tapi aku yakin ini yang terbaikbuat kita berdua!” Danilla berusaha melepas tangan Langitdengan keras. Hingga Langit yang tampak speechless pun, akhirnya tangan Danilla dilepasnya.

Danilla terus berjalan masuk ke dalam rumahnya tanpamelihat Langit lagi. Namun kesedihan yang mendalammerundungnya di hari yang seharusnya bahagia. Air mataDanilla kian menetes deras, memegang tangannya sendiriyang digenggam Langit terakhir kalinya.

“Maafin aku, Langit. Tapi masih ada jutaan mimpi yang bisakamu kejar tanpa aku.”

Exit mobile version