Lie (Chapter 20)

“Saya suka sama kamu, Gia. Saya sayang sama kamu,” ucap Deva dengan suara bergetar menahan tangis. “Saya mohon… Kembali sadar, Gia. Beri saya kesempatan supaya saya bisa benar-benar mencintai kamu. Bukan pura-pura. Bukan terpaksa…”

Panjang lebar Deva mengungkapkan perasaannya kepada Gia, namun gadis itu tidak juga memberikan reaksi. Gia tetap tidur dengan tenang. Deva pun tidak bisa lagi menahan tangisnya. Pemuda itu terisak sambil terus menggenggam tangan Gia. 

Lalu, saat air mata Deva menetes membasahi tangan Gia, Deva merasakan jemari gadis itu mengeratkan pegangan tangan mereka.

“Gia…?” lirih Deva sambil menatap Gia dengan harap-harap cemas. “Kamu sudah sadar?”

Perlahan, Gia membuka kedua matanya. Tetapi, wajahnya seketika terlihat bingung. Gia tidak mengenali ruangan tempat dia berada. 

Aku di mana? Gia bergumam dalam hati.

Sampai akhirnya Gia mendengar suara Deva kembali memanggil namanya.

“Gia…?”

Gia menoleh, dan bibirnya langsung tersenyum saat melihat wajah Deva. 

“Dev, kita di man—”

Saat Gia menyadari wajah Deva basah oleh air mata, dia berhenti bicara sementara jantungnya langsung berdetak sangat kencang. Tanpa memikirkan punggungnya yang terasa ngilu, Gia duduk di tempat tidur sementara kedua tangannya menghapus air mata Deva yang terus mengalir. 

“Kamu kenapa nangis, Dev?” tanya Gia dengan tatapan khawatir. “Kamu sakit?”

Deva tidak menjawab karena kini dia menangis tersedu-sedu. Rasa sesak sekaligus rasa lega memenuhi hati Deva. Akhirnya Gia sadarkan diri. Akhirnya Deva bisa mendapat kesempatan untuk benar-benar mencintai gadis itu.

Karena tidak tega melihat Deva terus menangis, Gia menarik Deva ke dalam pelukannya. Deva pun balas memeluk Gia lebih erat seakan dia takut kehilangan gadis itu lagi. Mereka pun terus berpelukan hingga Deva merasa lebih tenang.

***

Ketika Deva tidak lagi menangis, Gia cerita dia akhirnya ingat bahwa dia pingsan saat mencoba menolong pemuda itu dari serangan Kean. Gia juga ingat kalau dia sempat tersadar saat dipindahkan dari ruang IGD ke ruang rawat. Namun, karena tubuhnya terasa sangat lelah, dia memutuskan untuk terus tidur. 

“Selain itu, aku takut terjadi sesuatu sama kamu. Jadi aku memilih untuk terus tidur dan baru akan bangun lagi saat aku sudah siap menerima kabar buruk tentang kamu,” cerita Gia setelah meminum segelas air yang diambilkan Deva. “Lalu, pas aku tidur, aku mimpi…”

“Mimpi?” ujar Deva yang kini duduk di pinggir tempat tidur Gia. “Mimpi apa?”

“Aku mimpi…” Gia diam sebentar, sementara pipinya bersemu. Lalu dia melanjutkan, “Aku mimpi jalan-jalan sama kamu di pantai yang di Filipina waktu itu. Lalu… kamu mengungkapkan perasaan kamu sama aku. Tapi, belum sempat aku memberi tanggapan, hujan tiba-tiba turun dan aku pun terbangun…”

Mendengar itu, Deva tersenyum dengan pipi yang juga memerah. Ternyata pengakuan yang dia ucapkan tadi masuk ke dalam mimpi Gia.

“Aku nggak ingat jelas setiap kata yang kamu ucapkan di mimpiku tadi,” lanjut Gia. “Aku hanya ingat bagian di saat kamu mengungkapkan perasaan kamu ke aku.”

“Seperti apa kalimatnya?” tanya Deva.

“’Saya suka sama kamu, Gia.’” Gia mengulang kata-kata Deva di mimpinya dengan pipi yang semakin merah. “’Saya sayang sama kamu…’”

“’Beri saya kesempatan supaya saya bisa benar-benar mencintai kamu,’” sambung Deva. “’Bukan pura-pura. Bukan terpaksa…’” 

“Iya, kamu bilang seperti itu di akhir mimpiku tadi,” seru Gia senang karena ingatannya kembali. Tapi kemudian keningnya berkerut. “Kok kamu bisa tau?”

“Karena itu yang saya ucapkan tadi waktu kamu tidur,” jawab Deva.

Deva kemudian memberanikan diri untuk kembali mengungkapkan perasaannya di depan Gia. Deva meraih tangan Gia yang tadi basah oleh air matanya, lalu menatap dalam mata gadis itu. 

“Gia…” Deva menghela napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang tiba-tiba berdebar kencang. “Apa kamu mau memberi saya kesempatan… untuk benar-benar mencintai kamu?”

Kedua mata Gia basah seketika. Dia terharu, tapi…

“Maaf, Dev…,” ucap Gia dengan kepala tertunduk. “Aku punya pacar bernama Nick.”

“Bukannya kamu sudah putus sama Nick?” 

Gia pun semakin gugup karena Deva tahu kalau dia berbohong.

“A-aku memang sudah putus sama dia, tapi aku masih sangat mencintai dia…”

Deva terdiam. Dia menatap Gia dengan tatapan tidak percaya. Namun, perlahan, tangannya melepas tangan Gia.

“Mungkin kamu salah paham dengan sikapku selama ini, tapi aku hanya ingin menjadi teman yang baik buat kamu. Nggak lebih,” lanjut Gia untuk meyakinkan Deva. “Aku nggak pernah benar-benar mencintai kamu. Aku hanya terpaksa mencintai kamu. Karena keadaan yang—”

Deva tidak membiarkan Gia melanjutkan kata-katanya. Dia turun dari tempat tidur Gia, lalu keluar dari ruangan yang tiba-tiba terasa dingin baginya itu.

***

Tidak lama setelah Deva keluar ruangan, Gia menangis sejadi-jadinya hingga dadanya sesak. Bahkan Gia tidak menangis seperti itu saat ditinggal Nick. Gia pun sadar kalau membohongi perasaan sendiri ternyata rasanya sangat menyakitkan. Dan menyakiti perasaan orang yang dia sayang rasanya bahkan lebih menyakitkan lagi.

Di saat Gia sedang berusaha menenangkan dirinya, pintu ruang rawatnya kembali terbuka.

Gia menoleh sambil berharap itu Deva yang kembali menemuinya. Namun ternyata bukan pemuda itu yang muncul di balik pintu. Melainkan seseorang yang sudah lama tidak Gia lihat.

“Feya?!” seru Gia tidak percaya. “Kamu Feya, kan?”

Feya mengangguk sambil tersenyum lebar. Namun kemudian air matanya tumpah. Feya lalu berlari menuju tempat tidur dan memeluk Gia.

“Kak Gia…” Feya menangis dalam pelukan Gia. “Maafin aku…”

Gia menggeleng dan memeluk erat adik kesayangannya itu. 

“Kamu nggak salah apa-apa, Feya,” ucap Gia. “Kakak yang harusnya minta maaf sama kamu…”

Gia lalu melepaskan pelukannya untuk melihat wajah Feya. 

“Kamu baik-baik aja, kan?” tanya Gia sambil mengecek kondisi Feya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu ke mana aja selama ini, Feya? Kakak sama papi khawatir banget sama kamu…”

Feya menghapus air matanya, lalu sama seperti saat dengan Deva tadi, dia cerita tentang Kean yang menculiknya dan menahannya di apartemen. Juga tentang dia yang memukul kepala Kean dengan botol demi menggagalkan serangan Kean ke Gia. 

“Tadi aku sudah kasih keterangan yang sejujur-jujurnya ke pihak kepolisian,” kata Feya mengakhiri ceritanya. “Rex temannya Mas Deva juga akan membantu kita mengurus masalah Kean. Jadi Kak Gia nggak perlu khawatir.”

Walau Gia sangat kecewa dengan Kean, di satu sisi dia bersyukur karena Feya bisa kembali dengan selamat.

“Terus, Kak Gia kenapa nangis tadi?” tanya Feya membuyarkan pikiran Gia. “Kak Gia berantem sama Mas Deva?”

“Kok kamu tau?” tanya Gia.

“Aku tadi papasan sama Mas Deva sebelum masuk ke sini,” jawab Feya. “Aku sapa dia, tapi dia nggak dengar dan terus jalan. Mukanya Mas Deva juga kayak kecewa gitu…”

Mendengar itu, mata Gia pun kembali basah. Dia benar-benar sudah menghancurkan hati Deva. Padahal Gia tahu, untuk orang seperti Deva yang selama ini selalu bersembunyi di balik topeng, tidak mudah untuk bisa mengungkapkan perasaannya seperti itu.

“Ada apa sih, Kak?” Feya kembali bertanya. “Kalian bertengkar masalah apa?”

“Dia…” Gia menghela napas untuk menenangkan deru di dadanya. “Dia tadi mengungkapkan perasaannya sama kakak, dan…”

Gia pun tak kuasa menahan tangisnya. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan kembali tersedu. Sementara Feya akhirnya paham apa yang terjadi.

“Kak Gia menolak Mas Deva karena Feya, ya?” ujar Feya sambil menurunkan kedua tangan Gia dari wajahnya. “Kak Gia takut suka sama Mas Deva karena dia suami Feya?”

Gia mengangguk sambil terus menangis. Dia merasa bersalah karena sudah jatuh cinta dengan suami adiknya sendiri. Di sisi lain, dia juga merasa bersalah karena sudah menyakiti perasaan pemuda yang sebenarnya dia cintai itu.

Feya pun tertawa melihat kebodohan kakak kesayangannya itu.

“Kamu kok ketawa sih?” keluh Gia di antara isak tangisnya. “Aku jatuh cinta sama suami kamu, Feya. Kamu harusnya marah sama aku…”

Feya pun tersenyum mendengar kata-kata Gia.

“Mas Deva bukan suami aku,” ucap Feya. “Aku nggak pernah menikah dengan dia.”

Gia yang mendengar itu tampak bingung. “Maksud kamu?”

Feya lalu menceritakan percakapannya dengan Deva di depan ruang rawat Gia tadi. Tentang pembatalan pernikahannya dengan Deva. Juga tentang alasan Deva membiarkan Gia menjadi istrinya dan menahannya di rumah.

“Mungkin Kak Gia nggak sadar, tapi Mas Deva suka sama Kak Gia dari pertama kalian ketemu,” kata Feya setelah selesai bercerita. “Mas Deva memang galak sama Kak Gia, tapi dia nggak benci sama kamu. Dia justru mau melihat kamu memperjuangkan kebahagiaan diri kamu sendiri. Bukan kebahagiaan orang lain. Dia sangat sayang sama kamu, Kak Gia…”

Gia terdiam mendengar kata-kata Feya. Dia tidak menyangka ternyata Deva benar-benar menyayanginya. Bukan karena perannya sebagai “suami” Gia.

“Kak Gia juga suka sama Mas Deva, kan?” tembak Feya.

Karena tidak bisa berbohong lagi soal perasaannya ke Deva, Gia pun mengangguk. 

“Aku suka sama dia, Fey,” ucap Gia dengan wajah sendu. “Aku sayang sama dia. Aku bahkan lupa sama sekali dengan Nick waktu bersama dia…”

“Ah, Nick!” Feya berseru jengkel. “Dia beneran mutusin Kak Gia?”

“Iya, dia mutusin aku,” jawab Gia. “Jujur, aku masih sakit hati karena diputusin sepihak sama Nick. Tapi, Deva berhasil membuat aku melupakan rasa sakit itu.”

Feya pun diam mendengarkan cerita Gia. 

“Aku  mengakui kalau di awal aku sempat kesal dengan perlakuan Deva yang kasar ke aku. Tapi, setelah aku semakin mengenal Deva, di mataku dia bukan lagi harimau galak yang ingin aku hindari. Dia adalah anak kucing yang ingin aku rawat dan sayang. Tapi…” Air mata Gia kembali menetes. “Bukannya merawat dan menyayangi anak kucing itu, aku malah menyakitinya…” 

Feya tersenyum lalu membelai lembut kepala Gia. 

“Sudah, sudah…” ucap Feya. “Jangan nangis lagi.”

Gia mengangguk dengan pipi memerah. Dia malu karena adiknya kini lebih dewasa dari dirinya.

“Kak Gia jangan sedih lagi,” lanjut Feya. “Lebih baik sekarang Kak Gia temui Mas Deva dan jelasin semuanya ke dia. Aku yakin Mas Deva akan mengerti kenapa Kak Gia  tadi menolak perasaan dia.”

“Kalau dia marah sama aku, gimana, Fey?” tanya Gia, sangsi. “Aku sudah bohong sama dia tadi. Aku bilang sama dia kalau aku masih cinta sama Nick. Aku bilang sama dia kalau aku nggak pernah benar-benar mencintai dia. Aku hanya terpaksa mencintai dia…”

Mendengar itu, Feya malah tersenyum.

“Aku nggak yakin Mas Deva semudah itu marah sama Kak Gia,” ucapnya. “Kalau dia patah hati mendengar kebohongan Kak Gia, itu mungkin terjadi. Tapi aku nggak yakin dia akan marah sama Gia. Dia sangat sayang sama Kak Gia. Buktinya dia menunjukkan sisi asli Radeva Adhikara kayak gimana hanya di depan Kak Gia. Ya, kan?”

Kata-kata Feya ada benarnya. Namun wajah Gia tetap terlihat ragu.

“Tapi…” Gia menatap wajah Feya. “Kamu nggak apa-apa kalau aku membalas perasaan Deva?”

Feya tersenyum, lalu dia meraih tangan kakaknya dan menggenggamnya erat.

“Kak Gia, aku nggak pernah suka sama Mas Deva dan nggak akan pernah suka sama dia,” ucap Feya sambil balas menatap Gia. “Jadi, aku mohon, untuk sekali ini saja Kak Gia berhenti memikirkan perasaan orang lain. Berhenti mengorbankan perasaan Kak Gia demi menjaga perasaan orang lain. Aku mau melihat Kak Gia bahagia. Itu lebih penting buatku.”

Gia pun tersenyum haru, lalu dia memeluk erat adik kesayangannya itu.

“Tapi, sebelum ketemu Mas Deva, ada yang harus Kak Gia temui lebih dulu,” kata Feya setelah Gia melepas pelukannya.

“Siapa?” tanya Gia, bingung.

“Oma Kemala.”

***

Bersama Feya, Gia pergi menemui Kemala di ruang rawatnya. Ternyata di sana sudah ada Darmawan. Darmawan pun langsung menghampiri Gia dan memeluk putri sulungnya itu.

“Maafin papi ya, Sayang…” ucap Darmawan dengan air mata menggenang. “Papi sudah membuat kamu menderita…”

Gia menggeleng sambil melepas pelukan Darmawan. 

“Aku nggak apa-apa kok, Pi,” ucapnya. Gia lalu menoleh ke Feya. “Tapi, papi sudah minta maaf ke Feya, kan?”

“Tentu sudahhh!” sambar Feya dengan senyum lebar. “Makanya papi mengizinkan aku kuliah S2 di Singapura. Hehe…”

“Oh ya?” Kedua mata Gia melebar. “Feya boleh S2 di luar negeri, Pi?”

Darmawan mengangguk. “Tapi dia harus kasih kabar satu jam sekali ke papi.”

Feya pun cemberut mendengar kata-kata Darmawan. “Yang bener aja, Pi…”

Kemala tertawa melihat ayah dan anak itu berselisih. Sementara Gia yang mendengar suara tawa Kemala langsung menghampiri dengan perasaan bersalah.

“Oma…” Gia menunduk lalu memegang tangan Kemala dengan kedua tangannya. Wajahnya terlihat menahan tangis. “Maafin aku, Oma. Aku sudah membohongi Oma dengan pura-pura…”

Belum sempat Gia menjelaskan, Kemala langsung mencubit pipi Gia dengan gemas.

“Aduhhh…” 

Gia meringis sementara Kemala kembali tertawa.

“Makanya jangan minta maaf terus,” ucap Kemala di akhir tawanya. “Kalau kamu minta maaf lagi, Oma akan cubit pipi kamu lebih keras lagi.”

“Oma nggak marah sama aku?” tanya Gia, bingung sekaligus heran.

Kemala pun menggeleng. “Justru Oma mau minta maaf sama kamu,” kata Kemala. “Karena ulah Kean dan Deva, kamu harus mengalami semua ini. Maafin keluarga Oma, ya?”

Gia balas menggeleng. “Aku lebih banyak berbuat salah sama Oma,” kata Gia. “Jadi aku yang seharusnya minta maaf sama Oma.”

Kemala menghela napas, lalu dia tersenyum.

“Oke, kalau kamu bersikeras mau minta maaf,” kata Kemala. “Tapi Oma hanya akan memaafkan kamu dengan satu syarat.”

“Apa itu, Oma?” tanya Gia.

“Kamu harus benar-benar menjadi istri Deva,” jawab Kemala. “Oma tau kalau Deva suka sama kamu, dan kamu juga suka sama Deva. Pernikahan Deva dan Feya juga sudah dibatalkan. Jadi, harusnya kalian bisa dengan mudah mendapat permintaan maaf dari Oma, benar?”

Mendengar itu, perasaan Gia semakin sedih dan semakin tenggelam dalam rasa penyesalan. Namun Gia hanya bisa tersenyum. Sementara di dalam hati dia bertanya-tanya di mana keberadaan Deva. Kenapa dia tidak berada kamar omanya itu?

***

Tidak ada yang tahu kalau Kean melarikan diri dari rumah sakit dan sudah berada di apartemennya yang terletak di pusat Jakarta. 

Dengan kepala masih diperban, Kean duduk di sofa balkon apartemennya, sementara matanya termenung menatap laptop di pangkuannya. Di layar laptop ada beberapa file yang terbuka. File-file itu berisi bukti keterlibatan Takuya Yamamoto dalam kecelakaan mobil yang menimpa Putra Adhikara dan Hilda Tanjaya. 

Akhirnya Kean sadar kalau Deva tidak berbohong. Dia juga sadar kalau selama ini dendamnya sia-sia. Kalau selama ini dia sudah termakan kebohongan yang disampaikan oleh papanya sendiri.

“Kalau papa mati nanti, tolong balaskan dendam papa ke Keluarga Adhikara. Ambil kembali semua yang seharusnya menjadi milik mamamu.”

Kean pun melempar laptopnya ke lantai hingga terbelah jadi dua. Kemudian dia mengambil ponsel di saku celananya dan menelepon seseorang.

“Halo?” ucap Kean saat teleponnya terhubung. “Kamu di mana, Agatha?”

“Aku lagi di jalan, mau ke bandara,” jawab Agatha. “Aku mau balik sebentar ke New York sebelum berurusan sama pihak Oliver. Ada apa, Kean?”

Kean menghela napas. Lalu dia bilang, “Aku akan membuat surat pengakuan ke Adhikara Grup kalau aku yang sudah membocorkan rancangan kamu ke pihak Oliver.”

“Kamu sudah gila ya?!” seru Agatha jengkel. “Kamu mau merusak nama baik aku?!”

“Tenang…” ucap Kean. “Nama baik kamu akan tetap selamat. Nggak ada orang yang tau soal keterlibatan kamu, baik pihak Adhikara Grup maupun pihak Oliver. Hanya aku yang tau. Jadi kamu tenang saja.”

“Tapi… Kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran, Kean?” tanya Agatha, bingung. “Bukannya kamu mau menghancurkan karir Deva demi mama kamu?”

“Karena aku baru sadar…” Kean mengepalkan tangannya yang tidak memegang ponsel, “yang ingin aku rebut dari Deva, ternyata memang bukan hakku.”

“Maksud kamu?”

Kean tidak menjawab pertanyaan Agatha. 

Safe flight, Agatha,” ucap Kean. “It was nice working with you.

Kean lalu mengakhiri teleponnya. 

Setelah itu, Kean membuat surat pengakuan yang kemudian dia kirim ke forum karyawan Adhikara Grup. Kemudian dia mengirim pesan ke ponsel Gia walau dia tidak yakin pesannya akan sampai ke ponsel Gia yang dia rusak waktu itu.

Maafin aku, Gia.

Sejak saat itu, Kean tidak pernah muncul lagi di rumah Keluarga Adhikara, maupun di Adhikara Grup. 

Kean pun menghilang, entah ke mana, membawa kebohongan yang diciptakan papanya.

***