Ketika Dia Dengan Yang Lain (Chapter 9)

Pagi tengah menjelang, sinar matahari masuk ke kamar Danilla dan Inggit dengan menyeluruh. Inggit tampak sudah tidak ada di tempat tidurnya. Hanya terlihat Danilla yang masih berbaring tetapi dirinya gusar. Sinar matahari terlalu menyorotnya sehingga Danilla perlahan terbangun. Danilla melihat tempat tidur Inggit yang sudah rapi. Lalu dia mengusap keringat yang cukup membasahi dahinya. Danilla memegang dadanya seperti sesak akan sesuatu. Pandangannya masih menerawang ke depan. Sekitar beberapa detik pandangannya terasa kosong. Danilla mengambil handphonenya dan menemukan tidak ada notifikasi dari siapa-siapa. Bahkan dari Fikar pun tidak ada. Hari itu Danilla mendapatkan shift sore, sementara Inggit ada shift pagi untuk pelatihan. 

 

Danilla berjalan menuju ruang tengah mengambil segelas air minum lalu berjalan ke arah pintu depan dan membukanya. Udara kota Bima pagi itu tidak terlalu panas, angin semilir berhembus masuk ke dalam rumah mess. Dari pagar depan mess, tampak seorang perempuan yang melambaikan tangannya pada Danilla. Danilla masih belum melihat dengan jelas siapa itu. Hingga, tampak perempuan itu mendekat. Dia adalah Chelsea, yang memakai dress floral selutut dengan warna yang cerah. Senyumnya sudah mengembang kepada Danilla. Danilla membalas senyum padanya yang kian dekat. Chelsea mengangkat totebag yang dibawanya.

“Sarapan yuk, Dan! I got my morning off too. Kamu juga kan?” 

“Iya, aku baru masuk jam 3. Makasih lho Chel, udah bawain sarapan. Apa ada yang bisa aku bantu?” Danilla agak heran karena baru kali itu Chelsea mendatanginya di mess.

“Maaf sebelumnya, aku datang gitu aja ke mess kamu. Maaf juga kalau belum sempat cerita kalau papaku adalah salah satu pejabat TNI AD. Tapi, aku masuk sini bukan karena papaku. I swear.” Chelsea menunjukkan gesture dua jari swear-nya. 

Danilla menggeleng sambil tersenyum, “Ngga apa-apa kok, justru rumah sakit ini butuh pelatihan dari Dokter Chelsea. Karena prosedur yang dokter ajarkan cukup berbeda dan inovatif untuk para dokter RSAD.” 

“Thanks ya Dan, pengertiannya. Kamu juga punya metode bagus untuk prosedur pengobatanmu sendiri kok.” Chelsea tersenyum dengan sangat manis, bahkan Danilla sampai merasa kalau Langit tidak salah pilih. Tetapi saat berpikir seperti itu, Danilla langsung melupakannya. 

“Tadi mau minta bantuan apa, Chel?” 

“Ah iya, dapur messku wastafelnya rusak. Jadi aku ngga bisa masak dengan leluasa. Karena aku tau kamu ada jadwal kosong, jadi aku ke sini. Cuma sebentar kok.” 

“Oh gapapa, Chel. Pakai aja. Kamu memang suka masak ya?” 

“Langit mau ada tugas ke hutan siang nanti. Aku mau bawain bekal kesukaannya.” 

Ketika mendengar hal itu, Danilla tertegun sejenak. Hatinya kembali tergelitik dengan rasa yang aneh sejak bangun tidur. Danilla harus sadar diamnya akan membawa kecurigaan.

“Oh iya, pakai aja Chel. Yuk, masuk!” 

Keduanya masuk ke dalam menuju dapur yang menyatu dengan ruang makan. Chelsea telah membawakan roti isi manis dan asin untuk sarapan mereka berdua. Dalam totebagnya, terdapat brokoli, wortel dengan soft tofu dan di tempat lainnya terdapat daging ayam yang sudah dimarinasi dengan saus teriyaki. Danilla dapat melihat itu semua mungkin adalah makanan kesukaan Langit. Karena dalam masa-masa mereka berpacaran, Langit suka apapun makanan dari masakan Celine, ibu Danilla. Tidak ada yang spesifik. Dengan reflek, Danilla pun bertanya.

“Ini semua makanan kesukaan kapten Langit?” 

“Err, sebenernya bukan kesukaan sih. Dulu waktu pertama kenal, trus makan bareng, dia selalu makan tumisan sayur sama tumisan protein. Katanya biar seimbang. Tapi sebenernya dia pemakan segala sih.” Chelsea tertawa seakan teringat di mana dia tau kalau calon tunangannya itu senang makan apapun. Danilla dapat melihat ketulusan dalam senyum Chelsea yang menyayangi Langit. 

“Ada yang bisa aku bantu?” 

“Sebenernya, aku jarang masak tumis sayur. Takaran bumbunya kaya ngga pernah pas aja gitu. Kamu biasa masak ngga? Bantuin aku bikin tumis sayurnya deh yuk! Ini aku bawa banyak, jadi kamu juga bisa makan siang pakai ini.” 

“Gapapa, sini aku bantuin. Ibuku punya catering, jadi aku juga suka diajarin masak.” 

“Wah, pasti masakannya enak.” Chelsea tampak sangat antusias.

Keduanya saling sibuk memasak untuk pria yang akan menjadi masa depan dan pernah jadi masa lalu dalam hidup masing-masingnya. Chelsea benar-bener memperhatikan bagaimana Danilla membumbui tumisannya. Hingga, Danilla bisa melihat kesungguhan Chelsea yang menata makanannya supaya tampak nikmat untuk Langit. 

 

***

Tampak di taman rumah sakit yang sudah asri dipenuhi dengan tanaman hijau dan bunga-bunga. Chelsea memegang pergelangan tangan Langit, membawanya ke area bangku taman yang masih mengkilap catnya tetapi sudah tampak kering. Langit sempat ragu dan celingukan ke segala arah karena malu dilihat orang lain. 

“Cello, sebentar lagi aku mau dinas.” Langit berusaha lepas dari Chelsea sambil memanggil panggilan kecil Chelsea yang hanya diketahui oleh Adira dan Langit. 

“Sebentar aja, kamu ngga akan telat kok kalo makan bekel dari aku. Ayo duduk sini.” Chelsea memohon dengan lembut kepada Langit untuk duduk di bangku taman. Hingga, Langit juga tidak tega dan duduk di sana. Chelsea membukakan tumis sayuran dan ayam teriyakinya untuk Langit. Tak lama, Langit pun memakannya dan tertegun sejenak karena rasanya begitu familiar baginya.

“Gimana, enak ga?” Chelsea menunggu respons Langit dengan penasaran. 

“Enak, Cello. Kamu masak ini sendiri?” 

“Sebenernya, tadi pagi aku minta bantuan sama Danilla. Karena washtafel di mess-ku rusak. Trus, dia bantuin aku bumbuin tumisnya. Enak lho!” 

Langit tertegun kembali dan baru sadar kalau masakannya mirip dengan masakan Celine yang selalu memakai bubuk pala dan ketumbar.  

“Aku baru tau lho, Lang. Kalo tumisan juga dikasih pala sama ketumbar. Rasanya jadi lebih kuat gimanaa gitu. Aku jadi pengen belajar sama Danilla lebih banyak.” Chelsea meneruskan ceritanya tentang masakan Danilla yang sama diperkirakan oleh Langit juga. Langit terus menyantap makanan itu dengan lahap hingga benar-benar habis. 

“Cello, makasih ya makanannya. Enak banget. Aku pergi dulu ya.”  Langit segera membereskan kotak bekalnya kembali masuk ke totebag yang dibawa Chelsea.  Langit segera bergegas meninggalkan Chelsea. 

“Hati-hati, Langit!” Hanya itu yang Chelsea dapat katakan saat melihat Langit pergi. 

 

***

Di lorong rumah sakit bagian dalam, Danilla tampak baru saja keluar dari salah satu kamar pasien.  Danilla mengangkat videocall yang sudah berbunyi dari tadi.

“Danilla sayang, syukurlah kamu angkat videocall aku.” Fikar dari layar tampak khawatir melihat Danilla. 

“Aku habis periksa pasien, Kar. Kamu lagi sibuk, ya?” 

“Iya, sayang. Aku lagi sibuk meeting-meeting terus sama klien. Kamu sehat kan, sayang?” 

Danilla mulai risih Fikar memanggil dengan panggilan ‘sayang’ yang biasanya hanya ‘by’. Tapi Danilla berusaha untuk biasa saja. 

“Aku sehat, kok. Kamu sendiri gimana?” 

“Sehat dong sayang. Cuma kangen banget sama kamu.” 

“Sabar yah, dua bulanan lagi.”

“Lama banget lho itu buat aku, sayang.” 

“Yang penting, kamu sehat-sehat ya. Kamu suka lupa minum vitamin.” 

“Siap dokterku sayang. Makasih ya. Maaf sekali lagi, aku baru reach out ke kamu. Seriusan lagi hectic banget.” 

“Iya gapapa Fikar. Aku mau lanjut periksa pasien dulu.” 

“Iya, love you, Dan.” 

“Iya, Fikar.” Danilla hanya menjawab itu dan menutup telponnya. Kemudian dia berjalan  menuju kamar pasien di lorong lainnya. 

 

Saat itu, baru terlihat Langit yang sudah berada di belakang lorong di mana tadi Danilla dan Fikar melakukan video call. Wajah Langit tampak berubah kecewa. Dia telah mendengar percakapan Danilla dan Fikar cukup jelas untuk sampai tahu kalau mereka pacaran. Niatnya untuk menyusul Danilla karena ingin memberi penjelasan pada Danilla tentang pengumuman pertunangannya dengan Chelsea, akhirnya berakhir kecewa. Jelas pada ekspresi Langit kalau ada sesuatu yang belum selesai.

“Aku tau kalau kita sudah lama berakhir, tapi kenapa perasaan aku kecewa kaya gini ketika kamu sama yang lain.”