Kasih Ibu

Trigger warnings: darah, pemerkosaan, pembunuhan. Jangan dibaca sambil makan (daging). Ibuku suka sekali memasak. Setiap akhir pekan ibu akan menghabiskan waktu liburnya dengan menonton video memasak di YouTube untuk mencari inspirasi. Lalu di awal bulan, setelah ibu gajian, ibu akan mengundang satu per satu temannya untuk makan siang bersama di rumah kami.

Ibuku orangnya memang sangat ramah. Dia mudah berteman dengan orang asing, makanya dia bisa punya banyak teman. Setiap bulan temannya yang datang ke rumah kami selalu berbeda-beda. Entah itu teman sekolahnya dulu, tetangga satu kompleks kami tapi beda blok, dan kadang orang asing yang baru saja dia kenal di pasar.

Seperti di hari ini.

Hari ini adalah awal bulan dan ibu mengundang seorang pemuda bernama Bian. Ibu berkenalan dengan Bian saat dia membantu memperbaiki motor ibu yang mogok di pinggir jalan. Sebagai ucapan terima kasih, ibu pun mengundang Bian untuk mencicipi masakan favoritnya: daging tumis bumbu kecap dengan cacahan kacang mete. Untungnya, Bian bukan vegetarian. Jadi dia bersedia diundang makan di rumahku.

Ibuku memang hanya bisa membuat masakan yang dibuat dari daging. Karena dari muda sampai sekarang ibuku bekerja di tempat pemotongan daging milik pamannya, jadi ibu sudah hafal betul daging bagian mana yang rasanya paling enak dan teksturnya paling empuk. Semua tamu yang datang untuk makan di rumah kami pun selalu memuji masakan daging buatan ibu yang katanya rasanya lebih enak dari yang dijual di restoran bintang lima. Tidak jarang mereka membawa pulang sisa daging rendang atau sup bakso buatan ibu karena rasanya terlalu enak.

Saat aku masih kecil, aku pernah bertanya kenapa ibu suka sekali memasak dan mengundang teman-temannya untuk mencicipi masakannya, ibu menjawab karena itu membuat dia bahagia, dan juga sebagai ucapan terima kasih untuk teman-temannya. Jujur saja, aku tidak paham maksud dari jawaban ibu itu. Tapi yang pasti aku jadi terinspirasi untuk berbagi kasih ke teman-temanku seperti yang ibu lakukan ke teman-temannya.

Ibuku memang orang yang penuh kasih sayang. Tidak hanya ke sesama manusia, tapi juga ke tanaman. Di belakang rumah kami, ada halaman yang cukup luas dan di sana ada berbagai macam tanaman yang ibu rawat dengan sepenuh hati dari bibit hingga berbunga dan berbuah. Saking cintanya dengan tanamannya, ibu tidak mengizinkan aku atau siapa pun mendekat ke halaman belakang karena takut tanamannya rusak. Karena takut ibu marah, aku pun tidak pernah mendekat ke halaman belakang.

Makan yang banyak, Bian, kata ibu sambil menaruh sesendok daging ke piring Bian. “Jangan malu-malu.”

“Terima kasih, Bu. Masakan ibu enak banget!” ucap Bian dengan mulut penuh daging dan wajah yang berseri. Ibu pun ikut tersenyum senang.

Jujur saja, dari sekian orang yang pernah diundang ibu ke rumah kami, aku paling suka dengan karakter Bian. Dia pemuda yang ramah dan humoris. Dia sedikit mengingatkanku dengan ayah yang sudah lima tahun ini menghilang entah ke mana.

Tapi, yang paling aku suka dari Bian adalah tato Doraemon dan teman-temannya yang memenuhi sebagian paha dan betis kanan Bian. Aku yang sangat suka dengan Doraemon langsung terpesona dengan tato yang sedikit terlihat dari celana jeans pendek yang dipakai Bian itu. Aku pikir hanya gambar yang menyeramkan seperti naga atau harimau yang bisa dibuat menjadi tato, tapi ternyata gambar kartun yang lucu juga bisadibuat menjadi tato.

Sayangnya, setelah menghabiskan sepiring potongan buahsebagai pencuci mulut, Bian harus pamit pulang karena ada kerjaan. Agar bisa sedikit lebih lama melihat tato Doraemon di kakinya, aku menemani ibu mengantar Bian sampai ke pagar.Biasanya aku tidak pernah mengantar tamu ibu pulang.

“Ibu, apa ibu akan mengundang Bian lagi bulan depan?” tanyaku setelah motor Bian menghilang di tikungan jalan.

“Kita lihat nanti ya,” ucap ibu seraya berjalan menuju halaman belakang. “Kamu kerjakan PR sana. Ibu mau menggali tanah di halaman belakang dulu. Paman mau kasih ibu tanaman baru.

Oke…”

Aku pun berjalan menuju kamarku dengan perasaan sedih. Aku tidak tahu kalau minggu depan aku bisa melihat tato Doraemon milik Bian lagi.

***

Hari itu aku pulang sekolah lebih awal karena ada rapat guru. Sebenarnya aku ingin pergi main ke rumah temanku karena rumahku kosong. Ibu masih sibuk memotong daging di toko milik paman yang terletak di pasar tradisional terbesar di kotaku.Tapi, karena langit sangat gelap, aku memutuskan untuk pulang ke rumah saja.

Dan, benar saja. Sesampainya aku di rumah, hujan turun sangat deras. Terlalu deras, malah. Angin berembus sangat kencang sampai membuat pagar rumahku bergetar. Dari jendela ruang tamu aku melihat jemuran tetanggaku ada yang terbang. Ini bukan hujan lagi, tapi badai.

Tiba-tiba aku teringat tanaman ibu di halaman belakang. Kemarin ibu menggali tanah lagi untuk memindahkan bunga mawar kesayangannya dari pot ke tanah. Aku harus menutup galian itu sebelum dipenuhi air hujan. Ibu pasti tidak akan marah karena aku ke halaman belakang untuk melindungi halamannya, bukan merusaknya.

Akhirnya aku pergi ke halaman belakang sambil membawa tutup ember yang akan aku gunakan untuk menutup galian, dan balok kayu yang cukup besar untuk menahan tutup ember itu.Tapi sesampainya aku di halaman belakang, sebagian tanaman ibu sudah tumbang dan berserakan. Angin kencang membuat akar tanaman-tanaman itu tercabut dari tanah.

Aku pun bergegas berusaha menyelamatkan beberapa tanaman di pot dan membawanya ke dalam rumah. Namun langkahku terhenti saat mataku melihat sesuatu berwarna putih kekuningan yang muncul di tanah yang tergenang air hujan.

Ada tulang di lubang tanah tempat daun selada tumbuh.

Aku pikir air hujan yang sangat deras menyiram kepalaku membuatku demam dan berhalusinasi. Tapi, saat aku mendekat, tulang di tanah itu semakin jelas terlihat. Jari-jari tangan yang cukup panjang terkubur di situ. Dan di jari manis tulang itu ada cincin yang sangat aku kenal.

Cincin milik ayahku.

Tanpa aku sadari aku terjatuh di depan tulang itu. Dan air mataku mengalir sama derasnya dengan hujan yang turun.

Ayahku ternyata tidak menghilang dengan perempuan lainseperti yang ibu ceritakan padaku saat ayah tidak lagi pulang ke rumah lima tahun yang lalu. Ayah ternyata selalu berada bersama kami, di halaman belakang rumah, dikubur di bawahdaun selada oleh istrinya sendiri.

***

Aku tidak jadi merapikan halaman belakang. Aku biarkan semuanya seperti saat badai merusaknya. Aku tidak jadi menutup galian tanah dengan tutup ember. Aku juga tidak merapikan tulang tangan ayah yang muncul di permukaan tanah. Aku berpura-pura tidak pernah menginjak halaman belakang rumahku.

Ibu pulang tidak lama setelah badai berhenti. Dia terlihat sedikit kaget saat masuk ke kamarku dan melihatku sedang membaca buku sambil tiduran di tempat tidur.

“Kamu sudah pulang?” tanya ibu sambil berjalan masuk ke dalam kamarku. “Kenapa nggak telepon ibu?”

Aku nggak berani pegang hape. Petirnya menyeramkan,” jawabku memberi alasan.

Ibu mengangguk paham. “Anginnya juga kencang. Atap toko paman sampai lepas setengah. Makanya ibu pulang cepat hari inikarena toko harus ditutup untuk memperbaiki atap.”

“Oh…” Aku membalik halaman buku yang sebenarnya tidak aku baca. Aku menaruh buku di depan mataku karena aku sedangtidak ingin melihat wajah ibu.

Atap kamarku nggak ada yang bocor, kan?” Ibu melihat ke langit-langit kamar. “Ibu takut atap rumah kita juga rusak seperti atap toko paman.”

Aku tidak menjawab. Yang terdengar hanya suara halaman bukuyang aku balik.

“Kamu sudah makan siang?” tanya ibu lagi. “Ibu bawa beberapa daging dari toko.

“Belum…,” jawabku meski aku tidak nafsu makan.

Baiklah. Ibu akan membuatkan daging panggang kesukaanmu.”

Aku kembali tidak menjawab. Tapi, saat ibu berjalan menuju pintu, aku memanggilnya.

“Ibu…”

Ya?” Ibu berbalik menatapku.

“Ibu sudah lihat tanaman-tanaman ibu di halaman belakang?” tanyaku sambil mencoba menjaga ekspresi di wajahku. “Aku takut keluar rumah, jadi aku hanya di dalam kamar selama badai. Tapi sepertinya tanaman ibu berantakan karena angin kencang. Tadi aku lihat jemuran tetangga ada yang terbang.”

Oh…” Ibu menatap lurus mataku. Ekspresinya tidak bisa aku baca, tapi nada suaranya terdengar sedikit gugup. “Nanti ibu ceksekalian ke dapur.

“Oke.”

Aku kembali menatap buku di tanganku sementara ibu keluar dan menutup pintu kamar. Aku tidak tahu apakah ibu menyadari cincin ayah yang aku pakai di ibu jari tangan kananku.

***

Dari dalam kamar aku bisa mencium bau daging yang dipanggang. Harumnya membuatku lapar, tapi aku belum mau turun.

Sambil menunggu ibu memasak, aku memikirkan alasan ibu membunuh ayahku dan menguburnya di halaman belakang. Apa cerita ibu selama ini benar? Karena ayah berselingkuh dengan perempuan lain, makanya ibu membunuh ayah? Lalu, kenapa dikubur di halaman belakang? Apa aku harus melaporkan kasus pembunuhan ayah ke polisi? Kalau ibu dipenjara, aku harus bagaimana?

Satu per satu pertanyaan muncul dan memenuhi kepalaku. Tapi,belum sempat aku mendapatkan jawaban, ibu memanggilku untuk makan.

Aku keluar kamar lalu menghampiri ibu yang sudah menungguku di meja makan. Tidak seperti biasanya, aku tidak duduk di depan ibu. Aku duduk di bangku yang lima tahun lalu diduduki ayah untuk terakhir kalinya. Ibu menatapku dengan tatapan sedikit heran, tapi kemudian dia kembali bersikap biasa. Ibu menaruh beberapa potong daging panggang di piringkusebelum memakan daging panggang di piringnya.

Biasanya aku memakan apa pun makanan yang dimasak ibu dengan lahap. Aku tidak akan memperhatikan apakah daging di piringku berwarna merah atau cokelat. Aku tidak menghiraukan seratnya yang berbeda dengan daging steak yang aku makan di restoran. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, aku menatap daging yang disajikan di piringku.

Sama seperti saat aku melihat tulang jari tangan ayahku, ada sesuatu yang membuatku tidak jadi menusuk daging dengan garpu di tanganku. Aku melihat pola di tepi irisan daging yang cukup tebal itu. Pola itu tidak terlalu jelas karena sudah terpanggang api, tapi aku masih bisa mengenali pola itu.

Aku tidak menyangka aku bisa melihat tato Bian lagi. Di atas piring.

Refleks aku berlari ke wastafel dapur dan memuntahkan isi perutku. Sedangkan ibu tetap di kursinya, memakan daging paha Bian seakan-akan itu daging sapi wagyu. Seakan-seakan memakan daging manusia adalah hal yang normal.

Saat tidak ada lagi cairan yang bisa aku keluarkan dari perutku, aku membersihkan mulutku dengan air, lalu berbalik menatap ibu dengan horor. Aku yakin wajahku sekarang sama putihnya dengan tulang ayah di halaman belakang.

Seketika aku teringat kejadian lima tahun yang lalu. Makan malam terakhir kami bersama ayah. Malam itu ibu memasak banyak makanan, dan bukan hanya daging. Ada sup, ada sayur tumis, ikan bakar, ayam goreng…

Tidak. Sebelum malam itu pun ibu membuat masakan dengan berbagai jenis bahan makanan. Bukan hanya daging. Tapi, sejak ayah menghilang, ibu hanya memasak daging. Daging manusia.

“I-ibu…” Aku mencoba menatap ibuku yang sedang memotong daging paha Bian. “Kenapa ibu memakan daging Bian?”

Pisau dan garpu di tangan ibu berhenti bergerak. Kemudian ibu menatap mataku. Tapi, ibu tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatapku dengan tatapan yang sulit ditebak.

“Apa aku… Apa aku pernah memakan daging ayah?” Aku kembali bertanya dengan terbata-bata.

Pertanyaan itu sebenarnya membuat perutku kembali mual dan kakiku lemas. Tapi aku berusaha untuk berdiri tegak dengan bersandar di dinding wastafel dapur. Aku ingin tahu jawaban ibu, sesakit apa pun itu. Segila apa pun itu.

Ibu menaruh garpu dan pisau di tepi piringnya. Lalu dia tersenyum. Ekspresi wajahnya terlihat tenang.

“Tentu saja,” kata ibu. “Kamu sudah lihat kan tulang ayahmu di halaman belakang? Makanya kamu pakai cincin ayahmu?

Jantungku berdetak sangat cepat, sementara perutku seperti dililit tali yang kencang.

Ibu sudah tahu. Ibu menyadari cincin di tanganku.

“Lalu… apa semua daging yang kita makan selama ini… daging manusia?” tanyaku lagi. Walaupun hatiku sakit, aku ingin tahu jawaban ibu agar aku bisa memahami semuanya. Apa ibu… seorang pembunuh? Psikopat? Kanibal?”

“Bukan,” kata ibu. “Ibu bukan semua itu.”

“Tapi kenapa ibu makan daging manusia?!” teriakku histeris.

Ibu makan daging binatang, sayang. Yang kita makan sejak lima tahun yang lalu adalah daging binatang. Bukan daging manusia.”

“Tapi…”

Lidahku mendadak kelu. Kegilaan ini membuat kepalaku berhenti berfungsi.

Ibu kemudian menghampiriku dan membawaku duduk kembali di meja makan. Setelah itu, ibu memberikan ponselnya kepadaku. Aku tidak paham, tapi aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa menatapnya heran.

“Di dalam folder ini ada rekaman CCTV yang ibu pasang di halaman belakang,” kata ibu seakan tahu apa yang aku pikirkan. Sebenarnya ibu tidak ingin mengingatkan kamu dengan peristiwa pahit itu. Tapi ibu yakin kamu akan paham setelah menonton video ini.”

Aku tidak tahu kegilaan apa lagi yang ibu sembunyikan dariku selama ini, tapi akhirnya aku menyalakan video rekaman CCTV yang ada di folder ponsel ibu.

Awalnya tidak ada apa-apa. Video itu hanya menampilkanhalaman belakang yang sedikit gelap. Lalu aku melihat diriku yang masih kecil berlari dari dalam rumah menuju halaman belakang. Sepertinya aku masih berusia 11 atau 12 tahun di video itu. Tapi aku tidak ingat pernah berlari malam-malam di halaman belakang.

Tidak lama, ayahku muncul menyusulku. Kami main kejar-kejaran di halaman belakang.

Bukan.

Ayah mengejarku.

Lalu…

Aku tidak lagi melihat video di ponsel ibu karena peristiwa menyakitkan di malam itu kembali muncul di kepalaku dengan jelas.

Tanpa aku sadari, aku menangis histeris dalam pelukan ibu.Peristiwa itu terlalu pahit sampai aku tidak pernah mengingatnya sama sekali selama lima tahun ini. Bahkan sehari setelahperistiwa pahit itu terjadi, aku tidak ingat apa yang terjadi pada diriku dan ayahku di malam sebelumnya. Namun, hari ini, aku kembali mengingat semuanya.

Video di ponsel ibu terus menyala. Aku melihat diriku berjalan sambil menahan sakit menuju ke arah dapur, meninggalkan ayahku yang berbaring di atas rumput. Kemudian aku kembali dari dapur membawa pisau daging milik ibu. Ayah terlihat seperti sedang tidur, lalu aku menusuk dadanya dengan pisau di tanganku. Ayah terbangun dan sepertinya berteriak kesakitansambil mencoba menghentikanku. Tapi entah bagaimana caranya di video itu aku terlihat lebih kuat dari ayah sehinggaaku bisa menahan tangannya, dan terus menusuk dadanya berkali-kali sampai baju ayah berlumuran darah dan tubuhnyatidak bergerak lagi.

Tidak lama, ibu yang baru pulang dari bekerja datangmenghampiriku ke halaman belakang. Aku bisa melihat ibu teriak histeris. Tapi kemudian ibu memelukku. Setelah itu, ibu membawaku masuk kembali ke dalam rumah. Dan di akhir video, aku melihat ibu memotong satu per satu bagian tubuh ayah dengan pisau daging yang aku gunakan untuk membunuh ayah, lalu ibu memasukkan bagian tubuh ayah yang berdagingke dalam baskom. Sementara bagian tubuh yang tidak banyak dagingnya dikubur di halaman belakang seperti tangan yang aku lihat  tadi.

Kamu ingat apa yang kamu ucapkan waktu ibu tanya kenapa kamu membunuh ayahmu?tanya ibu sambil mematikan video di ponselnya setelah aku melepas pelukanku.

Aku menatap ibu. Aku ingat dengan jelas apa yang aku ucapkan malam itu. Karena dia binatang liar. Seperti babi hutan. Pantas untuk dibunuh dan dimakan.

Ibu tersenyum lalu membelai rambutku. “Semua tamu yang ibu undang ke sini sama seperti ayahmu. Jadi kamu nggak perlu merasa bersalah memakan daging mereka. Ibu janji akan selalu melindungi kamu dan membuat masakan yang enak dari daging mereka. Seperti yang kamu minta sejak lima tahun lalu, waktu kita pertama kali memakan daging ayahmu. Oke, sayang?

Aku melepas cincin ayah, lalu melemparnya ke tempat sampah.Kemudian aku kembali memeluk ibuku erat sambil menangis. Aku baru sadar kalau kasih ibu memang sangat besar kepadaku. Ibuku bukan pembunuh, psikopat, atau kanibal. Ibu hanya menuruti permintaanku untuk makan daging binatang, untuk mengobati luka yang terlalu menyakitkan di hatiku.

Setelah puas menangis dan melepas pelukanku, aku menatap daging di piringku yang memiliki pola tato Doraemon yang aku kagumi. Perlahan bibirku tersenyum senang seakan-akan daging di piringku adalah daging wagyu A5.

Ya. Aku akan selalu menikmati masakan ibu. Karena ini daging binatang.”