Selama berpacaran dengan Baskara, Lana tidak pernah merasakan yang namanya ‘cemburu.’ Walaupun Lana tahu bahwa banyak perempuan yang suka dengan Baskara dan ingin merebut kekasihnya itu dari sisinya, dia tidak pernah marah apalagi kesal. Mungkin karena saat itu Lana yakin kalau Baskara sangat mencintainya dan hanya mencintainya.
Namun, tidak kali ini.
Melihat Baskara mencium Disty, menggenggam tangannya, dan menatapnya penuh cinta, semua itu membuat hati Lana seperti ditusuk pisau berkali-kali. Walaupun bibir Lana yang Baskara kecup, walaupun tangan Lana yang Baskara genggam, walapun wajah Lana yang Baskara tatap penuh cinta, tapi jiwa yang ada di dalam tubuh Lana bukanlah jiwanya. Yang merasakan semua itu adalah Disty.
“Aku hamil, Lan. Aku hamil anak pacar kamu. Baskara.”
Kata-kata yang diucapkan Disty sebelum mereka kecelakaan kembali terngiang di telinga Lana. Walau belum terbukti kebenarannya, Lana merasakan nyeri di dadanya karena membayangkan pengkhianatan yang dilakukan Baskara bersama Disty. Untuk pertama kalinya, Lana pun merasakan hatinya terbakar cemburu.
Mungkin karena itu Lana menghampiri Baskara yang sedang menggenggam tangan Disty dan menatap wajahnya penuh cinta. Lalu dia mencengkeram pergelangan tangan pemuda itu dan menariknya pergi ke luar ruangan.
“Ada apa, Dis?” tanya Baskara setelah mereka berada di depan ruang 501. “Kamu kenapa menarik aku ke sini?”
“Ada yang mau aku omongin sama kamu,” jawab Lana sambil melepas cengkeraman tangannya.
“Ya nggak perlu di sini, kan?” ujar Baskara dengan nada jengkel. “Kita bisa kok ngomong di depan Lana. Dia nggak akan keberatan.”
Lana menatap Baskara dengan napas terengah-engah karena menahan emosi. Sementara matanya yang berkaca-kaca tampak terluka.
“Mungkin ini terdengar gila, tapi hatiku terasa sakit saat melihat kamu begitu mencintaiku,” ucap Lana dengan suara bergetar menahan tangis. “Tolong jangan cintai aku seperti itu, Bas. Sampai aku bisa kembali lagi ke tubuhku.”
Baskara mengerutkan keningnya. Wajahnya tampak sangat bingung. “Maksud kamu apa, Dis?”
“Aku Lana, Bas,” ucap Lana sambil menatap lurus ke mata Baskara. “Aku Alana Prameswati.”
Baskara terdiam. Namun tatapan matanya ke Lana menunjukkan kalau dia merasa gadis yang berdiri di depannya itu sudah kehilangan akal sehatnya.
“Bas…” Lana kembali memegang pergelangan tangan pemuda itu. “Ini mungkin nggak masuk akal buat kamu, tapi yang ada di tubuhku itu Kak Disty. Sementara yang ada di tubuh Kak Disty adalah aku. Lana, pacar kamu.”
Lana menatap Baskara dengan wajah putus asa sambil berharap kekasihnya itu akan percaya dengan kata-katanya. Tetapi pemuda berkacamata itu malah melepas tangan Lana.
“Dis, ini sudah kedua kalinya kamu bilang kalau kamu ini Lana,” kata Baskara. Ekspresi wajahnya berubah dingin. “Aku nggak tau apa alasan kamu bilang kayak gitu. Tapi, lebih baik kamu berhenti melakukannya sebelum aku marah. Bercandaan kamu ini nggak lucu!”
“Tapi, aku beneran Lana, Bas…”
Baskara tidak menghiraukan Lana yang hampir menangis. Dia malah berbalik ingin kembali masuk ke ruang 501.
Namun, sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, Baskara kembali bicara dengan Lana.
“Lain kali kita bicara di depan Lana aja, Dis,” kata Baskara tanpa menoleh ke Lana. “Aku nggak mau membuat Lana terluka lagi karena kita.”
Baskara lalu kembali masuk ke dalam ruang 501, meninggalkan Lana yang mematung di depan pintu.
Maksud kamu apa, Bas? Tangan Lana tiba-tiba gemetar. Apa maksudnya kamu nggak mau aku terluka lagi karena kalian? Apa kamu benar-benar selingkuh sama Kak Disty? Apa kamu benar-benar menghamili kakakku sendiri?!
Lana tidak lagi bisa menahan air matanya, sementara kakinya tidak lagi bisa menahan tubuhnya. Lana pun duduk di bangku tunggu, lalu dia menangis dalam diam.
Di saat dada Lana hampir sesak, seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya dan merangkulnya.
“Lo nggak apa-apa, Dis?”
Sambil terus terisak, Lana menoleh ke si pemilik suara.
“Kak… Karin?”
Beruntung, Karin tidak menyadari saat Lana memanggilnya dengan sebutan “Kak” seperti yang biasa Lana lakukan. Gadis berambut bob sebahu itu malah langsung memeluk Lana. Lalu dia menangis dalam pelukan Lana.
“Gue kangen sama lo, Nyet!” ucap Karin di tengah isak tangisnya. “Gue khawatir sama lo! Gue pikir lo udah mati!”
‘Nyet?’ Lana berpikir sebentar. Kak Karin manggil Kak Disty ‘Monyet?’
Air mata Lana pun seketika berhenti mengalir.
***
Lana sebenarnya tidak terlalu dekat dengan Karina Hardinata. Namun, karena gadis yang biasa disapa Karin itu sering datang ke rumahnya untuk bermain dengan Disty sejak mereka masih duduk di bangku SMP, sedikit banyak Lana mengenal Karin. Karena itu, Lana sesekali suka bertanya ke Karin tentang Disty, terutama semenjak kakaknya itu tidak lagi tinggal serumah dengannya.
Karin adalah gadis cantik yang memiliki senyum yang manis. Tapi, sikap dan sifatnya tidak semanis senyumnya. Dilahirkan di keluarga polisi, Karin jago bela diri dan sangat tidak suka dengan ketidakadilan. Sehingga kalau ada cowok brengsek yang menyakiti atau melakukan pelecehan ke orang yang dia kenal, dia tidak akan tinggal diam. Sayangnya, mulut Karin juga cukup kasar. Jadi, jangan heran kalau dia memanggil Disty dengan panggilan kesayangan “Nyet” alias “Monyet.”
“Lo beneran nggak apa-apa, Dis?” tanya Karin setelah mereka masuk ke ruang 502 tempat tubuh Disty dirawat. “Pasti kepala lo sakit ya, makanya lo tadi nangis?”
“Enggak kok,” ucap Lana sambil duduk bersila di tepi tempat tidurnya. “Duduk, Rin.”
Setelah Karin berhenti menangis, Lana mengajak sahabat kakaknya itu masuk ke ruang rawatnya. Lana pun mencoba senatural mungkin bersikap seperti Disty. Walau tidak yakin sikap dan sifatnya akan terlihat sama dengan Disty, Lana sudah mengenal kakaknya itu seumur hidupnya. Jadi seharusnya Lana cukup bisa membawakan persona Disty.
“Kalo kepala lo nggak sakit, kenapa lo nangis?” tanya Karin setelah duduk di sofa yang berada di samping tempat tidur Lana. “Atau, badan lo yang sakit ya? Mau gue panggilin dokter?”
“Nggak usah, Rin,” kata Lana sambil melambaikan tangan, menahan Karin yang ingin beranjak dari sofa. “Gue nggak apa-apa kok.”
“Oke, gue percaya sama lo.” Karin kembali duduk di sofa. “Terus, gimana keadaan lo sekarang, Dis? Udah mendingan?”
Lana mengangguk. “Keadaan gue hari ini jauh lebih baik dari kemarin,” kata Lana. “Besok ada beberapa tes yang harus gue lakukan. Kalau hasilnya bagus, minggu depan gue bisa pulang.”
“Great!” seru Karin dengan senyum lebar. “Gue udah nggak sabar membawa lo pulang ke Jakarta.”
“Memangnya ada apa di Jakarta?”
“Ada Marvel, playboy kesayangan lo!”
Marvel? Lana kembali berpikir. Marvel Wijaya yang sering foto berdua sama Kak Disty dan selalu di-share di feed Instagram-nya? Pengusaha muda yang sukses, ganteng, tapi sering gonta-ganti pacar itu?
“Ada kerjaan lah, Dis!” seru Karin jengkel karena Lana terlalu lama terpaku. “Apa lagi?”
Jawaban Karin membuat Lana semakin terpaku. Dia lupa kalau—selain menjadi Disty sahabatnya Karin—dia juga harus menjadi Disty si fashion stylist sekaligus model dan beauty influencer.
Masalahnya, pekerjaan Disty bukan hal yang pernah Lana lakukan sebelumnya. Jangankan bersolek di depan kamera. Di depan cermin di kamarnya saja jarang. Mana mungkin dia bisa menjadi seperti Disty?
Wajah Lana pun seketika memucat. Bagaimana kalau nanti karir Kak Disty berantakan karena aku?
“Bercanda, bercanda,” kata Karin sambil menertawakan ekspresi wajah Lana. “Nggak usah panik gitu.” Karin lalu menambahkan, “Gue sudah membatalkan pekerjaan lo selama sebulan ke depan. Syukurnya, klien mau mengerti. Beberapa klien bahkan merelakan uang DP mereka buat nambahin biaya pengobatan lo.”
Mendengar itu, Lana akhirnya bernapas lega. Paling tidak, selama sebulan ini karir Disty tidak akan berantakan olehnya.
“Gue akan menerima kerjaan buat lo hanya setelah keadaan lo benar-benar sudah kembali seperti semula,” lanjut Karin. “Jadi, pas kita balik ke Jakarta nanti, lo fokus istirahat aja.”
“Oke…” Lana tersenyum sambil tulus mengucapkan, “Terima kasih ya, Rin.”
“You’re welcome!” seru Karin dengan senyum manisnya. Lalu dia mengalihkan pembicaraan. “Omong-omong, calon adik ipar lo baik banget ya? Dia yang menghubungi gue waktu lo sama Lana kecelakaan. Dia juga yang menanggung seluruh biaya pengobatan kalian berdua.”
“Baskara memang cowok yang baik,” ucap Lana dengan senyum bangga. Namun hatinya kembali sedih karena teringat pertengkaran mereka tadi. Seharusnya aku nggak memaksa Baskara untuk percaya dengan kata-kataku. Sekarang dia marah dan membuat aku semakin curiga kalau dia bukan cowok baik seperti yang selama ini aku kenal.
“Seandainya waktu itu Baskara nggak menghubungi gue,” Karin membuyarkan lamunan Lana, “gue pasti udah menghubungi polisi karena lo tiba-tiba menghilang dan nggak bisa dihubungi, Nyet! Sumpah, stres banget gue waktu itu. Gue sampai membayangkan lo menghilang karena berubah jadi monyet beneran di Bali. Hahaha!”
Karin tertawa mengingat kepanikan dirinya waktu itu. Sedetik kemudian, wajah Karin berubah serius. “Gue boleh tanya sesuatu nggak, Dis?”
Lana menelan ludah. “Tanya apa?”
“Tapi…” Karin menatap Lana. “Lo jangan marah, ya?”
Lana menggeser sedikit posisi duduknya. Tatapan Karin tiba-tiba membuatnya gugup.
“Tanya aja,” ucap Lana senatural mungkin agar Karin tidak bisa merasakan kegugupannya. “Gue nggak akan marah.”
“Oke.” Sebelum bertanya, Karin menarik napas panjang. “Lo…” Karin kembali menatap lurus ke mata Lana, “nggak sengaja melakukan ini, kan?”
“Sengaja?” Kening Lana berkerut. “Sengaja melakukan apa?”
“Kecelakaan ini…”
DEG! Lana merasa jantungnya seperti dipukul oleh puluhan tangan.
“Maksud lo apa?” tanya Lana. Lalu, sambil menahan sakit di dadanya, Lana memberanikan diri bertanya. “Maksud lo… gue sengaja mencelakai diri gue dan adik gue sendiri?”
Karin menatap Lana dengan wajah tidak enak, tapi akhirnya dia mengangguk.
“Itu yang lo sampaikan sama gue pas lo tiba-tiba pamit mau pergi ke Bali,” kata Karin. Kemudian dengan kepala tertunduk suara gadis bersenyum manis itu mengecil. “Lo datang ke sini karena… mau balas dendam sama Lana.”
Debaran di jantung Lana pun semakin kencang.
Balas dendam? Tangan Lana meremas saku baju yang menutupi dada kirinya. Sementara matanya tiba-tiba terasa basah. Memangnya aku salah apa sama Kak Disty sampai dia mau balas dendam sama aku?
Lana menarik napas panjang untuk menenangkan debaran di hatinya. Lalu dengan cepat dia menghapus air matanya yang hampir mengalir. Dia tidak boleh terlihat lemah karena Karin mengenal Disty sebagai gadis yang kuat dan tegar.
“Rin?” Lana memanggil Karin yang kini kembali menatap wajahnya. “Gue boleh minta tolong?”
“Boleh, Dis,” ucap Karin dengan senang hati. “Lo boleh minta tolong apa aja sama gue. Gue pasti bantu lo.”
“Gue…” Lana berpikir sebentar. “Kecelakaan ini sebenarnya membuat sedikit ingatan gue hilang, jadi gue nggak tau kenapa waktu itu gue bilang gue mau balas dendam ke Lana,” kata Lana sambil berharap aktingnya meyakinkan. “Jadi… gue boleh minta bantuan lo buat tanya-tanya beberapa hal tentang diri gue sampai ingatan gue kembali semua?”
“Tentu boleh, Dis,” jawab Karin dengan anggukan. “Lo boleh tanya apa aja sama gue. Kalau gue tau jawabannya, gue pasti akan kasih tau lo. Selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya.”
“Terima kasih, Rin…”
Karin tersenyum senang. “Sama-sama, Dis!” serunya. Kemudian senyum di wajah Karin berubah menjadi senyum mengejek. “Kayaknya setelah kecelakaan ini lo jadi lebih baik deh, Dis,” ucapnya. “Biasanya lo nggak pernah bilang terima kasih ke gue. Paling sering cuma, ‘Thanks, Njing!’”
Lana tertawa. Ternyata kakaknya juga suka berkata kasar seperti Karin.
Ternyata… Lana menghela napas panjang di akhir tawanya. Selama ini aku berada di dalam kegelapan. Aku tidak benar-benar “mengenal” mereka yang paling aku sayangi dan cintai di dunia ini. Kak Disty, Baskara, dan mungkin… diriku sendiri.
“Omong-omong, Lana bagaimana keadaannya, Dis?” tanya Karin, lagi-lagi membuyarkan lamunan Lana. “Katanya dia koma juga, ya?”
“Iya,” jawab Lana. “Tapi tadi dia sudah sadar dari koma.”
“Oh ya?” Karin tersenyum senang. “Gue boleh jenguk dia? Udah lama banget gue nggak ketemu adek lo…”
“Nanti aja,” larang Lana. “Kondisinya masih belum stabil. Kita tunggu sampai dia selesai diperiksa dokter aja.”
“Oke…”
Karin tidak tahu kalau Lana tidak akan membiarkan Karin bertemu dengan Disty. Lana tidak mau Karin nanti terhasut oleh Disty. Lana harus tahu lebih dulu tentang rencana balas dendam Disty dan juga penyebab Disty menyimpan dendam ke Lana. Dia membutuhkan sedikit cahaya petunjuk di dalam kegelapan ini.
***
Sementara itu, Disty—atau lebih tepatnya tubuh Lana—baru saja selesai diperiksa oleh Dokter Adrian. Sama seperti Lana, ada beberapa tes yang harus Disty jalani sebelum keadaannya dipastikan baik-baik saja dan dia bisa keluar dari rumah sakit.
“Saya permisi dulu ya,” ucap Dokter Adrian ke Disty dan Baskara. “Jangan lupa diminum obatnya ya, Mbak Lana.”
“Iya, Dok. Thanks.”
Disty tersenyum sambil mengangguk. Sementara Baskara mengantarkan Dokter Adrian dan Suster Melati ke luar ruangan. Tidak lama kemudian, Baskara kembali menghampiri Disty.
Hal pertama yang dilakukan Baskara sesampainya di hadapan Disty adalah menggenggam tangan gadis itu.
“Aku senang kamu baik-baik saja,” ucap Baskara dengan senyum lega. “Semoga besok hasil tes kamu juga bagus. Jadi kamu bisa segera pulang. Kamu pasti sudah kangen sama Bunda, kan?”
Bunda? Disty mematung. Dia lupa kalau Lana masih tinggal dengan Rani, wanita yang sudah mengusirnya pergi dari rumah dan melupakan dirinya sebagai anak. Kalau dia kembali ke Jakarta nanti, dia harus kembali tinggal bersama Rani. Tentu itu mimpi buruk baginya.
“Aku kangen Bunda. Tapi…” Disty menatap Baskara agar dirinya tidak kelihatan sedang berbohong. Lalu tatapannya berubah menantang pemuda di depannya itu. “Boleh nggak, pas kita balik ke Jakarta nanti, aku tinggal sama kamu, Bas?”
Leher Baskara seketika memerah. Dia tidak pernah menyangka kekasihnya akan menanyakan hal seperti itu padanya.
“Bukannya aku nggak mau, tapi kita kan belum menikah,” ucap Baskara sambil menyelipkan beberapa helai rambut Disty yang menutupi mata gadis itu ke belakang telinganya. Dia berusaha mengalihkan perhatian Disty dari rasa malunya. “Waktu itu kamu sendiri yang bilang kalau kamu akan tinggal sama aku hanya kalau kita sudah menikah. Lupa, ya?”
Dalam hati Disty tersenyum mengejek. Sok suci banget kamu, Lan!
“Waktu itu ya waktu itu,” kata Disty. “Hari ini aku berubah pikiran. Aku mau tinggal sama kamu walaupun kita belum menikah.”
“Tapi…”
Disty tidak membiarkan Baskara meneruskan kalimatnya. Dia meraih wajah pemuda berkacamata itu, lalu memagut bibirnya. Kali ini dengan bibir yang lebih lembut karena Disty sudah membasahi bibirnya dengan beberapa teguk air saat Baskara pergi mengantar Dokter Adrian dan Suster Melati tadi. Disty terus mencium bibir Baskara hingga membuat pemuda tampan itu lupa dengan keinginannya untuk menolak permintaan gadis itu.
Sebenarnya Baskara senang karena kekasihnya akhirnya mau tinggal bersamanya. Tapi… di satu sisi, Baskara merasa itu tidak seperti Lana si gadis baik-baik yang dia kenal selama ini.
Apa mungkin selama ini gue berada di dalam kegelapan sehingga gue tidak benar-benar mengenal Lana?
Lalu, di saat Baskara balas memagut bibir kekasihnya, kata-kata Disty di depan pintu tadi terngiang di benak Baskara.
“Ini mungkin nggak masuk akal buat kamu, tapi yang ada di tubuhku itu Kak Disty. Sementara yang ada di tubuh Kak Disty adalah aku. Lana, pacar kamu.”
***