Suara ambulans memekik menuju lobi UGD, sementara di depan UGD beberapa perawat dan dokter jaga sudah siap untuk menyambut pasien mereka. Ketika aAmbulansce sudah tiba di depan UGD, lalu petugas segera membuka pintu mobil ambulansnya. Pasien yang dibawa di ambulans itu terluka di bagian kepala sehingga kepalanya dibebat oleh perban. Petugas ambulansce sudah menahan darah di kepala pasien yang tadinya terus mengalir terus, sehingga lalu pasien itu langsung dipindahkan ke tandu yang dibawa oleh para perawat. Dalam kepanikan tersebut, seorang perempuan berusia sekitar dua puluh delapan tahunan mendekat ke tandu. Wajahnya cantik, rambutnya pPanjang dikuncirikat, satu di tengah dan dia membawa satu tas backpack di punggungnya. PerempuanDia yang tidak memakai baju dokter itu, memegang pasien dan tampak memeriksa keadaan pasien dengan peralatan seadanya.
Dokter jaga dan perawat yang mau membawa si pasien nya menoleh serentak. Dokter jaga langsung merasa segan dan bertanya sambil mendekati si perempuannya. “Dokter Danilla, belum berangkat?” Namun, perempuan yang disebut dokter Danilla itu tidakbelum menjawab karenadan masih sibuk berkutat dengan pasiennya.
“Tadi dia dipukul?”, Danilla akhirnya bersuara namun bertanya kepada petugas.
“Iya, pasien terpukul saat melewati area tawuran dengan kayu yang cukup besar.”
Danilla langsung memeriksa mata si pasien.nya, “Langsung didaftarkan untuk pindai CT ya”.”
Dokter jaga dan perawat pun mengangguk. Para perawat lalu mendorong tandu yang membawa si pasienmbawa tandu dorong itu langsung ke lorong UGD. Dokter jaga kemudian tersenyum ke Danilla yang berjalankemudian membarengi si perawat dan si pasien itu. Danilla hendak menyusul ke a rah mereka. Namun, dari jarak yang tidak begitu jauh, terdengar suara pria yang terdengar menyayanginya kemudian memanggil.
“Mau ke mana, Byby?”
Danilla menoleh, lalu dia menemukan Fikar berada di belakangnya yang mendekat di belakangnya sebelum akhirnya lalu menyentuh tangannya dengan lembut. Panggilan “‘Bby”’ atau adalah “Bababy” adalah panggilan sayang untuk Danilla yang sudah disandangkan oleh Fikar, pacar dari Danilla yang sudah bersamanya kurang lebih setahun. Fikar adalah seorang pengacara di sebuah firma hukum yang cukup terkenal di Indonesia. Tubuhnya tinggi, tegap, tidak terlalu kurus ataupun gemuk, memakai kacamata, berpakaian rapi dan selalu membawa tas kulit kotaknya. Tampang Fikar terlalu serius untuk memanggil Danilla dengan panggilan yang cheesy, t. Tetapi Fikar menyukainya.
“Aku mau cek pasien yang tadi baru dateng. Masih ada waktu,.” ucap Danilla tampak yakin setelah melihat jam tangannya.
Namun Fikar membalas dengan menggelengan kepala., “Nggak., Ke bandara itu unpredictable waktu tempuhnya, Bby. Teman-teman kamu juga udah siap di lobiby.”
Danilla masih menatap ke arah ruang UGD dengan cemas, namun F. Fikar merangkulnya lembut.
“Ada dokter jaga lainnya, Bby., Kamu nggak usah khawatir. Yuk!”
Danilla akhirnya mengangguk dengan lemas. Sementara, Fikar berusaha membawangajak Danilla pergi dengan lembut.
Namun setibanya di lobi Danilla masih tampak belum rela untuk pergi dari rumah sakit. Fikar dapat melihat muka pacarnya yang cemberut tetapi berusaha menutupinya dengan diam itu.
“Kamu tuh, mau ninggalin aku dua bulan, lho. Harusnya aku yang cemberut!” Fikar mengerutkan kening dan mukanya yang berubah jadi cemberut lucu di hadapan Danilla.
Danilla menoleh ke Fikar lalu tersenyum dan menggandeng tangan pacarnya dengan lembut.
“Maaf ya, Fik. Aku tuh baru ngerasa nyaman kerja di rumah sakit ini., Jadi aku merasa sSetiap pasien yang datang ke sini seperti membutuhkan aku.”
“Lho , kok kedengerannya jadi kayak kamu yang bakal pergi lama sih, Bby? Kan cCuma dua bulan.”
Danilla menghela napfas dan akhirnya menatap Fikar cukup dalam baginya.
“Kalo gitu, kamu juga jangan sedih ya., Karena aku pergi cuma dua bulan. Kita masih bisa ketemu online.”
“Pacar aku dingin banget sih.” Fikar mencubit hidung Danilla dengan gemas.
Danilla akhirnya menghibur Fikar dengan memeluknya, d. an Fikar pun membalas pelukan Danilla dengan erat. “Jaga Kesehatan ya, Fik.”
.” Fikar mengangguk dalam pelukannya Danilla. “Iya. Kamu juga.”
“Udah yuk farewell-nya., Nanti keburu jadi film drama romantisc lho!”
Ssebuah suara cowok agak cempreng memecah perpisahan Danilla dan Fikar yang tadinya cukup syahdu tadinya. Suara itu berasal dari mulut Berry, rekan Danilla , yang tampangnya agak tablo dan lucu. Di sebelahnyanya ada Indy, sahabat Danilla yang menyikut Berry.
“Ganggu aja lo!” omel Indy.
“Biarin!” seru Berry dengan tetap senyum usil.
Danilla dan FikarKeduanya akhirnya melepaskan pelukan mereka. Lalu Fikar mengecup kening Danilla dengan lembut. Fikar kemudian berteriak kepada Berry dan Indy.
“Titip Danilla gue ya!, Minimal, hatinya, jangan sampai tersakiti.”
Berry langsung merasa Fikar kelewat cringe.
“Yuk, buruan ah., Nanti keburu geli sendiri gue!”
Semuanya tertawa lalu mereka pun berpamitanpamitan.
Hanya Danilla, Berry, dan Indy yang diberangkatkan ke Sumba untuk pembukaan cabang baru klinik rumah sakit mereka karena dibukanya cabang klinik baru dari rumah sakit mereka di Sumba. Mereka bertiga ditugaskan untuk harus mengajarkan kepada tenaga ahli medis di sana disana.
Di alam perjalanan yang cukup singkat, Berry tertidur nyenyak sementara Indy membaca buku tentang penyakit yang sedang didalaminya.
Danilla yang duduk di dekat jendela hanya menatap kosong ke langit sore yang sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Lalu, Hingga, lamunan Danillanya dibuyarkan oleh suara Indy.
“Lo perhatian banget sama itu.” Pertanyaan yang Indy maksud adalahIndy menunjuk ke kalung liontin awan yang ternyata dari tadi digenggam Danilla dan bahkan diusap Danillanya beberapa kali.
Danilla langsungyang kikuk dan memasukkan kalung ke dalam kantungnya seperti menyimpan perasaannya. itu memasukkan kalung ke dalam kantungnya. “Gue suka bentuknya aja. Jadi gue simpen.” Danilla yang kikuk dan seperti menyimpan perasaannya itu memasukkan kalung ke dalam kantungnya.
“Santai aja., Nggak usah kikuk gitu. Kayak sama siapa aja.” Indy tahu kalau sahabatnya itu enggan membahas hal itu. Indy punLalu dia kembali membaca bukunya.
Ketiga sahabat itu kemudian pun telah sampai di bandara Sultan Muhammad Kaharrudin, Sumbawa Besar. Saat itu tepat pukul 17.00 WITA, dan matahari sudah siap tenggelam pada waktunya. Langit biru dan udara yang bersih menyambut mereka dengan ramah.
Danilla kemudian menatap luas ke hadapannya sambil berjalan ke masuk ke arah parkiran yang luas sambil menatap ke depan.
Lalu tatapan Danilla terpaku padaHingga, sebuah mobil JeepTNI AL yang menjemput mereka dari kejauhan sudah tiba tepat waktu, di saat Danilla, Indy dan Berry datang. Tampak tiga anggota TNI AL turun dari mobil Jeep itu jeep itu dengan gagah. Mereka berjalan menuju ke arah Danilla, Indy, dan Berry. Sesaat, langkah Danilla mulai memelan sambil menatap ke depan seakan ada sosok yang dikenalinya. Danilla pun akhirnya memastikan dan terus melangkah sambil memegang kalung liontin awannya.
“Bentang Langit Angkasa.”
“Bentang Langit Angkasa”. Pandangan Danilla akhirnya benar-benar jelas dan lekatdekat ke dengan salah satu anggota TNI AL yang berada paling depan. DiaDia adalah sosok yang tinggi dan tegap., Raut wajahnya tegas namun menyembunyikan manis dari senyumnya. Pangkatnya adalah kKapten yang tampak disegani oleh dua orang kopral di belakangnya. Pandangannya kini juga lekat kepada Danilla. Keduanya lalu saling berpandangan dengan tatapanmasih tidak menysangka.
“Aku sayang sama Danilla, Ppa. Aku nggak mau mengikuti keinginan papa untuk jadi TNI!” Suara itu terngiang di kepala Langit saat melihat Danilla. Keduanya saling tidak menyangka akan dipertemukan kembali.
“Ini takdir atau kebetulan saja.”