Hati dan Logika (Chapter 3)

Tidak seperti yang Kemala bayangkan, Deva ternyata tidak terima saat dia tahu akan dinikahkan. Terlebih dengan perempuan yang tidak dia kenal.

“Oma kenapa nggak ngomong dulu sama aku?” keluh Deva via video call pagi itu. “Oma kan tahu kalau aku lagi banyak kerjaan. Ada banyak proyek yang lagi aku urus. Aku bener-bener nggak punya waktu luang, Oma. Sarapan aja aku nggak sempet. Apalagi menikah…”

“Banyak alasan kamu, Deva!” seru Kemala sambil menepuk layar ponselnya. “Bilang saja kamu mau menghindar lagi kayak yang sudah-sudah! Kamu sudah janji mau menikah sama perempuan mana pun yang Oma carikan lho! Jangan lupa sama janji kamu yang satu itu ya, Anak Nakal!”

“Aku nggak menghindar kok, Oma. Aku juga masih ingat sama janjiku itu. Tapi aku benar-benar nggak punya waktu buat menikah saat ini.”

“Terus kapan kamu punya waktu buat menikah? Pas kiamat nanti?!”

Deva tertawa geli saat melihat wajah Kemala yang kesal. Walaupun Deva sangat menghormati Kemala, namun dia tidak bisa menahan tawa saat neneknya itu mengomel. Entah kenapa, wajah jengkel Kemala dan suara omelannya terasa lucu bagi Deva.

“Jangan ketawa, Deva!” Kemala terus mengomel. “Ini masalah serius! Oma nggak mau melihat kamu terlalu sibuk kerja sampai lupa menikah! Oma bisa keburu mati sebelum melihat kamu punya anak!”

“Oke, oke…” Deva pun berhenti tertawa. Wajahnya berubah serius. “Besok aku akan menemui Pak Darmawan dan anak perempuannya itu. Sesuai dengan keinginan Oma.”

“Gitu dong, Anak Nakal!” seru Kemala sambil bernapas lega. “Pokoknya kamu tenang aja. Darmawan akan mengurus pernikahan kalian. Kamu hanya perlu duduk manis.”

“Oke…”

“Ya sudah. Oma mau tidur dulu. Besok Oma akan telepon kamu lagi.”

Namun, sebelum Kemala mematikan sambungan video call, Deva memanggilnya. “Oma…?”

“Ada apa lagi?” tanya Kemala sedikit mengeluh. “Obat tidur Oma sudah bereaksi nih…”

“Oma akan datang ke pernikahanku, kan?” tanya Deva dengan tatapan penuh harap.

Kemala terdiam sebentar. Wajahnya lalu terlihat sedih. “Maaf, Deva. Sepertinya Oma tidak bisa datang—”

Deva langsung memotong Kemala. “Oke, Oma. Selamat tidur.” 

Kemala yang menyadari kekecewaan di wajah Deva ingin menghibur cucunya itu, tapi Deva sudah lebih dulu mematikan sambungan video call mereka.

Deva lalu membuka file berisi data anak perempuan Darmawan yang dikirim oleh Kemala sebelum mereka video call tadi. Dengan wajah dingin dia menatap sebuah foto yang muncul di layar ponselnya. Foto Feya Putri Darmawan.

“Kenapa anak semuda dia mau saja dinikahkan dengan orang asing demi menyelamatkan bisnis ayahnya? Bodoh!”

Namun, di saat yang sama, Deva juga merasa sama bodohnya dengan Feya.

***

Tapi, setelah hari pernikahannya, Deva baru menyadari kalau ada orang yang lebih bodoh dari dirinya dan Feya. Yaitu, Giani Putri Darmawan.

Sesampainya mereka di pulau pribadi milik Deva yang terletak di antara Malaysia dan Filipina itu, Deva memperlakukan Gia seperti pembantu pribadinya. Bisa dibilang, Deva membawa Gia ke sana bukan untuk berbulan madu, tapi untuk “menyiksanya.”

“Saya sudah suruh asisten pribadi saya buat bersihin vila ini. Tapi, saya nggak yakin kamarnya sudah bersih.” Deva menoleh ke Gia yang masih berada jauh di belakangnya, kerepotan membawa koper sekaligus mengejar langkah Deva yang lebar. “Cepat kamu bersihin kamarnya! Saya ngantuk!”

Deva lalu pergi ke tepi pantai sebelum Gia sempat menjawab. Gia pun hanya bisa menarik napas panjang lalu pergi ke dalam vila untuk membersihkan kamar mereka. 

Namun, setelah kamar yang sebenarnya bersih itu selesai Gia bersihkan, Deva malah menyuruh Gia tidur di sofa ruang tengah.

“Saya nggak mau tidur sekamar dengan penipu. Kamu nggak masalah kan tidur di sofa?” tanya Deva dengan pandangan merendahkan.

“Nggak masalah,” jawab Gia tenang, tidak terpancing hinaan Deva. “Aku bisa tidur di mana aja kok.”

“Bagus.” Deva menendang pelan koper Gia yang berada tidak jauh darinya. “Keluar sana!”

Gia pun membawa kopernya keluar kamar dan menutup pintunya tanpa suara. Sementara Deva mengembuskan napas kesal sambil menatap jengkel ke arah pintu yang tertutup. 

Kenapa dia nggak marah walau sudah dihina begitu? Dasar gadis bodoh!

***

Keesokan paginya, Deva meminta Gia memasakkan spaghetti aglio olio untuk sarapan. Tapi, sampai siang Deva tidak juga memakan pastanya karena dia pergi main jet ski. Lalu, saat dia kembali ke vila, pastanya sudah kering. Deva pun kembali menyuruh Gia memasakkan menu yang sama untuk makan siang. Tapi sampai malam Deva tidak juga makan karena sibuk zoom meeting di ruang kerjanya. Akhirnya pastanya kembali kering. Deva lalu menyuruh Gia untuk kembali membuatkan menu yang sama untuk makan malam. Namun lagi-lagi Deva tidak memakan pastanya karena ketiduran. Gia pun hanya bisa menarik napas panjang saat tengah malam Deva terbangun dan memarahinya karena tidak membangunkannya untuk makan malam. 

***

Sepanjang “bulan madu” di pulau, Deva terus membuat Gia kesal. Tapi, Gia tidak bereaksi. Gia melakukan apa pun yang Deva perintah tanpa banyak protes. Deva pun jadi semakin kesal dengan sikap Gia yang baginya sangat bodoh itu.

Di malam terakhir sebelum Deva dan Gia kembali ke Jakarta, Deva mengundang beberapa wanita seksi. Deva kemudian menyuruh Gia untuk menyiapkan minuman beralkohol dan makanan ringan untuk para tamunya. Lalu, sementara Deva minum dan berpesta bersama para wanita seksi itu, Gia menjadi pelayan mereka.

Sepanjang pesta, Deva diam-diam memperhatikan Gia yang sedang menuangkan minum ke salah satu tamu Deva yang bernama Caroline. Lalu, dengan bahasa Tagalog Deva meminta Caroline  untuk memperlakukan Gia dengan kasar. Caroline pun bergerak seakan-akan Gia tidak sengaja menyenggol gelas di tangannya hingga jatuh dan pecah. Caroline lalu memarahi Gia.

Are you blind?!” omel Caroline. “You almost hurt me, Estupido!”

I’m sorry. I’m really sorry,” ucap Gia panik sambil mengumpulkan pecahan gelas. “Let me bring you a new one.”

Gia lalu bergegas pergi ke dapur untuk membuang pecahan gelas dan membawakan gelas baru untuk Caroline. Saat Gia kembali ke ruang pesta, Deva memperhatikan wajah Gia. Namun anehnya, wajah Gia tetap tenang, dan itu membuat Deva benar-benar kesal setengah mati. Kenapa dia tetap sabar walau sudah dihina dan diperlakukan kasar begitu? 

Setelah para tamunya pulang, Deva menghampiri Gia yang sedang mencuci piring. Lalu tanpa basa-basi Deva menarik tangan Gia dan memutar badannya hingga menghadap Deva. Gia pun menatap Deva dengan wajah bingung, sementara tangannya masih penuh busa sabun.

“Ada apa… Dev…?” tanya Gia sambil menelan ludah. “Saya lagi… cuci piring.”

Untuk pertama kalinya Deva melihat mata Gia yang memancarkan rasa takut. Mungkin karena Gia belum pernah berada sedekat ini dengan dirinya. Apalagi dalam kondisi setengah mabuk seperti ini.

“Kenapa?” Deva balik bertanya. “Kamu takut?”

Gia tidak menjawab, tapi wajahnya berubah tegang. Dalam hati, Deva tersenyum. Akhirnya dia menemukan kelemahan Gia.

Deva lalu melangkah mendekat hingga akhirnya membuat tubuh Gia tertahan di antara tubuhnya dan kitchen sink. Deva kemudian mengurung Gia dengan kedua tangannya.

“Ka-kamu mau ngapain?” tanya Gia semakin gugup. Matanya refleks melihat kedua tangan Deva yang mengurung dirinya. “Jangan main-main ya, Dev!”

Deva tersenyum sinis. “Saya pikir… Gia Putri Darmawan itu perempuan yang pemberani. Ternyata saya salah.”

“Maksud kamu apa?”

“Kamu setuju melakukan penipuan untuk menggantikan adik kamu yang kabur di hari pernikahannya. Kamu setuju ‘dijual’ ayah kamu untuk menikah dengan orang asing demi menyelamatkan perusahaannya. Apa itu bukan berani namanya? Atau… murahan?”

Gia tidak membalas pernyataan Deva, tapi matanya mulai berair. Hati Deva pun semakin senang.

“Karena kamu murahan…” Deva mendekat hingga tidak ada lagi jarak di antara mereka, “itu artinya saya bisa tidur sama kamu walau kita bukan suami dan istri yang sah. Betul?”

Gia membuka mulutnya untuk menjawab, namun Deva lebih dulu mendaratkan bibirnya di atas bibir Gia. Gia yang kaget pun sontak mendorong Deva sekuat tenaga hingga pemuda yang memiliki tinggi 181 sentimeter itu mundur beberapa langkah dan bajunya basah kena busa sabun.

“Kenapa kamu gampar saya?” tanya Deva sambil kembali mendekat ke Gia. “Kamu nggak suka? Bukannya selama ini kamu nggak keberatan diperlakukan seenaknya?”

Kali ini Gia tidak berdiam diri. Sebelum Deva kembali mendekatkan wajahnya, Gia menampar wajah pemuda itu hingga pipinya memerah.

“Aku nggak peduli kamu mau menghina aku sebagai penipu atau perempuan murahan. Aku juga nggak peduli saat kamu memperlakukan aku seperti pembantu. Aku tahu kesalahanku dan aku akan menerima konsekuensinya,” ucap Gia dengan suara bergetar menahan tangis. “Tapi, asal kamu tahu, Dev. Semua yang aku lakukan ini bukan karena aku berani atau karena aku murahan. Tapi, sebagai seorang anak, aku harus membantu ayahku saat dia lagi terkena musibah. Walaupun aku ingin menolak, walaupun musibah itu bukan kesalahanku, aku harus mau menanggung semua beban ini. Aku nggak bisa memilih antara hati dan logika kalau soal orangtua.”

Deva terdiam. Seketika dia merasa malu. Sudah lama dia tidak berpikir tentang kedua orangtuanya yang berada di surga.

“Aku juga harus menjaga nama baik ayahku dengan menjaga kehormatanku, Dev,” tambah Gia. “Jadi, kamu boleh menghina dan menghukum aku sesuka kamu, tapi jangan perlakukan aku seperti tadi. Karena aku nggak akan tinggal diam!”

Gia lalu pergi meninggalkan dapur sebelum air matanya jatuh. Sementara Deva mengangkat ujung bibirnya sambil menatap ke arah Gia pergi. 

“Akhirnya dia menunjukkan karakter aslinya. Gue pikir dia boneka yang nggak punya emosi.”

***

Exit mobile version