Hari Terburuk (Chapter 17)

Tampak sebuah rumah dengan nuansa serba putih dan abu-abu yang minimalis kemudian cukup besar di sebuah komplek Jakarta Selatan. Di depannya ada beberapa mobil pick up catering dengan nama “Selera Nusantara”, yang mengangkut box-box makanan dan minuman. Rumah tersebut seperti terbagi dua dengan rumah bisnis catering milik Rianti. Di dalam rumah catering tersebut, tampak beberapa karyawan sudah siap ikut dengan mobil sebagai petugas cateringnya. 

 

Di bagian dapur, akhirnya tampak Rianti yang dituntun oleh Langit sambil melihat Danilla yang sedang memasak sup iga sapi. Danilla dengan telaten, memasukkan semua bumbu dan bahan yang sudah disiapkannya. Kemudian, sambil menunggu masakan jadi, Rianti mengajak Danilla untuk melakukan test food terhadap beberapa hidangan kue-kue khas Indonesia. Semua tampak enak dan Danilla seperti memberikan approval untuk Rianti. Rianti tersenyum melihat cara Danilla mencicipi yang sudah seperti chef. Langit juga sesekali melirik Danilla yang dikerjai oleh tantenya. Lalu dia memberikan tisu kepada Danilla karena kerepotannya.  Langit tau kalau tantenya berusaha untuk mendekatkan Danilla kembali dengan Langit. Hal ini membuat Langit jadi pasrah dan terima saja walaupun tidak enak pada Danilla. 

 

Kemudian, Rianti mencicipi sup iga buatan Danilla yang sudah hampir matang. Pada suapan pertama, Rianti langsung tersenyum dan tergugah dengan rasanya. Langit juga penasaran ikut mencobanya dan tampak tertegun sejenak mengenang masa lalu juga masakan ibu Danilla. 

“Supnya enak, Danilla. Rempah-rempahnya terasa, tingkat kematangan daging dan juga sayur-sayurannya semua bagus. Ngga salah kalo kamu memang anak chef yang handal.” Puji Rianti sambil mengusap pundak Danilla. Danilla tersenyum haru. 

“Ibu cuma chef rumahan aja kok tante.” 

“Tapi yang rumahan itu, yang paling tau selera dan khas Indonesia itu gimana.” 

“Tante, minum obat dulu, trus kita makan yuk. Kasian juga Danilla dateng ke sini belum disuguhin makan.” Langit tampak mulai tidak enak pada sikap Rianti yang tampaknya ingin memanjangkan pertemuan mereka. 

“Iya, sayang. Ayo kita ke ruang tengah.” 

Danilla membantu Langit untuk menyiapkan hidangannya di meja makan. Sementara, Rianti ke kamarnya untuk mengambil obat. Mereka berdua agak terdiam canggung. 

“Maaf ya, tante memang suka demanding gitu kalo ada maunya.” 

“Ngga apa-apa, aku juga hari ini libur dan sekalian ngobatin rinduku sama suasana catering.” 

“Untuk yang itu juga maaf, aku takut kamu sedih. Tapi sup iga kamu ngeingetin aku juga sama tante Celine.” Perkataan Langit membuat Danilla sempat menatapnya sejenak hingga membuatnya salah fokus dan salah satu mangkuk sup yang dibawanya menyenggol ke kemeja Langit. Kuah supnya tumpah cukup membuat bentuk bulat di kaosnya Langit. 

“Ya Tuhan, maafin aku Langit. Ngga sengaja.” Danilla langsung mengambil tissue basah dan juga tissue kering miliknya lalu mengelapnya ke kemeja Langit.

“Ngga apa-apa, Dan.” Kemudian Langit mengendus bagian bajunya yang bau kaldu. 

“Tapi wangi banget baju aku udah kaya sup iga.” Respons Langit yang agak lucu membuat Danilla tertawa kecil. 

“Aku suka sih sup iganya, tapi ngga sampe harus ditempelin gini di baju.” Omelan Langit yang menunjukkan sifat aslinya kemudian membuat Danilla malah jadi salah tingkah.

“Ya udah, sabar dulu. Aku lagi elap pake tisu basah yang wangi kok.”  

“Bisa ilang kan bekasnya, Dan? Malem ini aku ada ketemuan TNI AD dari Surabaya.” Langit seperti baru teringat dengan janjinya dan berubah panik. Kemejanya yang berwarna biru muda itu kemudian memiliki bercak di bagian bawah. 

“Sebentar ya, aku coba gosok dulu. Kamu diem dulu.” 

“Tapi bisa ilang kan, Dan? Aku ngga mungkin balik lagi ke rumah. Soalnya jauh. Lagian kenapa kamu ngelamun trus ngga fokus gitu sih tadi?” 

“Yaampun, iya maaf sih. Aku juga ngga sengaja.” Danilla masih sibuk dan kikuk membersihkan pakaian Langit. Langit masih gusar melihat bercaknya yang tidak hilang. 

“Dan, seriusan. Bisa ilang ngga?” 

“Iya bentar aku lagi gosokin dulu.” 

Langit semakin panik, hingga Rianti muncul ke ruang makan melihat kehebohan mereka. 

“Kalian ini kenapa sih? Kok kayanya tante denger ribet banget.” 

“Ini Danilla ngga sengaja numpahin sup iga ke baju aku tante. Aku kan ada acara nanti malam.” 

“Yaampun, Langit. Habis dari rumah tante, kamu bisa beli dulu yang baru di mall deket sini. Itu dicuci aja udah.” 

“Tapi ini juga kemeja baru tante. Masa Langit beli lagi.”  Langit kali ini merengut seperti anak kecil ke ibunya. 

“Yaudah, apa salahnya beli lagi. Memang acara apa sih nanti malam?” 

“Itu lho tante, aku mau ketemu Mayjen Soediro dari Surabaya dan timnya.” 

“Oalah itu toh, aduh tante sampe lupa. Yaudah, nanti kita ke mall bareng ya. Tante juga belum belanja bulanan. Danilla ikut ya. ” 

Danilla yang merasa bersalah jadi mau tidak mau mungkin harus menemani. Tetapi Langit sendiri kebingungan harus bagaimana. Rianti menggandeng dan mendorong pelan mereka berdua ke kursi makannya masing-masing. Langit malah mau berlalu ke kamar mandi. 

“Aku ke kamar mandi dulu ya tante.”

Saat Langit sudah pergi berlalu, Danilla agak mendekat mau berbicara pelan kepada Langit. 

“Tante, saya ngga ikut ya? Saya ngga enak kalo Chelsea tau.”

“Jadi kamu udah tau kalo Langit dijodohkan sama Chelsea?” 

“Dijodohkan?” 

“Iya, ini semacam keinginan dari papanya Langit, kakak ipar saya. Karena papanya Chelsea dulu yang membantu Biru untuk jatuh dari keterpurukan sejak kasusnya. Sampai dia benar-benar dinyatakan tidak bersalah. Tante yang kasihan sama Langit. Dari dulu selalu ikutin keinginan papanya. Kalo mbak Aura masih ada, pasti dia ngga setuju juga.” Tampak ada kerinduan dan juga penyesalan dari 

“Tapi walaupun begitu, aku masih ngga enak, tante.”

“Tante belum banyak tau soal Chelsea, tapi dia perempuan yang baik. Hanya aja, tante tau kalau hati Langit belum berpindah ke siapapun selain kamu. Setelah tante ketemu kamu dari kemarin, tante bisa mengerti kenapa dia memilih kamu dan tante lebih merestui kalian.”

Danilla tertegun sesaat dengan ucapan Rianti bahkan belum bisa menjawab. Hingga, Langit keluar dari kamar mandi. Mereka berdua pun mengalihkan pembicaraan ke makanan sambil mengambil makanannya masing-masing. Langit pun tidak merasa curiga dengan gesture mereka dan menyantap makanannya. Mereka menyantap makanannya dengan lahap. Rianti tampak bisa menambah terus makanannya 

Tak lama setelah mereka menyantap makanannya, Chelsea datang diantar oleh asisten rumah tangga tante Rianti. Semua tampak agak terkejut dengan kedatangan Chelsea. Begitupun dengan Chelsea yang melihat Danilla ada di sana. Chelsea tetap bersikap sopan dan ramah lalu mendahului untuk menyalami Rianti. 

“Tadi Langit ngabarin kalo dia lagi nemenin tante di rumah pasca ke rumah sakit kemarin. Gimana keadaannya sekarang, Tan?” 

“Tante sudah jauh lebih baik kok, Chel. Dokter Danilla tante minta ke sini untuk kontrol tante juga.” Rianti rupanya berusaha untuk membuat Chelsea tidak salah sangka akan kehadiran Danilla. Sementara, Danilla sendiri mulai merasakan canggung walaupun Chelsea tetap tersenyum dengan manis padanya.

“Syukurlah kalo gitu, kalo dokternya Danilla aku ngga perlu khawatir.” Chelsea tampak berterima kasih dengan wajahnya yang tampak tidak curiga. 

“Terima kasih ya, Chelsea kamu udah sempetin datang ke sini.” 

“Maaf kalo kedatangan aku jadi bikin kaget, padahal kan Langit bisa ajak aku.” 

“Kamu kan, bilang kalo ada shift siang dan malemnya aku ada acara.” 

“Ya udah ngga apa-apa kok,  shift-ku selesai cepet. Aku memang pengen ke sini.” 

“Udah, ngga usah berdebat. Yuk makan, Chelsea. Sup iga buatan Danilla enak banget lho.” Kali ini Rianti akhirnya keceplosan dan hal ini mulai membuat Chelsea agak heran. Langit pun hanya dapat terdiam dengan canggung. 

“Danilla ini almarhumah ibunya dulu usaha catering juga, jadi tante penasaran gimana masakannya. Salah satu andalan resep dari ibunya yang dia pelajari itu, sup iga sapi. Kamu harus coba deh, Chel.” Sebelum Danilla ingin menyelamatkan keadaan, Rianti akhirnya membuat alasan untuk menepis kecurigaan. 

“Oh bener sih tan, masakannya emang enak. Waktu itu aja Chelsea minta bantuan sama dia dan tumisan sayur biasa aja jadi kaya rasanya. Langit aja suka kok. Kayanya aku memang harus belajar sama Danilla soal masakan. Supaya bisa lebih deket.” 

Kalimat terakhir Chelsea kini malah membuat Danilla jadi tidak keruan. Tetapi dia tidak bisa pergi begitu saja dan melanjutkan makan dengan rasa yang enak tapi kian hambar. 

***

Langit malam tampak cerah hari itu, hingga terdengar suara deru mobil taksi online yang membawa Danilla di belakangnya, tiba di dekat kontrakan Danilla. Kontrakan Danilla berada di komplek rumah sederhana yang letaknya seperti cul-de-sac. Maka mobil lebih baik berhenti di depan komplek cul-de-sac tersebut. Saat Danilla masuk ke dalam, dia dapat melihat mobil Fikar dan tampak Fikar duduk di teras rumahnya. 

Fikar akhirnya sadar kalau Danilla sudah tiba di depan rumahnya.  Mereka saling memandangi dengan kecanggungan. 

“Fikar, kok kamu ngga ngabarin aku, kalo mau ke rumah? Kamu udah nunggu lama ya?”

“Kamu sendiri kenapa baru balik jam segini? Kamu urusin pasien pribadi sampe jam segini?” 

“Rumahnya memang agak jauh dan di jalanan macet. Maaf, kamu nunggu lama ya?” 

“Dan, dari kamu pulang dari Bima, kamu belum luangin waktu buat aku seharian. Bahkan kamu ngga bilang kalo mesti aku jemput, yaa aku jemput.” Nada bicara Fikar kini semakin serius dan tegas. 

“Aku pikir ngga akan seharian, Kar. Aku ngga ngehubungin kamu karena aku takut ngerepotin kamu, atau ganggu me time kamu.” 

“Aku ini pacar kamu, Danilla! Kamu ngga harus ngerasa repot. Setidaknya kamu hubungin aku gitu, aku harus gimana. Selama ini, selalu aku duluan yang inisiatif. Tapi kamu ngga! Aku ngerasa ngga pernah dibutuhin sama kamu sebagai pacar. Atau kamu memang ngga pernah anggep aku pacar?!” Kemarahan Fikar saat itu adalah yang mungkin merupakan puncaknya dari hampir dua tahun bersama Danilla. Fikar pernah mendebat tentang hal ini kepada Danilla. Kemudian Danilla berubah, lalu itu hanya bersifat sementara. Benar apa yang dikatakan Fikar, mungkin dia lelah dengan pacaran yang hanya sepihak. 

Danilla benar-benar kehilangan kata-kata. Hari itu merupakan hari terburuk untuknya. Danilla sadar kalau dia memang jahat pada Fikar. Dia sayang Fikar hanya pada permukaan dan karena kebiasaan, tapi bukan dengan perasaan terdalamnya. Bahkan, mungkin wajar bagi Fikar untuk menyelingkuhinya. Karena Danilla tidak pernah berperan sebagai pacarnya. 

“Kamu akan diem kaya gitu terus, Dan? Waktu di Bima, kamu tanya aku apa aku sayang sama kamu? Kenapa kamu tanya kaya gitu? Apa kamu ragu sama cinta aku yang selalu bertepuk sebelah tangan?” nada bicara Fikar kini meninggi dan itu membuat Danilla makin bersalah. 

“Kamu jangan ngomong kaya gitu, Kar. Aku mau jelasin dulu.” 

“Ngga usah, Dan. Aku udah merenungi semuanya saat kamu di Bima. Mungkin aku memang ngga pernah pantas buat kamu. Belum pernah aku ngerasain, ngebuang waktu aku sepanjang ini dengan perempuan egois kaya kamu! Semoga kamu berhasil di hubungan kamu selanjutnya!” Perkataan Fikar ini akhirnya membuat Danilla sedih sekaligus marah dengan dirinya sendiri. 

Saat Fikar berlalu ke mobilnya, Danilla pun teringat dengan apa yang pernah dibicarakan Indy tentang Fikar dan klien itu. Walaupun Danilla jahat dan mungkin selalu mempertanyakan perasaannya pada Fikar, tetapi dia juga tidak mau jadi wanita bodoh yang dapat diselingkuhi. 

“Maaf dan terima kasih, Kar untuk semuanya. Maaf udah membuat kamu menyesal. Tapi, rasa sayang itu ada dan menghargai kamu sepenuhnya. Semoga kamu juga berhasil dengan hubungan kamu yang sekarang.” 

Bagaimanapun, Danilla akhirnya mengungkapkan perasaannya yang merasa dikhianati. Dia mungkin tidak berguna bagi Fikar dan bersikap jahat.  Tetapi, seharusnya Fikar tidak sampai membohonginya di belakang. Fikar sempat tertegun sejenak dengan perkataan Danilla yang mengetahui hubungan gelapnya. Namun, Fikar sudah bersikap bodo amat dan pergi begitu saja. Kini, hanya perasaan Danilla yang mulai perih karena hari itu merupakan yang terburuk baginya. “Tuhan, apakah aku pantas untuk mendapatkan ini semua?”

Exit mobile version