“Itu contoh ya, Mbak?”
Atika menoleh ke arah yang ditunjuk pelanggannya, ke maneken tidak berkepala yang mengenakan gaun sutera berwarna putih dan terpajang cantik di balik jendela toko.
“Itu punya orang, Bu,” jawab Atika sambil mengukur pinggang si pelanggan dengan meteran jahit. “Tapi sudah tiga tahun belum diambil juga.”
“Tiga tahun?” tanya si pelanggan dengan muka heran. “Kenapa belum diambil? Belum ada uangnya?”
“Sudah dibayar lunas di awal. Makanya saya bingung kenapa belum diambil juga…”
Atika kemudian mengalihkan pembicaraan sebelum rasa bersalah kembali menghantuinya.
***
Saat itu Atika baru saja kehilangan suaminya yang meninggal karena kecelakaan di tempat kerja. Suaminya yang bekerja sebagai mandor bangunan itu terjatuh dari lantai lima sebuah hotel bintang tiga yang sedang dia awasi renovasinya. Atika pun mencoba menyambung hidup dengan mengubah gudang alat pertukangan milik suaminya di halaman rumah menjadi bangunan serupa butik yang sangat sederhana. Atika membuka jasa menjahit karena menjahit adalah satu-satunya keahlian yang dia punya. Meski tidak sekolah menjahit, hasil jahitan Atika tidak kalah rapi dengan jahitan desainer terkenal.
Namun, karena rumahnya terletak di area perkampungan menengah ke bawah, butiknya sepi. Tidak banyak orang yang membutuhkan jasa menjahitnya. Dalam sebulan paling hanya ada 1-2 orang yang datang. Itu pun kenalan yang dibawa oleh saudara atau temannya yang tahu kemahiran menjahit Atika. Sementara para tetangganya hanya datang untuk memendekkan celana yang kepanjangan atau memasang kancing seragam yang upahnya tidak seberapa.
Demi mendapatkan uang yang cukup untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, Atika membeli beberapa lembar kain dengan sisa uang sumbangan para tamu yang datang melayat suaminya di rumah duka. Dia menjahit kain-kain itu menjadi kemeja, blus, gaun, dan celana. Kemudian dia jual hasil jahitannya itu di pasar atau dia tawarkan ke teman-temannya.
Suatu hari, saat Atika sedang membuat pola kemeja di kain yang baru dibelinya, sebuah mobil mewah berhenti di depan butiknya. Seorang wanita muda, usianya mungkin sekitar pertengahan 30 tahunan, turun dari pintu belakang mobil. Atika yang memperhatikan dari balik jendela butik bisa menilai kalau wanita keturunan Tionghoa itu memiliki karakter yang anggun dan berkelas. Rambut wanita itu panjang tergerai, lurus dan halus seperti model iklan shampoo. Dia memakai gaun batik berwarna dasar hitam dan sepatu hak pendek berwarna cokelat tua. Di tangannya ada sebuah tas cukup besar yang bentuknya sederhana, tapi logo dua huruf C kecil di bagian ritsleting menunjukkan betapa mahalnya tas yang berwarna senada dengan sepatunya itu.
Kenapa wanita kaya ini datang ke butikku? Dari mana dia tau soal butikku ini? Atika bertanya-tanya sementara wanita itu membuka pintu dan masuk ke dalam butik.
“Selamat pagi, Bu,” sambut Atika sambil bangun dari kursi jahitnya. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Iya, saya mau jahit baju. ” Wanita itu menghampiri Atika ke area jahit. “Perkenalkan. Nama saya Lilian. Biasa dipanggil Lili.”
“Oh iya, Bu Lili. Saya Atika.” Atika menjabat uluran tangan Lili, lalu dia memberanikan diri bertanya. “Bu Lili tahu butik saya dari mana?”
“Saya dengar dari teman saya yang pernah menjahit baju di sini. Katanya jahitan kamu bagus dan rapi,” ucap Lili sambil tersenyum ramah. “Makanya saya jauh-jauh datang ke sini untuk jahit baju sama kamu.”
“Terima kasih, Bu…” Atika tersipu malu meski dia tidak tahu siapa teman yang dimaksud Lili.
“Panggil mbak aja, Mbak Atika. Umur kita kayaknya nggak beda jauh.”
“Oh iya, silakan duduk, Bu Lili.”
Lili duduk di bangku plastik berwarna merah yang berada di samping mesin jahit sambil melihat sekilas ke sekeliling butik. Sementara Atika duduk di sebelah Lili dengan perasaan gugup. Lili sudah jelas terlihat memiliki banyak uang dan memiliki selera berpakaian yang bagus. Bagaimana kalau nanti dia kecewa dengan jahitan Atika yang ternyata tidak sebagus yang diceritakan temannya?
“Kamu sudah lama jadi penjahit?” tanya Lili membuyarkan pikiran Atika.
“Saya tiga tahun bekerja menjadi penjahit di salah satu butik terkenal di Pasar Baru. Terus, dua tahun lalu, saya menikah dan berhenti jadi penjahit karena permintaan suami saya.”
“Lalu kenapa sekarang kamu menjahit lagi? Suami kamu sudah mengizinkan?”
“Suami saya meninggal, Mbak.” Atika menurunkan tatapannya dari wajah Lili ke lantai keramik yang sedikit retak di bawah kakinya. “Jatuh pas lagi mengawasi renovasi hotel…”
“Oh…” Lili terdiam sebentar karena tidak menyangka jawaban Atika. “Turut berduka ya, Mbak…”
Lili tersenyum sambil menepuk pelan tangan Atika, mencoba memberi semangat. Kemudian setelah Atika balas tersenyum, Lili mengambil kantong kertas berwarna cokelat dari dalam tasnya dan mengeluarkan isinya. Sehelai kain berwarna putih dengan motif bunga lili putih di bagian dasarnya.
“Saya mau meminta kamu menjahitkan saya sebuah gaun dari kain ini,” kata Lili sambil memberikan kain di tangannya ke Atika. “Ini hadiah ulang tahun dari calon suami saya yang dia beli waktu kami liburan ke Jepang.”
Sekali pegang, Atika tahu bahwa itu kain sutera asli. Warna putihnya… Atika tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Yang pasti warnanya tidak terlalu terang seperti putih lampu, dan juga tidak terlalu redup seperti warna putih tulang. Warna putih yang enak dipandang mata. Lalu, corak bunga lilinya semakin membuat kain itu terlihat mahal.
“Kainnya bagus sekali, Mbak,” puji Atika. Tapi mendadak wajahnya terlihat khawatir. Dia tidak yakin bisa memotong dan menjahit bahan sebagus itu. Kalau kainnya jadi terlihat jelek, bagaimana?
“Jangan takut. Saya yakin kamu pasti bisa,” ucap Lili, seakan tahu isi pikiran Atika. “Saya sudah lihat sendiri hasil jahitan kamu dari teman saya. Kalau saya nggak yakin dengan kemampuan menjahit kamu, saya nggak akan datang jauh-jauh ke sini, kan?”
Mendengar itu, Atika pun jadi bersemangat. Biarlah, pikirnya. Dicoba saja. Toh dia sudah beberapa kali menjahit baju pengantin yang kainnya sangat halus waktu masih bekerja di butik dulu.
“Baiklah,” jawab Atika kemudian. “Saya akan menjahitkan Mbak Lili sebuah gaun dari kain ini. Asalkan Mbak Lili nggak meminta saya menjahit gaun yang modelnya rumit.”
“Tenang saja. Saya yakin kamu pasti bisa membuat gaun yang saya inginkan.” Lili melihat ke arah meja tempat Atika membuat pola. “Saya boleh minta kertas kosong dan pensil? Biar saya gambarkan model gaun yang saya inginkan.”
Atika memakai koran bekas untuk membuat pola jahitannya, jadi dia memberikan Lili selembar kertas nota pembelian benang yang belakangnya masih bersih karena hanya itu kertas kosong yang dia punya. Lalu, dengan pensil merah biru yang biasa Atika gunakan untuk membuat tanda di pola jahitan, Lili mulai menggambar model gaun yang dia inginkan sementara Atika memperhatikan di sampingnya.
“Saya akan memakai gaun ini di acara pemberkatan pernikahan saya dua bulan lagi,” cerita Lili sambil mencoret-coret kertas. “Sebenarnya saya ingin memakai tema adat Tionghoa untuk acara pemberkatan pernikahan saya itu, tapi calon suami saya ingin tema yang umum saja. Yang laki-laki pakai jas, dan yang wanita pakai gaun. Makanya saya membuat gaun dari kain pemberian calon suami saya ini.”
Lili ternyata cukup mahir menggambar. Atika langsung bisa menangkap model gaun yang diinginkan Lili. Seakan sudah menjadi tema penampilannya, model gaun yang diinginkan Lili terlihat sederhana namun anggun dan mewah. Atika bisa membayangkan secantik apa Lili saat memakai gaun itu. Apalagi corak lili putih di bagian bawah gaun akan terlihat seperti padang lili yang tertiup angin saat Lili berjalan di altar.
“Bagaimana? Kamu bisa kan jahit gaun seperti ini?” tanya Lili setelah Atika selesai bertanya soal model gaun yang digambar Lili.
Atika mengangguk. “Sepertinya saya bisa, Mbak.”
“Kalau gaun jahitan kamu bisa bikin badan saya kelihatan langsing sedikit, saya akan langganan jahit gaun sama kamu. Terutama kalau kamu bisa membuat perut saya ini nggak menjadi perhatian orang-orang.”
Lili tertawa sambil mengelus perutnya yang sama sekali tidak buncit. Atika ikut tertawa seraya mengambil meteran jahit untuk mengukur badan Lili. Dia bergerak ke kiri dan kanan dengan hati riang karena mendapat pelanggan sebaik Lili.
Setelah selesai mengukur, Lili langsung membayar lunas gaunnya sebelum dia pamit pulang. Atika pun kembali ke meja pola untuk membuat pola gaun Lili. Setelah mendapat kepercayaan dan uang bayaran yang cukup banyak dari Lili, Atika jadi semangat dan tidak sabar menjahit gaun itu. Atika pun memulai polanya dengan membuat garis lurus di koran bekas dengan bantuan penggaris dan pensil. Dan di saat itulah Atika tersadar kalau dia lupa menanyakan alamat dan nomor telepon Lili. Saking terlalu senangnya mendapat pelanggan baru yang baik dan berpotensi menjadi pelanggan tetap, Atika sampai lupa dengan hal sepenting itu.
Tapi akhirnya Atika mengangkat bahu. Dia yakin Lili akan mengambil gaun itu dua minggu lagi.
***
Satu bulan berlalu setelah Atika menyelesaikan gaun Lili, tapi Lili tidak juga datang mengambil gaunnya.
Mungkin dia sibuk, pikir Atika sambil memakaikan gaun Lili di satu-satunya maneken yang dia punya. Aku yakin Mbak Lili itu wanita karir. Penampilannya aja rapi dan anggun begitu. Pasti dia sibuk dengan pekerjaannya.
Atika memajang maneken yang memakai gaun Lili di belakang jendela butik agar Lili bisa melihatnya saat dia datang nanti. Maneken tidak berkepala itu terlihat sangat anggun dan cantik dalam balutan gaun Lili. Atika bahkan tidak bisa tidak merasa bangga saat melihat gaun yang dijahitnya dengan penuh perasaan dan kehati-hatian itu. Lili juga pasti akan merasakan hal yang sama saat dia mengenakan gaun rancangannya itu nanti.
Namun, Lili tidak juga datang. Sedangkan Atika tidak bisa menemukan Lili meski dia sudah mencoba berbagai cara yang dia bisa. Dari menanyakan ke para pelanggannya yang mungkin mengenal Lili, sampai memasang iklan di koran dan sosial media. Sayang, hasilnya nihil.
Dan, tidak terasa, satu tahun berlalu. Lalu dua tahun. Lalu tiga tahun.
Atika mulai menyesali kecerobohannya. Seandainya hari itu dia tidak lupa menanyakan alamat dan telepon Lili, gaun itu pasti sudah dikenakan Lili di acara pemberkatan pernikahannya. Semua tamu yang hadir pasti akan menatap kagum Lili yang terlihat sangat anggun memakai gaun itu.
Atika kemudian jadi mengkhawatirkan Lili. Apa terjadi sesuatu sama Mbak Lili? Apa calon suaminya melarang dia memakai gaun dari penjahit amatir seperti dirinya, makanya dia tidak mengambil gaunnya? Atau jangan-jangan Mbak Lili kecelakaan dan lupa ingatan, makanya dia lupa dengan gaunnya?
Kepala Atika terus dipenuhi pertanyaan tentang Lili sementara waktu terus berjalan.
***
Selain masalah menghilangnya Lili, Atika juga dibuat bingung dengan gaun milik Lili itu. Setiap ada pelanggan wanita yang datang ke butiknya, mereka pasti meminta Atika menjual gaun itu kepada mereka. Bahkan ada pelanggan yang ingin membayar tiga kali lipat demi bisa memiliki gaun yang bahkan tidak akan muat jika pelanggan itu pakai.
Sebenarnya Atika membuat peraturan di butiknya kalau tiga bulan jahitannya tidak diambil pemiliknya, dia akan menjualnya. Tapi dia tidak tega melakukan itu pada gaun Lili. Di hati kecilnya dia masih yakin Lili akan datang kembali untuk mengambil gaunnya.
Sampai akhirnya tiga tahun berlalu. Mita, teman dekat Atika sekaligus pelanggan setianya sejak hari pertama butiknya dibuka, membujuk Atika untuk menjual gaun Lili kepadanya.
“Kalau orangnya balik lagi, gimana?” tanya Atika. “Aku nggak enak ah, Mit…”
“Kalau dia balik lagi, bilang saja gaunnya sudah dijual,” ujar Mita. “Kan salah dia itu sendiri karena nggak ambil gaunnya dari tiga tahun lalu.
“Iya sih. Tapi…”
“Tapi apa?” Mita menatap Atika yang terlihat dilema. “Atau gini aja. Aku beli dulu gaun itu biar bisa aku pakai buat acara pernikahanku bulan depan. Tapi kalau misalnya tiba-tiba dia datang untuk ambil gaunnya, aku balikin gaunnya ke kamu. Bilang aja kamu nitipin gaun itu di rumahku biar nggak hilang. Soalnya banyak yang mau mengambil gaun itu dari kamu. Gimana?”
Atika tidak menjawab Mita. Dia malah menggigit kukunya. Itu kebiasaan Atika setiap kali perlu berpikir jernih. Setelah cukup lama Mita menunggu jawaban Atika, akhirnya sahabatnya itu mengangguk.
“Oke deh…”
Mita bersorak senang. Dia langsung membayar gaun Lili dengan harga tiga kali lipat. Kemudian dengan senyum lebar dia membawa pulang gaun Lili ke rumahnya. Di dalam kepalanya Mita membayangkan tatapan kagum para tamu saat dia memakai gaun itu di acara pernikahannya.
Sementara itu Atika masih was-was. Rasa bersalah di hatinya semakin besar. Dia takut Lili tiba-tiba datang saat Mita sedang melangsungkan acara pernikahannya. Dia tidak mungkin bisa meminta Mita mengembalikan gaunnya detik itu juga. Apa yang harus aku lakukan kalau hal itu terjadi?
Hingga akhirnya dua bulan berlalu. Pernikahan Mita berjalan lancar dan dia sukses menjadi ratu sehari karena gaun Lili yang dikenakannya.
Sementara itu, Lili tidak juga datang. Sepertinya Lili memang lupa dengan gaunnya. Atika pun bisa bernapas sedikit lega.
***
“Aku mau mengembalikan gaun ini.”
Atika yang sedang menjahit kaget setengah mati saat pintu butiknya tiba-tiba terbuka dan Mita berdiri di bingkai pintu dengan wajah pucat seperti orang yang sedang sakit keras. Tangannya yang kurus memegang tas kertas berwarna cokelat yang berisi gaun Lili. Atika pun meninggalkan jahitannya dan segera menghampiri Mita.
“Duduk dulu, Mit.” Atika mengajak Mita duduk di sofa kecil dekat mesin jahit. “Kamu ke mana aja nggak ada kabar?”
Mita tidak menjawab pertanyaan Atika. Dia duduk di sofa dan segera menaruh tas yang dibawanya di atas meja mesin jahit seakan tidak mau menyentuhnya lagi. Sementara matanya melihat ke sekeliling butik dengan tatapan khawatir seperti sedang bersembunyi dari seseorang.
“Kamu kenapa, Mit?” tanya Atika sambil menatap khawatir sahabatnya itu. “Kamu sakit?”
“Tik…” Mita menatap Atika dengan suara lemas sekaligus cemas. “Pemilik gaun itu… sudah meninggal ya?”
Atika tertegun, tapi dia tidak langsung membalas pertanyaan Mita. “Aku bikinin minum dulu buat kamu ya,” ucap Atika kemudian. “Kamu tunggu di sini sebentar. Jangan pergi ke mana-mana.”
Mita sebenarnya tidak mau ditinggal sendirian, tapi karena kondisi tubuhnya lemah, dia tidak bisa menahan Atika yang dengan cepat pergi ke dapur. Mita akhirnya terpaksa menunggu Atika di dalam butik sendirian sambil terus menatap cemas ke sekeliling ruangan.
“Kenapa kamu bertanya begitu, Mit?” tanya Atika setelah kembali dari dapur dan menyajikan secangkir teh hangat untuk Mita. “Apa terjadi sesuatu sama kamu karena gaun itu?”
Mita meminum perlahan teh buatan Atika. Setelah dirinya sedikit tenang, dia mulai bercerita.
“Awalnya aku sangat senang bisa memiliki gaun itu dan memakainya di acara pernikahanku. Kamu lihat sendiri, kan? Semua tamu menatap kagum gaun yang aku pakai.”
Atika mengangguk. Dia masih ingat betapa bangga dirinya saat mendengar para tamu yang datang ke pernikahan Mita menatap kagum serta memuji gaun yang dia jahit dengan sepenuh hati itu. Gaun yang sudah tiga tahun dipajang di maneken karena tidak juga diambil pemiliknya. Lili. Apa benar dugaan Mita kalau Lili sudah meninggal?
“Tapi, sejak hari itu, aku jadi nggak bisa memakai baju lain, Tik,” lanjut Mita, membuyarkan lamunan Atika. “Pikiranku terus ke gaun itu. Aku gelisah waktu gaun itu dibawa pembantuku ke laundry, jadi aku menyusul ke tempat laundry dan menunggu sampai gaun itu selesai dicuci dan disetrika. Aku nggak peduli waktu si pemilik laundry diam-diam ngomongin aku sama para karyawannya. Aku lebih peduli sama gaunku. Aku takut gaunku diambil atau tertukar sama pelanggan lain. Perasaanku baru tenang setelah aku memegang gaun itu dan memakainya lagi. Saking takutnya kehilangan, aku nggak mau memakai baju lain. Aku terus memakai gaun itu setiap hari. Ke kantor, ke pasar, di rumah, aku terus memakai gaun itu. Aku nggak peduli sama orang-orang yang menatapku dengan tatapan aneh karena memakai gaun pernikahan di pasar. Yang penting aku bisa terus memakai gaun itu. Aku nggak pakai gaun itu hanya waktu gaun itu dicuci aja.”
Atika kembali tertegun. Baru kali ini dia mendengar cerita orang yang segitu sukanya dengan sebuah gaun. “Suami kamu nggak keberatan melihat kamu pakai gaun itu terus?” tanya Atika kemudian.
“Tentu keberatan. Dia bahkan mengira aku sudah gila,” jawab Mita dengan muka sedih. “Dia sampai menghampiri aku ke tempat laundry dan merebut gaun itu waktu baru selesai disetrika. Lalu dia mengurungku di kamar. Dia bilang dia akan melepaskanku kalau aku bersumpah nggak akan memakai gaun itu lagi. Dia juga nggak akan memberiku makan dan minum kalau aku terus merengek meminta gaun itu kembali.”
“Tapi kamu nggak mau pisah dari gaun itu kan?” tebak Atika. “Makanya badan kamu jadi kurus begini.”
Mita mengangguk lemah. “Suamiku akhirnya membuka pintu kamar di hari ketiga. Dia menyerah karena dia takut aku dehidrasi dan mati kelaparan. Apalagi selama dikurung di kamar aku terus menangis seperti orang gila. Dia juga akhirnya membiarkan aku memakai gaun itu lagi.”
“Lalu, kenapa sekarang kamu mau mengembalikan gaun itu? Padahal kamu rela kelaparan demi mendapatkan gaun itu lagi.”
“Karena kemarin terjadi kejadian yang lebih aneh lagi, Tik!” Mita kembali menatap cemas ke sekeliling ruangan. Lalu dia berbisik tertahan, “Gaun itu hampir membuat aku mati!”
Jantung Atika berdebar sangat kencang. “Maksudnya?”
“Kemarin, aku pakai gaun itu lalu pergi ke pasar. Seperti biasa aku bawa mobil sendiri. Sebenarnya suamiku melarang aku pergi ke mana-mana karena kondisi kesehatanku masih belum stabil setelah beberapa hari nggak makan. Tapi aku bosen banget di rumah. Jadi aku paksain pergi ke pasar buat beli lauk sama belanja stok bahan makanan. Pas di jembatan deket pasar, tiba-tiba…”
“Tiba-tiba apa?”
“Tiba-tiba hujan turun deres banget sampai aku nggak bisa lihat apa pun yang ada di depanku. Padahal pas aku berangkat langit cerah banget!”
“Hujan?” Atika mengerutkan kening. “Kayaknya kemarin nggak hujan sama sekali.”
“Suamiku juga bilang begitu… Tapi aku berani sumpah, kemarin turun hujan deras banget pas aku lewat jembatan itu!”
“Terus…?”
“Terus, aku paksain nyetir pelan-pelan. Dan kamu tahu apa yang aku lihat?”
“A-apa?” tanya Atika gugup. Perasaannya mulai tidak enak.
“Lampu merah, Tik! Aneh, kan?!”
Atika tertegun sambil menatap Mita. Di dalam hatinya dia meragukan kewarasan Mita. Sejak lahir sampai sebesar ini, Atika tidak pernah melihat lampu merah di jembatan dekat pasar itu. Mita pasti berhalusinasi karena kurang makan, pikir Atika.
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, makanya aku terus nyetir dan nggak menghiraukan lampu merah itu,” ujar Mita melanjutkan ceritanya. “Tapi… Pas aku sampai di tengah jembatan…”
Mita terdiam, membuat Atika penasaran. “Ada apa?”
Mita menatap lantai sementara wajahnya semakin pucat. “Ada perempuan berdiri di pinggir jembatan, Tik. Dia berdiri di bawah hujan deras. Badannya ramping, nggak terlalu tinggi… Rambutnya panjang… Kulitnya putih pucat… Wajahnya tersenyum, tapi senyumnya itu membuatku takut… Dan yang bikin aku semakin takut… Dia memakai gaun yang aku pakai, Tik!”
Atika merinding seketika. Entah kenapa dia merasa perempuan yang diceritakan Mita adalah Lili.
“Aku langsung injak gas, tapi perempuan itu terus muncul di sepanjang jembatan. Sampai akhirnya perempuan itu tiba-tiba muncul di depan mobilku dan… Dan aku tabrak dia…”
Jantung Atika berdebar sangat kencang. “Lalu… Apa yang terjadi?”
“Aku tiba-tiba terbangun di rumah sakit. Aku nggak terluka tapi suamiku bilang bagian depan mobilku rusak karena menabrak pagar pembatas waktu mau naik jembatan. Padahal aku yakin aku sudah hampir sampai di ujung jembatan waktu aku menabrak perempuan itu.”
“Terus, perempuan itu… bagaimana keadaannya? Dia masuk rumah sakit juga?”
“Suamiku bilang nggak ada korban lain. Aku mengalami kecelakaan tunggal.”
Perasaan Atika semakin tidak enak. Apa jangan-jangan Lili yang ditabrak Mita? Hantunya Lili?
“Sebenarnya aku masih harus dirawat di rumah sakit, tapi perasaanku nggak tenang. Semalaman aku nggak bisa tidur karena kepikiran perempuan itu dan gaun ini. Aku nggak mau jadi gila, Tik. Makanya aku nekat kabur dari rumah sakit untuk menemui kamu dan mengembalikan gaun ini.” Mita mengambil kembali tas berisi gaun di meja mesin jahit lalu memberikannya ke Atika. “Aku yakin pemilik gaun ini sudah meninggal dan dia nggak suka melihat orang lain memakai gaun ini. Aku nggak tahu bagaimana caranya, tapi lebih baik kamu segera kembalikan gaun ini ke pemiliknya sebelum ada orang yang tergoda memakai gaun ini dan berakhir celaka seperti aku.”
“Tapi…” Atika terlihat ragu. Dia menatap tas dan Mita bergantian. “Uang kamu…”
“Uangku nggak perlu kamu kembalikan,” potong Mita sambil tersenyum, mencoba meyakinkan Atika. “Anggap saja itu uang sewa baju pengantin.”
Mita kemudian pamit pergi, meninggalkan Atika yang bingung sendirian. Ke mana dia harus mengembalikan gaun itu? Kalau dia tahu di mana Lili tinggal, dia pasti sudah mengembalikan gaun itu ke Lili dari tiga tahun yang lalu. Dan, yang membuat Atika tambah bingung adalah: dia tidak yakin apakah Lili sudah benar meninggal atau belum.
Karena almarhum suami Atika keturunan Tionghoa, Atika tahu kalau dia harus membakar gaun itu sebagai persembahan agar Lili bisa memakai gaun itu di akhirat sana. Tapi, bagaimana kalau Lili ternyata masih hidup dan tiba-tiba datang untuk mengambil kembali gaunnya? Apa yang harus dia lakukan? Dia tidak mampu dan tidak tahu di mana harus membeli kain sutera semahal itu.
***
Gaun Lili akhirnya kembali terpajang di maneken butik kecil Atika. Namun kali ini Atika dengan tegas menolak siapa pun yang ingin membeli gaun itu. Atika juga menahan dirinya untuk menyentuh apalagi memakai gaun itu. Dia tidak ingin dirinya atau siapa pun mengalami apa yang Mita alami. Dia hanya akan fokus menjahit sambil terus mencari info keberadaan Lili meski itu membuatnya hampir frustasi.
Hingga suatu sore seorang pria datang ke butik Atika. Dari penampilannya Atika menduga pria itu berusia akhir 30 tahunan. Dan dari penampilannya yang rapi Atika merasa pria ini ada hubungannya dengan Lili. Apalagi, saat pria itu masuk ke dalam butik, matanya langsung menuju ke gaun di maneken.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Atika sambil berjalan mendekat ke pintu.
“Perkenalkan. Saya Henry.” Henry bersalaman dengan Atika. “Saya tunangan Lili.”
Perasaan Atika mendadak lega. Akhirnya…! Setelah tiga tahun lebih gaun itu bisa bertemu dengan pemiliknya.
Atika pun mempersilakan Henry duduk. Kemudian saat menyadari Lili tidak datang bersama Henry, Atika bertanya, “Mbak Lili mana, Mas Henry?”
“Lili mengalami kecelakaan yang cukup fatal. Karena kecelakaan itu, dia koma selama hampir tiga tahun lebih,” jelas Henry sambil tersenyum pahit. “Dan… setelah berjuang cukup lama, dia akhirnya meninggal dunia. Beberapa minggu yang lalu…”
Perasaan Atika kembali kacau. Ternyata Lili benar sudah meninggal dan dia meninggal di hari yang sama dengan pernikahan Mita. Pantas saja dia tidak senang melihat Mita memakai gaun pernikahannya.
“Saya datang ke sini karena diminta ibunya Lili. Kemarin beliau membaca-baca catatan di ponsel Lili dan menemukan catatan tiga tahun kalau Lili harus mengambil jahitan gaun pernikahannya di butik ini. Apa itu gaun Lili yang belum dia ambil?”
Atika menoleh ke maneken di balik jendela, lalu mengangguk. “Saya yang salah,” ucap Atika penuh sesal. “Saking senangnya mendapat pelanggan baru, saya lupa menanyakan nomor telepon dan alamat Mbak Lili. Seandainya waktu itu saya tanya…”
“Jangan merasa bersalah. Ini sudah takdir Lili,” ucap Henry tegar meski matanya basah menatap gaun di maneken. Lili pasti terlihat sangat cantik memakai gaun itu di acara pernikahan mereka.
“Saya boleh bawa gaunnya?” tanya Henry kemudian. “Supaya bisa Lili pakai di…”
Atika mengangguk. “Tentu saja. Gaun itu milik Mbak Lili.”
Atika melepas gaun di maneken dan memberikannya ke Henry. Atika kemudian meminta alamat makam Lili. Henry pun mengajak Atika pergi mengunjungi makam Lili. Atika juga melihat dengan mata kepalanya sendiri saat gaun sutera putih yang dijahitnya dengan sepenuh hati itu dibakar sebagai persembahan untuk Lili.
Atika berharap setelah ini Lili bisa istirahat dengan tenang di akhirat memakai gaun sutera putihnya.
***
Sepulangnya dari makam, Atika terus memikirkan gaun sutera putih milik Lili yang kini sudah jadi abu. Dan, entah apa yang mendorongnya, Atika menggelar koran bekas di meja lalu membuat pola menggunakan pola gaun Lili. Dia menjahit beberapa buah gaun yang sama dengan menggunakan koleksi kain sutera miliknya. Hasilnya memang tidak secantik gaun sutera putih Lili karena kain sutera miliknya hanya kain sutera sintetis, tapi melihat gaun-gaun itu membuat hati Atika tenang.
Beberapa hari kemudian Atika memajang gaun jahitannya itu di maneken supaya butiknya terlihat lebih indah. Tidak lama, ada pelanggan yang datang dan langsung membeli gaun itu. Gaun berikutnya yang Atika pajang juga langsung laku terjual. Sampai menjelang siang semua gaun yang dia jahit menggunakan pola gaun Lili habis dibeli para pelanggannya. Dalam hati Atika mengucapkan terima kasih banyak pada Lili. Selain karena gaunnya laku, dia juga mendapat banyak orderan jahitan karena para pelanggannya suka dengan gaun-gaun itu.
Menjelang pergantian sore ke malam hari, Atika menutup pintu butiknya. Tapi sebelum pintu benar-benar tertutup, Atika melihat Lili menggunakan gaun sutera putih yang dijahitnya berdiri di bawah tiang lampu jalan di depan butik yang lampunya tidak menyala. Lili tersenyum ramah ke Atika seperti waktu dia datang ke butik Atika tiga tahun lalu, sebelum akhirnya menghilang dalam kegelapan malam.
Atika menangis haru. Lili akhirnya memakai gaun sutera putih jahitannya itu.