Mendengar Kean membongkar sandiwara Deva dan Gia membuat Kemala emosi hingga jatuh tak sadarkan diri. Namun, bukannya menolong sang oma, Kean malah tertawa terbahak-bahak.
“Kamu kok malah ketawa?” tanya Gia. Wajahnya terlihat bingung sekaligus marah. “Oma pingsan, Kean! Kamu harusnya segera membawa Oma ke rumah sakit! Kalau Oma kenapa-napa, gimana?”
“Biar saja,” kata Kean enteng. “Dia sudah terlalu lama hidup.”
“Kean!” Gia akhirnya tidak lagi bisa menahan dirinya. “Kamu sudah gila, ya?!”
“Iya, aku sudah gila,” jawab Kean sambil tersenyum menatap Gia. “Jadi, tolong kamu minggir sebentar sebelum orang gila ini menyakiti kamu.”
Kean mengambil ibu jari Kemala dan menekannya ke tempat cap, lalu dia menempelkan ibu jari Kemala yang kini berwarna merah ke kertas bermaterai yang dipegangnya. Detik itu Gia pun akhirnya sadar kalau penilaian dirinya terhadap Kean salah besar.
Kean memang jahat. Sangat jahat.
Gia lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi Deva. Tapi Kean lebih dulu menyadari itu. Kean pun mencengkeram lengan Gia.
“Matikan teleponnya, atau kamu yang akan mati.”
Gia mencoba menarik tangannya dari cengkeraman Kean, tapi tenaga pemuda itu lebih kuat darinya. Dan, dari tatapan Kean, Gia tahu kalau Kean tidak main-main dengan ancamannya.
Namun Gia tidak mau menyerah begitu saja. Dia harus menyelamatkan Kemala walau nyawanya yang akan menjadi taruhannya.
“Kean, aku mohon, biarkan aku mencari bantuan untuk membawa Oma ke rumah sakit,” pinta Gia sambil mencoba melepaskan jemari Kean yang mencengkeram pergelangan tangannya. “Aku nggak akan menahan rencana balas dendam kamu. Tapi, aku mohon, biarkan aku membawa Oma ke rumah sakit. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama Oma…”
“Buat apa sih kamu menolong nenek tua yang baru kamu kenal ini? Lagipula, bukannya dia pingsan karena dia terlalu emosi sama kamu?” ujar Kean, yang kemudian tersenyum sinis. “Sudah, kamu nggak usah mengkhawatirkan nenek tua ini. Biar saja dia tergeletak di sini sampai mati. Sudah nggak ada gunanya juga kalau dia hidup—”
PLAAKK!
Gia yang terbawa emosi refleks menampar Kean. Namun Kean malah tersenyum.
“Beruntung aku suka sama kamu, Gia. Jadi aku nggak akan marah walaupun kamu menampar pipiku seribu kali,” ucap Kean sebelum merebut ponsel di tangan Gia dan melemparnya ke dinding hingga pecah. “Tapi, biar kamu nggak banyak bertingkah, sepertinya aku perlu kasih kamu pelajaran.”
Kean lalu menarik rambut Gia dan menyeretnya ke arah kursi tanpa menghiraukan teriakan kesakitan gadis itu.
***
Sementara itu, Deva sedang menghampiri mobil Rex di tempat parkir apartemen Kean. Saat Deva masuk ke dalam mobil, ternyata Rex tidak sendirian. Di kursi belakang mobil, ada Haikal yang tergeletak tidak sadarkan diri. Kaki dan tangannya diikat tali, sementara mulutnya ditutup lakban.
“Siapa?” tanya Deva saat melihat tubuh Haikal.
“Haikal. Pekerja di apartemen ini,” kata Rex. Pemuda berambut panjang itu lalu menambahkan, “Dia yang menjaga Feya di apartemen selama Kean nggak ada.”
“Anak sialan…” Deva tersenyum sinis. “Waktu itu Kean sok meminta pertolongan gue untuk mencari Feya. Padahal selama ini dia yang menyembunyikan Feya. Brengsek!”
Rex diam di samping Deva sampai sahabat sekaligus bosnya itu lebih tenang. Setelah napas Deva tidak lagi tersengal, Rex menunjukkan kartu di tangannya ke Deva.
“Ini kartu akses ke unit apartemen Kean yang dipegang Haikal,” kata Rex sambil memberikan kartu itu ke Deva. “Kita harus segera keluarkan Feya dari apartemen sebelum Haikal sadar dan memberi tau Kean.”
“Oke.”
Deva dan Rex kemudian pergi menuju unit apartemen Kean, meninggalkan Haikal di dalam mobil.
Sesampainya di unit apartemen Kean, Deva segera membuka pintu dengan kartu akses di tangannya. Namun, saat pintu terbuka, apartemen bertipe studio itu sepi. Tidak kelihatan ada satu orang pun di sana.
“Coba gue cek ke kamar mandi,” ucap Rex seraya membuka pintu kamar mandi yang ada di sisi kiri apartemen. Kemudian, setelah mengecek ke dalam kamar mandi, dia keluar memberi tahu Deva. “Kosong, Dev.”
“Sial!” rutuk Deva. “Coba cari ke dalam lemari, Rex. Atau balkon. Mungkin dia sembunyi di sana.”
Rex mengikuti perintah Deva, tapi hasilnya tetap nihil. Feya tidak ada di dalam apartemen itu.
“Kean pasti tau rencana gue,” gumam Deva. “Tapi, ke mana dia membawa Feya pergi kali ini?”
Saat Deva sedang mencoba mencari jawaban dari pertanyaannya, ponsel di saku celananya bergetar. Deva lalu mengangkat telepon yang ternyata dari sekretarisnya itu.
“Kenapa, Sis?” tanya Deva. “Kamu sudah tau kan, kalau mulai hari ini Kean menggantikan saya?”
“Iya, saya tau, Pak,” jawab Siska di seberang telepon. “Tapi, sampai sekarang Pak Kean belum datang juga, Pak. Saya sudah coba menghubungi Pak Kean, tapi nggak diangkat. Masalahnya, siang ini kita ada meeting dengan pihak Metropolis Department Store…”
Mendengar itu, Deva mengembuskan napas panjang.
“Oke, Sis. Nanti saya coba hubungi dia,” ucap Deva.
Siska pun mengucapkan terima kasih sebelum memutus hubungan teleponnya.
Namun, saat suara Siska tidak lagi terdengar, perasaan Deva tiba-tiba tidak enak. Deva lalu mencoba menghubungi Satrio. Tapi, setelah tiga kali percobaan, Satrio tidak juga mengangkat teleponnya. Deva kemudian mencoba menghubungi Gia, dan hasilnya ternyata sama. Perasaan Deva pun semakin tidak enak.
“Rex, gue kayaknya harus pulang,” ucap Deva sambil berjalan keluar dari apartemen Kean. “Lo urus si Haikal itu, dan terus cari Feya sampai ketemu.”
“Oke, Dev.” Rex berjalan mengikuti Deva menuju lift. “Tapi, lo kenapa mau pulang? Ada masalah?”
“Istri gue nggak bisa dihubungin,” kata Deva sambil kembali mencoba menghubungi Gia.
“Istri lo?” Rex menatap Deva, bingung.
“Gia, maksudnya.”
“Oh…”
Walau Rex adalah sahabat Deva, dia hanya tahu sedikit tentang pernikahan Deva. Termasuk tentang Feya dan Gia. Yang dia tahu, Feya adalah istri Deva yang menghilang, sementara Gia adalah kakak Feya yang menggantikan peran sang adik sebagai istri Deva di hari pernikahan mereka.
Ting! Pintu lift terbuka dan kondisinya kosong. Deva dan Rex pun masuk ke dalam lift.
“Memangnya dia masih pura-pura jadi istri lo?” tanya Rex saat pintu lift kembali tertutup. “Bukannya pernikahan lo waktu itu sudah dibatalkan karena nggak sah?”
Deva menatap nomor lantai di monitor lift yang berubah dengan cepat. “Dia belum tau kalau pernikahan gue dan Feya sudah dibatalkan.”
“Kenapa?”
Deva tidak menjawab. Selain karena pintu lift sudah kembali terbuka, dia tidak mau membahas masalah pribadinya dengan Gia. Bahkan dengan Rex, sahabat yang paling dia percaya dan selalu membantunya saat terkena masalah.
“Gue duluan ya, Rex,” ucap Deva saat mereka tiba di tempat parkir.
“Gue ikut lo deh, Dev,” kata Rex sambil ikut berjalan menuju mobil Deva. “Siapa tau lo butuh bantuan gue. Kalau ternyata nggak ada apa-apa, dari situ gue langsung lanjut cari Feya. Mobil gue dan si Haikal biar anak buah gue yang urus.”
“Oke…”
Mereka pun pergi meninggalkan area apartemen dengan menggunakan mobil Deva. Sementara mobil Rex ditinggal di tempat parkir, bersama dengan Haikal yang masih tidak sadarkan diri.
***
Sesampainya di rumah, Deva tidak melihat Satrio di posnya. Sementara matanya melihat mobil Kean terparkir di halaman.
“Ternyata dia benar ke sini,” gumam Deva sambil memarkir mobilnya. “Dasar anak brengsek!”
Deva lalu beralih ke Rex yang sedang mengucir rambut panjangnya. “Rex, tolong cari Satrio ke sekeliling rumah. Kalau sudah ketemu, lo nyusul gue ke dalam.”
“Siap!”
Rex pun turun dari mobil dan mulai mencari Satrio. Sementara Deva melangkah masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah, Kean duduk di kepala meja makan. Dengan senyum lebar dia melihat berkas-berkas penting yang tadi dibawanya kini sudah dibubuhi cap jari Kemala. Di sampingnya, Gia duduk di kursi dengan kondisi tangan dan kaki terikat, dan mulutnya dibekap oleh lakban. Sementara Kemala masih tergeletak tak sadarkan diri di lantai yang dingin.
Setelah menyusuri seluruh ruangan di lantai dasar, Deva kemudian masuk ke ruang makan. Gia yang lebih dulu melihat Deva langsung memberi isyarat dengan matanya agar Deva segera pergi dari situ. Namun Deva tidak menghiraukan isyarat dari Gia, dan itu membuat Gia frustasi hingga menangis.
Dev…! Pergi, Dev…! Jangan ke sini…! isak Gia dalam hati.
Di saat yang sama, Kean menyadari tangisan Gia. Dia menoleh ke Gia, sebelum akhirnya dia mengikuti arah tatapan Gia dan melihat Deva yang menatapnya dingin.
“Hai, Bro!” sapa Kean seakan tidak terjadi apa-apa. Dia bahkan tersenyum lebar. “Gue sudah mengalihkan semua harta Oma atas nama gue, sesuai dengan apa yang seharusnya menjadi milik nyokap gue. Rumah ini, Adhikara grup, semuanya! Hahaha!”
Deva tidak menghiraukan tawa Kean dan malah bertanya, “Di mana Feya?”
“Feya?” Kean mengangkat kedua alisnya, lalu tersenyum. “Dia sudah gue buang ke sungai di belakang apartemen gue. Perempuan itu ternyata nggak ada gunanya buat gue.”
Mendengar itu, tangis Gia semakin kencang. Namun Kean tidak lagi menghiraukan tangisan Gia.
“Gue juga berencana membuang Oma di sungai,” lanjut Kean. “Terus gue juga akan membunuh lo. Dengan begitu, gue bisa bebas mengambil semua milik lo. Termasuk Gia.”
Gia pun semakin histeris. Dia berontak ingin melepaskan diri dari ikatan yang membelenggu tangan dan kakinya. Kean yang melihat itu pun jadi jengkel dan berdiri dari kursinya.
“Diam!”
Kean menendang kursi Gia hingga gadis itu terdorong ke dinding. Deva pun tidak bisa tinggal diam lagi. Deva melangkah cepat menuju tempat Kean, dan BUKK! Deva memukul wajah Kean hingga dia terjatuh ke lantai. Darah pun seketika mengalir di ujung bibir Kean. Namun Kean langsung berdiri dan balas memukul Deva.
Kedua sepupu itu pun berkelahi.
***
Sementara itu, Rex berhasil menemukan Satrio di lantai garasi, tertutup kain penutup mobil.
“Pak Satrio!” Rex menggoyangkan pundak Satrio. “Bangun, Pak!”
Satrio tidak bergerak. Rex lalu pergi ke mobil Deva untuk mengambil botol parfum yang biasa Deva taruh di dasbor mobil. Setelah itu dia segera kembali ke garasi dan menyemprotkan parfum ke sekitar tubuh Satrio.
Perlahan, kesadaran Satrio pun kembali. Dia membuka kedua matanya, dan wajahnya yang linglung berubah kaget saat melihat Rex.
“Mas Rex?” Satrio lalu mengernyitkan dahi sambil memegang belakang kepalanya. “Aduh…”
“Pak Satrio nggak apa-apa?” tanya Rex khawatir.
“Nggak apa-apa, Mas,” kata Satrio sambil mencoba berdiri. “Cuma pusing sedikit.”
“Pak Satrio kok bisa ada di sini?” Rex kembali bertanya. “Karena Kean ya?”
Satrio berpikir sebentar, mencoba mengingat.
“Iya, Mas. Tadi Pak Kean datang dan mau masuk rumah,” kata Satrio kemudian. “Tapi pas saya melarang Pak Kean masuk sesuai perintah Pak Deva, Pak Kean mengancam saya pakai pisau. Akhirnya saya terpaksa mengikuti ancaman Pak Kean. Terus, pas saya mau buka pintu pagar, tiba-tiba gelap. Dan tau-tau saya di sini…”
Mendengar itu, perasaan Rex pun jadi nggak enak.
“Kalau gitu, Pak Satrio istirahat dulu di sini ya,” kata Rex. “Saya mau menyusul Deva ke dalam.”
“Saya ikut aja, Pak,” kata Satrio. “Saya takut terjadi apa-apa sama Bu Kemala.”
Melihat tekad di wajah Satrio, Rex akhirnya setuju.
Rex dan Satrio lalu masuk ke dalam rumah melalui pintu yang menghubungkan garasi dan dapur. Di sana mereka melihat Deva dan Kean yang masih saling pukul. Rex pun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengangkat tubuh Kemala, sementara Satrio melepaskan lakban dan ikatan Gia.
“Itu siapa?” tanya Gia saat melihat Rex menggendong Kemala.
“Sahabatnya Pak Deva, Bu,” jawab Satrio. “Namanya Mas Rex.”
Rex lalu membawa Kemala keluar dari rumah, menuju mobil Deva. Satrio dan Gia mengikuti di belakangnya. Namun, saat Rex menyalakan mesin mobil, Gia berhenti di tempat.
“Bu Gia?” tegur Satrio. “Ayo, Bu. Jangan diam di situ. Kita harus segera bawa Bu Kemala ke rumah sakit.”
“Aku titip Oma sama kalian,” ucap Gia dengan wajah tidak enak. “Aku mau menolong Deva.”
“Jangan, Mbak Gia,” larang Rex. “Biar mereka selesaikan masalah mereka berdua. Kamu jangan ikut campur!”
Wajah Rex nampak serius. Namun Gia tidak mendengarkan larangan pemuda yang baru pertama kali dilihatnya itu.
“Tolong telepon polisi dan ambulans sebelum kalian pergi,” pinta Gia. “Hape saya rusak.”
Lalu Gia segera berbalik lari ke dalam rumah sebelum Rex maupun Satrio sempat menjawab permintaannya.
***
Ketika Gia kembali ke dapur, dia menemukan Deva sudah duduk di atas tubuh Kean. Wajah keduanya tampak babak belur dan dihiasi darah segar. Namun yang membuat Gia takut adalah tatapan tajam Deva, juga satu tangannya yang mencekik leher Kean. Kalau Gia tidak menahan Deva sekarang, Kean bisa mati. Kean pasti mati.
“Dev…” Dengan hati-hati Gia mendekati Deva. “Lepasin Kean, Dev. Aku mohon…”
“Ng-nggak usah memohon sama dia, Gia,” ucap Kean dengan suara tercekik. “Biarkan… Biarkan dia membunuh aku… Seperti papanya membunuh mamaku…”
Mendengar itu, Deva pun semakin murka.
“Papa gue bukan pembunuh mama lo,” ucap Deva sambil mengencangkan cekikannya. “Papa gue sangat sayang sama adiknya dan nggak gila harta seperti yang papa lo tuduhkan. Justru papa lo yang bunuh mama dan papa gue! ANJIINGG!!!”
Melihat Deva yang semakin gelap mata dan Kean yang hampir kehabisan napas, Gia duduk bersimpuh di dekat Deva sambil menahan tangan Deva dengan kedua tangannya. Gia pun memohon sekali lagi ke Deva sambil menangis.
“Dev, aku mohon…” isak Gia. “Lepasin Kean, Dev. Please… Aku nggak mau kamu melakukan sesuatu yang akan kamu sesali nantinya…”
Awalnya Deva tidak mempedulikan Kean dan terus mencekik leher Kean hingga wajah Kean membiru karena kekurangan udara. Tapi karena Gia terus memohon sambil menangis, Deva jadi tidak tega. Akhirnya Deva melepaskan cekikannya dari leher Kean, dan Kean pun batuk-batuk menelan udara yang seketika masuk ke paru-parunya.
Deva lalu bangun dari atas tubuh Kean, dan Gia memanfaatkan kesempatan itu untuk membawa Deva pergi.
“Ayo kita pergi dari sini,” ucap Gia sambil menarik erat tangan Deva. “Kita obati luka kamu di rumah sakit.”
Saat Gia dan Deva berbalik menuju pintu garasi, Kean bangun dan mengambil kursi yang berada di dekatnya.
Lalu, semuanya terjadi begitu cepat.
Saat Gia menoleh sekilas ke arah Kean, dia melihat kursi di tangan Kean. Gia pun langsung teriak histeris sambil memeluk punggung Deva untuk melindunginya. Di saat yang sama, tangan Kean bergerak mengayunkan kursi ke punggung Deva yang kini dilindungi punggung Gia. Gadis itu pun pingsan seketika.
Deva pun panik saat menyadari Gia jatuh tergeletak di lantai. Dia mencoba membangunkan Gia. Tapi, di saat yang sama pula, terjadi sesuatu pada Kean.
PRANGG!
Kean tiba-tiba diam terpaku di tempatnya. Matanya syok menatap Gia yang tergeletak di lantai. Sementara darah perlahan mengalir dari atas kepalanya.
Setelah itu, Kean jatuh bersamaan dengan kursi yang terlepas dari tangannya. BRUUKK!
“Kean!?”
Deva semakin panik saat melihat Kean tiba-tiba juga pingsan dengan kepala berdarah.
Lalu, Deva melihat sosok perempuan di belakang Kean yang memegang sisa pecahan botol dengan tangan gemetar.
“Feya?”
***