Kemala tidak pernah melupakan kata-katanya. Tepat pukul delapan pagi, dia kembali membangunkan Deva. Sementara Gia yang sudah lebih dulu bangun dan sudah selesai mandi segera ke dapur untuk menyiapkan sarapan.
Gia membuat dua mangkuk bubur ayam, satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Kemala. Sementara dia menyiapkan secangkir kopi dan dua lembar roti bakar untuk Deva.
Tidak lama setelah Gia selesai menyiapkan sarapan, Kemala datang bersama Deva ke ruang makan. Deva nampak rapi dengan kemeja biru dan celana khaki. Sementara Kemala nampak anggun walau hanya memakai daster batik. Lalu mereka duduk di tempat masing-masing dan menyantap sarapan buatan Gia. Kemala duduk di kepala meja, sementara Gia dan Deva duduk berhadapan. Gia di sisi kanan Kemala, sementara Deva di sisi kiri.
“Bubur ayamnya enak sekali, Feya,” ucap Kemala dengan senyum lebar. Dia kembali memakan sesendok bubur ayam buat Gia. “Oma nggak nyangka kalau kamu masakan kamu seenak ini.”
“Dia juga bisa bikin kastengel kayak Mama, Oma,” ucap Deva dengan senyum bangga. Entah kenapa.
“Oh ya? Kamu bisa bikin kastengel kayak Hilda?” Kemala menatap Gia dengan kagum, sementara Gia mengangguk malu. “Kamu harus bikinin Oma satu loyang ya?”
“Baik, Oma. Nanti siang aku bikinin kastengel satu loyang khusus buat Oma.”
Kemala tersenyum senang. Lalu dia beralih ke Deva. “Jadi bagaimana, Deva?”
“Apa yang bagaimana, Oma?” tanya Deva lalu menikmati kopinya.
“Kamu sudah memeluk Feya dengan erat tadi. Jadi, kapan kamu bisa kasih oma seorang cicit?”
Seketika kopi yang hampir ditelan Deva kembali naik dan muncrat dari mulutnya. Dia sama sekali belum siap dengan pertanyaan itu. Sementara Gia yang berada di seberang Deva menahan malu sekaligus merasa bersalah karena sudah tega membawa Kemala masuk ke dunia tipu-tipu ciptaan mereka.
***
Ketika Deva pulang dari kantor, Gia menyambut Deva di depan pintu. Sebenarnya Gia tidak perlu melakukan itu karena Kemala sedang istirahat di kamarnya. Namun Deva meminta Gia tetap melakukannya agar sandiwara mereka bisa semakin terlihat natural.
“Gimana kerjaan kamu di kantor hari ini, Dev?” tanya Gia memulai sandiwaranya. “Capek?”
“Lumayan,” jawab Deva sambil meraih tangan Gia dan menggenggamnya. Lalu sambil jalan menuju kamar mereka, Deva lanjut bercerita. “Hari ini saya berhasil mengajak Agatha Salim memasarkan desain terbarunya di Adhikara.”
“Agatha Salim? Fashion Designer Indonesia yang sekarang tinggal di New York?”
“Iya, betul.”
“Kok kamu bisa kerjasama dengan dia? Yang aku dengar, dia nggak mau menjual karyanya di retail.”
“Dia teman SMA saya, sebelum dia pindah ke Paris buat belajar fashion.”
“Oh…”
Sesampainya mereka di kamar, Deva melepaskan pegangan tangannya. Seketika Gia merasa kehilangan kehangatan tangan yang tadi menggenggamnya, namun dia tidak mau terlalu lama terlarut dalam perasaan itu. Gia lalu mengalihkan perhatiannya dengan membahas tentang Kean.
“Sejak Oma datang, Kean nggak pernah kelihatan di rumah, Dev,” kata Gia saat Deva melepaskan ikat pinggangnya. “Terus, pas tadi aku lewat depan kamarnya, pintunya terbuka dan lemarinya kosong. Barang-barangnya juga hilang. Kayak orang kabur dari rumah…”
“Kenapa?” Deva melirik Gia sambil melepas kancing kemejanya. “Kamu khawatir soal Kean?”
Dengan polos Gia mengangguk. “Kamu tadi ketemu Kean di kantor, Dev?”
“Dia nggak masuk beberapa hari ini dan nggak bisa dihubungi,” jawab Deva dengan wajah jengkel. “Rencananya saya mau pecat dia kalau sekali lagi dia nggak masuk tanpa kabar.”
Mendengar itu, Gia semakin khawatir. “Jangan-jangan Kean lagi kena masalah, Dev. Makanya dia diam-diam pergi dari sini dan nggak masuk kantor…”
Deva tersenyum sinis. “Anak itu selalu bermasalah. Justru aneh kalau dia baik-baik saja.”
Kata-kata Deva membuat Gia semakin penasaran tentang Kean. Namun saat dia mau bertanya lagi, Deva tiba-tiba melangkah mendekat dan berdiri tepat satu langkah di depan Gia, membuat Gia lupa dengan pertanyaan yang tadi muncul di kepalanya.
“K-kamu mau ngapain?” Gia mundur satu langkah. Tiba-tiba dia teringat dengan kejadian di Filipina waktu itu. “Walaupun kamu ‘suami’ aku, aku akan tetap gampar kamu kalau kamu berani kurang ajar sama aku.”
Melihat Gia mengangkat tangannya untuk menggampar, Deva menahan senyum. “Saya nggak mau mencium kamu.” Deva bergumam pelan sambil memalingkan wajahnya, “Kecuali kamu mengizinkan.”
“Hah?” Gia tidak mendengar kata-kata Deva. “Kamu ngomong apa?”
Deva berdeham dan kembali menatap Gia. Wajahnya kini terlihat serius.
“Saya mau mandi. Kamu lihat kan?” Deva melirik sekilas ke bagian bawah tubuhnya. “Kancing kemeja saya sudah kebuka semua. Sebentar lagi saya mau buka celana. Kamu mau terus di sini membahas Kean sampai saya telanjang di depan kamu?”
Wajah Gia pun merah seketika. “Ma-maaf. Kalau gitu, aku ke dapur dulu. Mau buat makan malam.”
Gia segera kabur keluar kamar sebelum Deva sempat mengucapkan apa pun. Sementara Deva geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli. Gia menggemaskan sekali untuknya.
Menggemaskan? Wajah Deva seketika memerah.
Gia bukan wanita pertama yang hadir di sisinya. Tapi entah kenapa hanya dia yang bisa membuat Deva seperti ini.
***
Selesai mandi, Deva pergi menemui Kemala di kamarnya. Deva mengetuk pintu kamar Kemala, tapi tidak ada jawaban. Saat Deva membuka pintu perlahan, dia melihat Kemala yang masih pulas tidur. Karena tidak mau mengganggu, Deva akhirnya menutup kembali pintu kamar Kemala. Deva lalu menghampiri Gia di dapur tepat di saat Gia selesai masak.
“Oma mana, Dev?” tanya Gia saat melihat Deva. “Makan malamnya sudah siap nih.”
“Oma lagi tidur. Kayaknya masih ada sisa jet lag,” jawab Deva. “Kita makan duluan aja.”
Gia menggigit bibir bawahnya, menimbang-nimbang. “Gimana kalau kamu bangunin Oma, Dev? Aku nggak enak kalau kita makan duluan.”
“Oma nggak suka tidurnya diganggu. Bagi Oma, istirahat lebih berharga daripada apa pun. Dia lebih rela kehilangan hartanya dibanding kehilangan waktu tidurnya.”
“Oh… Oke.”
Gia kemudian menyajikan masakannya di meja makan. Tumis daging, perkedel, dan sayur sop. Sementara Deva membantu menyiapkan peralatan makan untuk mereka berdua. Setelah itu, mereka duduk berhadapan dan menikmati makan malam bersama.
Tidak lama kemudian, Kemala muncul di ruang makan. Gia pun langsung berdiri dari kursinya, ingin menghampiri Kemala. Tapi Kemala melarang Gia.
“Nggak apa-apa. Kamu duduk lagi aja Gia.” Dengan bantuan tongkat jalannya, Kemala berjalan perlahan menuju meja makan. Lalu saat lewat di belakang Deva, Kemala memukul pelan belakang kepala cucunya itu. “Anak Nakal!”
“Aduhh…” Deva mengusap-usap belakang kepalanya sambil menatap jengkel Kemala yang kini sudah duduk di kepala meja. “Aku salah apa lagi sih, Oma?”
“Harusnya kamu yang bantu Oma jalan. Dasar anak nakal!”
Deva mendengus sambil berdiri dari kursinya. “Nih, aku siapin alat makan buat Oma.”
“Gitu dong…” Kemala lalu beralih menatap hidangan di depannya. “Kamu yang masak ini semua, Feya?”
“Iya, Oma,” jawab Gia dengan senyuman. “Sesuai permintaan Oma tadi siang.”
“Kenapa Oma nggak izin sama aku?” protes Deva setelah menyiapkan peralatan makan untuk Kemala. “Aku kan suami Feya. Harusnya Oma izin dulu sebelum menyuruh istriku.”
“Alah, sok sekali kamu, Anak Nakal!” cibir Kemala. “Kalau Oma nggak menjodohkan kamu sama Feya, saat ini kamu mungkin masih jadi bujang lapuk!”
Mendengar itu Gia refleks tertawa, sementara wajah Deva semakin masam.
“Sudah, sudah. Ayo kita nikmati makan malam yang lezat ini,” kata Kemala sambil menyendok tumis daging buatan Gia. “Oma makan ya, Feya?”
“Iya, Oma… Selamat makan…”
Gia dan Deva lalu melanjutkan makan malam mereka bersama Kemala. Sambil menikmati masakan Gia, Kemala membahas perkembangan kantor dengan Deva. Sementara Gia mendengarkan dalam diam.
Lalu, di saat Gia sedang menghidangkan potongan buah, terdengar suara seseorang bernyanyi.
Di dunia tipu-tipu~
Kamu tempat aku bertumpu ~
Ketiga orang di ruang makan pun menoleh, dan mereka melihat Kean sudah berdiri di area ruang makan.
“Hai, Oma Kemala yang cantik!” ucap Kean sambil membentangkan kedua tangannya dan tersenyum lebar. “Masih ingat aku, kan?”
Kedua mata Kemala berbinar. Lalu dia berdiri dan ikut membentangkan kedua tangannya seperti Kean.
“Kean…! Anak nakal kedua, Oma…!”
Kean tertawa, lalu dia menghampiri Kemala dan memeluknya erat.
“Kean kangen, Oma,” ucap Kean setelah melepas pelukannya.
“Oma juga kangen, Kean,” ucap Kemala sambil memegang pipi Kean dengan kedua tangannya. “Kamu kok tahu Oma di sini?”
“Deva yang kasih tau aku.” Kean lalu cemberut. “Oma kenapa nggak bilang sama aku kalau mau ke Jakarta?”
“Tadinya Oma mau kasih kejutan. Eh, kamu malah menemui Oma,” kata Kemala sambil mencubit gemas pipi Kean. “Omong-omong, bagaimana rasanya kerja sekantor dengan Deva, Yan? Menyebalkan, atau menyenangkan?”
“Menyenangkan kok, Oma.” Kean melirik Deva yang wajahnya datar. “Iya kan, Bro?”
Deva tidak menjawab, dan Kean tidak peduli. Kean lalu duduk di sebelah Gia.
“Hai!” Kean menyapa Gia dengan senyum manis. Lalu dengan intonasi yang lambat, Kean berkata, “Aku… boleh… makan malam… di sini kan? Gi…”
Seketika Deva dan Gia membeku. Mereka baru ingat kalau Kean tahu identitas Gia yang sebenarnya.
“Gi… mana, Kak Feya?” lanjut Kean sambil menatap Deva dan mengangkat satu alisnya.
Mendengar Kean memanggilnya Feya, Gia langsung lega. Tapi tidak dengan Deva.
***
“Ikut gue!”
Setelah Kean selesai makan dan Gia pergi menemani Kemala di kamarnya, Deva menarik Kean ke garasi rumahnya.
“Lepas!” Kean berusaha melepas tangan Deva yang mencengkeram erat pergelangan tangannya, tapi tenaga sepupunya itu terlalu kuat. “Gue bukan anak kecil, Va! Gue bisa jalan sendiri!”
Deva tidak mendengarkan Kean. Dia terus menarik Kean dari dapur hingga ke garasi. Sesampainya di sana, Deva melepaskan tangannya dan menutup erat pintu garasi yang terhubung dengan pintu rumah agar kedap suara. Kemala dan Gia tidak boleh tahu apa yang akan terjadi di garasi. Setelah itu Deva berbalik mencengkeram leher Kean.
“Lo mau bunuh gue?” Kean memberikan tatapan menantang ke Deva. “Silakan! Gue nggak takut! Toh ini bukan pertama kalinya keluarga Adhikara melakukan hal itu. Cih!”
Deva tidak menghiraukan sindiran Kean. Dia menatap dingin Kean hingga sepupunya itu nampak gugup. Kemudian Deva bicara perlahan dengan intonasi yang menegaskan setiap kata.
“Gue-akan-membunuh lo-kalau lo-berani-membongkar-identitas Gia-di depan-Oma!” Deva semakin mengencangkan cengkeramannya. “Gue nggak main-main, Kean! Kalau lo membuat Gia terlibat dalam masalah, kalau lo bikin penyakit Oma tambah parah, gue bunuh lo! Paham?!”
Kean tidak menjawab Deva. Dia malah tersenyum sinis.
Deva lalu melepaskan cengkeramannya. Kemudian dengan kasar Deva mendorong Kean hingga menabrak tembok dan terjatuh ke lantai garasi. Kean pun duduk terpaku karena tidak menyangka Deva akan berbuat kasar seperti itu.
Seketika Deva teringat kejadian yang hampir sama di garasi itu, sekitar 15 tahun lalu. Waktu itu mereka baru berusia 10 tahun, dan saat mereka main bola di sana, Kean membuatnya kesal. Deva pun mendorong Kean hingga jatuh dan menangis.
Saat itu, Deva merasa bersalah. Tapi, kali ini, dia tidak merasa bersalah sama sekali.
“Yang ada di dunia tipu-tipu ini bukan hanya gue dan Gia, Yan. Jangan lo pikir gue nggak tau kalau lo menipu gue dengan pakai nama Oma biar bisa tinggal di rumah ini ya, Sat!”
Deva lalu berbalik menuju pintu yang menghubungkan garasi dengan dapur rumahnya. Namun, sebelum dia menutup pintu, dia menoleh ke Kean yang masih duduk lemah di lantai.
“Gue masih mengizinkan lo masuk kantor. Tapi lo nggak boleh datang lagi ke rumah ini. Cepat pergi sana sebelum kesabaran gue habis!”
Deva lalu masuk ke dalam rumah sambil membanting pintu. Sementara Kean kembali tersenyum sinis.
“Tunggu aja, Tuan Muda Radeva Adhikara. Gue akan merebut semua milik lo! Semuanya!”
***