Don’t Know Why (Chapter 9)

“Aku hanya mau mengingatkan kamu kalau Deva sudah menikah dengan adik kamu. Di sini kamu hanya menggantikan Feya sampai dia ditemukan. Walaupun pernikahan mereka adalah pernikahan bisnis dan sebenarnya nggak sah, tapi pernikahan mereka nggak akan mudah dibatalkan begitu aja. Aku hanya nggak mau kamu terlanjur jatuh cinta sama Deva.”

Entah kenapa, Gia merasa hatinya seperti ditusuk pisau berkali-kali setiap kali kata-kata dari Kean itu terngiang di kepalanya. Padahal dia tidak jatuh cinta sama Deva, tapi rasanya sakit sekali saat Kean mengingatkan dia untuk tidak jatuh cinta dengan Deva.

Apa aku memang sudah jatuh cinta sama Deva? batin Gia. Hanya karena kemarin dia perhatian denganku? Gia menggeleng. Aku bukan perempuan yang mudah jatuh cinta seperti itu. Aku hanya senang karena tuan muda yang suka mengomel itu menunjukkan sisi baiknya. Itu saja.

Gia pun mengangguk seakan meyakinkan dirinya sendiri. Dia tidak jatuh cinta dengan Deva. Tidak mungkin. Dia masih mencintai Nick, walaupun hubungan mereka sudah karam. Apalagi, Deva adalah suami adiknya sendiri. Dia tidak mungkin menyukai seseorang yang tidak bisa menjadi miliknya.

Tapi… kenapa hatiku terasa sakit sekali?

***

Sore itu, Deva pulang dari kantor dengan wajah cerah, berbeda dari biasanya. Dia menyapa Satrio dengan senyum lebar. Satrio pun kembali dibuat bingung dengan perubahan karakter Deva. 

“Semenjak nikah, si bos jadi senyum terus,” gumam Satrio sambil membuka pintu mobil Deva, mau memindahkan sedan mewah itu ke dalam garasi. “Tau gitu, mending dia nikah aja dari dulu. Jadi saya nggak kena omel terus…”

Sementara itu, Deva masuk ke kamarnya dan melihat Gia yang sedang serius membaca buku di sofa.

“Hai.” Deva menyapa Gia dengan wajah ramah.

Gia menoleh dan hampir terperanjat. Dia terlalu fokus membaca novel milik Deva yang dia temukan di rak buku, sampai dia tidak sadar kalau Deva sudah kembali dari kantor. Dan, yang membuat dia semakin kaget, Deva tersenyum manis saat menyapanya.

Sepertinya ada yang salah sama Deva, gumam Gia dalam hati. Kenapa tiba-tiba dia jadi baik begitu sama aku? 

“Hai,” Gia mencoba membalas sapaan Deva dengan senormal mungkin. Padahal jantungnya berdetak sangat kencang, dan perutnya terasa geli. Seperti ada yang terbang di dalam sana.

Kenapa dia harus tersenyum manis begitu? Gia merutuk dalam hati. Aku nggak mau jatuh cinta dengan senyumnya itu.

“Kamu lagi baca apa?” tanya Deva sambil duduk di dekat Gia.

“Ini.” Gia menutup novel di tangannya lalu menunjukkan judul novel yang tadi dibacanya. “Maaf, aku baca novel kamu tanpa izin.”

“Nggak apa-apa.”

Harusnya apa-apa, Deva! seru Gia dalam hati. Harusnya kamu marah sama aku karena aku memegang barang kamu tanpa izin. Seperti biasa. Jangan jadi baik begini!

Kata-kata Kean kembali terngiang di kepala Gia. Gia pun kembali mengingatkan dirinya: dia tidak boleh jatuh cinta dengan Deva! Tidak boleh!

Gia kemudian mencoba menghindari Deva. Dia beranjak dari sofa, lalu sambil menaruh kembali novel di tangannya ke rak buku, dia bertanya tanpa menatap Deva. 

“Kamu mau makan malam apa, Dev?”

“Apa aja. Terserah kamu.”

“Oke.”

Gia lalu beranjak ingin keluar kamar. Namun Deva menegurnya.

“Mau ke mana?” tanya Deva.

“Mau siram tanaman,” dusta Gia.

“Bukannya tadi pagi kamu sudah siram tanaman?”

Sial, dia tau! Gia kembali merutuk dalam hati. Pasti Kean yang ngadu!

“Tadi pagi aku siram halaman depan. Sekarang halaman belakang.”

“Oh…”

Deva terlihat tidak percaya dengan alasan Gia, tapi dia tidak mau berdebat soal itu.

“Keadaan kamu gimana? Sudah mendingan?” tanya Deva mengalihkan pembicaraan.

“Aku sudah sehat kok.” Gia menepuk pundak Deva sambil memaksakan senyum. “Kamu nggak usah khawatir.”

Deva memperhatikan wajah Gia. Setelah memastikan Gia tidak sepucat kemarin, Deva akhirnya percaya dengan gadis itu.

“Kamu langsung masak makan malam aja sekarang. Jangan siram tanaman,” ucap Deva sambil berbalik ke arah toilet. “Selesai saya mandi, kita makan malam bersama.”

“O-oke…”

Gia pun segera keluar kamar sebelum Deva kembali mengajaknya bicara.

***

Saat Deva mandi, Gia buru-buru masak menyiapkan makan malam untuk Deva. Namun, setelah Deva selesai mandi dan menghampirinya di dapur, Gia tidak ikut duduk di meja makan bersamanya.

“Kamu nggak makan malam?” tanya Deva saat melihat hanya ada satu piring kosong di meja makan.

“Enggak,” ucap Gia sambil menaruh segelas air putih di depan Deva. “Kamu makan duluan aja.”

“Kenapa nggak makan sekarang aja?” Deva kembali bertanya. “Kalau perut kamu sakit lagi, gimana?”

“Aku belum lapar. Kalau dipaksa makan, aku bakal mual.” Gia berbalik meninggalkan meja makan. “Aku mau lanjut baca novel dulu. Selamat makan, Dev.”

Gia pun bergegas pergi, meninggalkan Deva yang menatap kepergiannya dengan wajah bingung.

“Kenapa dia?”

***

Awalnya Deva tidak tahu kalau Gia sedang menghindari dirinya. Tapi setelah Deva menyadari kalau Gia selalu buru-buru pergi saat Deva berada di dekatnya, dan matanya selalu menghindari tatapan Deva setiap kali diajak bicara, dia akhirnya menyadari kalau Gia menjaga jarak dengannya. Deva pun jadi bingung. 

Malam itu, di pinggir kolam renang rumahnya, Deva mencoba mencari penyebab Gia menghindarinya.

“Apa gue pernah bikin salah sama dia?” gumam Deva sambil mengaduk gelas es teh manis di tangannya. “Perasaan, semenjak dia pingsan, gue nggak pernah marahin dia lagi. Kenapa dia menghindari gue?”

“Kenapa lo ngomong sendiri gitu, Va? Udah gila?”

Deva menoleh. Ternyata Kean sudah berada di belakangnya sambil membawa dua kaleng soda dingin.

“Hari ini gue bawain lo soda,” ucap Kean sambil ikut duduk di samping Deva dan menaruh kaleng soda di antara mereka. “Biar lo nggak mabok dan nggak jadi cowok brengsek kayak gue.”

 Deva tersenyum sinis. “Ngapain lo di sini?”

“Gue kan tinggal di rumah ini juga. Boleh dong kalau gue nongkrong di sini?” ujar Kean sambil membuka kaleng soda di tangannya. “Jadi, lo ngapain ngomong sendiri kayak tadi? Stres ngurus perusahaan?”

“Enggak…”

“Terus kenapa?”

Deva melirik Kean yang sedang menikmati soda. Dia menimbang-nimbang, apakah dia harus membicarakan masalah Gia dengan sepupunya yang menyebalkan itu, atau memikirkannya sendirian. 

“Menurut lo…” Deva akhirnya bertanya, “kalau seorang cewek yang biasanya baik sama lo tiba-tiba menghindari lo, itu karena apa?”

“Hmm…” Kean berpikir sebentar. “Mungkin lo ada salah sama dia.”

“Kalau gue nggak berbuat salah sama dia, gimana?”

“Mungkin dia tau kalau lo brengsek. Jadi dia menghindari lo.”

Deva mendorong pelan kepala Kean. “Gue bukan lo, Sat!”

Kean tertawa. “Emang siapa sih yang menghindari lo? Istri lo yang kabur itu, atau sekretaris Pak Budi yang ikut meeting tadi?”

“Bukan dua-duanya…”

Kean menatap Deva. “Terus siapa?”

“Gia.” 

Kean kembali tertawa geli, sementara Deva membuang muka untuk menutupi rasa malunya.

“Jadi, lo hampir gila karena Gia menghindari lo?” tanya Kean di sela tawanya. “Lemah lo, Va! Hahaha!”

Deva tidak menghiraukan ledekan Kean. Dia malah kembali bertanya, “Menurut lo, apa yang bikin dia jadi menjaga jarak sama gue? Padahal gue nggak pernah marahin dia lagi semenjak dia pingsan waktu itu.”

Kean berhenti tertawa. Wajahnya berubah serius. 

“Mungkin akhirnya dia sadar posisi dia,” ucap Kean sambil menaruh kaleng sodanya. Kemudian dia menatap Deva. “Dia bukan istri sah lo, Va. Jadi dia harus menjaga jarak dari lo supaya dia nggak melewati garis yang memisahkan kalian berdua.”

Deva terdiam mendengar kata-kata Kean.

“Gue malah senang mendengar Gia menjauhi lo,” ucap Kean sambil kembali menikmati sodanya. “Gue harap dia akan terus menghindari lo.”

Deva melirik tajam Kean. “Kenapa? Lo suka sama Gia?”

“Memangnya kenapa kalo gue suka sama Gia?” Kean balas bertanya. “Dia bukan istri lo, toh?”

Deva tidak membalas pertanyaan Kean. Namun tangannya yang tidak memegang gelas mengepal kencang. Entah kenapa, dia ingin memukul wajah sepupunya itu.

***

Exit mobile version