Deja Vu (Chapter 10)

Deva sedang merokok sambil menikmati angin dingin dan langit yang mendung dari rooftop gedung kantornya. Tiba-tiba pertanyaan Kean malam itu kembali terngiang di kepalanya.

“Memangnya kenapa kalau gue suka sama Gia? Dia bukan istri lo, toh?”

Entah kenapa, setiap kali pertanyaan itu terngiang di kepalanya, Deva ingin sekali memukul wajah sepupunya itu.

“Dia memang bukan istri gue, tapi gue nggak akan membiarkan cowok brengsek kayak lo mendekati dia!”

Dengan kesal Deva membuang rokok yang masih menyala di tangannya ke lantai, sebelum menginjak baranya sampai mati. Kemudian Deva mengambil ponsel di saku celananya dan menghubungi seseorang.

“Lo di mana? Kok belum nyampe kantor?” tanya Deva jengkel. Setelah mendengar jawaban dari orang yang dihubunginya, wajahnya tampak semakin kesal. “Siapa yang izinin lo nggak masuk hari ini, Kean?!”

***

Kean sama sekali tidak takut mendengar suara Deva yang meninggi. Dia malah tertawa, lalu mematikan ponselnya begitu saja.

“Telepon dari siapa?”

“Biasa. Dari monster yang suka marah-marah. Hehe…”

Bukannya pergi ke kantor, Kean malah menghabiskan waktu bersama Gia di rumah. Setelah membantu menyiram bunga di halaman depan, kini Kean menemani Gia membuat adonan kue kering. Dia sama sekali tidak menghiraukan omelan Deva di telepon tadi.

“Kamu benar-benar nggak mau ke kantor, Yan?” tanya Gia sambil menimbang semangkuk tepung terigu di atas timbangan digital. “Kalau Deva marah dan memecat kamu, gimana?”

“Aku nggak peduli,” ucap Kean santai sambil memecahkan sebutir telur ke dalam mangkuk. “Aku masih bisa kok kerja di tempat lain. Kerja di toko kue kamu, misalnya.”

Mendengar itu, Gia malah tersenyum sedih.

“Kenapa?” tanya Kean saat menyadari perubahan di wajah Gia. “Kangen sama toko kue kamu?”

Gia mengangguk. “Makanya aku bikin kue kering ini. Buat mengurangi rasa kangenku.”

Kean menatap Gia. “Gimana kalau kita ke toko kue kamu sekarang?”

Gia tampak tertarik dengan ajakan Kean, tapi kemudian dia menggeleng. “Aku nggak mau membuat kamu dan Pak Satrio kena masalah.”

Kean mendengus saat melihat wajah Gia kembali murung. 

“Deva memang keterlaluan!” omel Kean. “Dia bilang, dia menahan kamu di sini karena mau melindungi kamu. Tapi nyatanya dia malah bikin kamu sedih terus. Dasar anak sialan!”

Mendengar kata-kata Kean, Gia terpaku dan bergumam pelan. “Dia… mau melindungi aku?”

Kean memukul pelan bibirnya karena sudah kelepasan bicara. Lalu dia segera mengalihkan pembicaraan.

“Bagaimana soal adik kamu?” tanya Kean sambil pura-pura melihat resep kue kering di layar ponselnya. “Sudah ada kabar?”

Gia kembali menggeleng dengan wajah yang semakin muram. “Tadi pagi papi telepon. Katanya Feya masih belum bisa ditemukan.”

“Kamu nggak minta bantuan Deva buat mencari adik kamu?” tanya Kean kemudian. “Aku yakin dia lebih mampu mencari adik kamu dibandingkan papa kamu. Pengusaha besar seperti dia pasti punya kenalan seorang intel.”

“Kalau memang Deva bisa mencari Feya, dia pasti nggak akan meminta papi untuk mencari Feya.”

“Atau dia memang sengaja mau ngerjain papi kamu. Semacam balas dendam karena papi kamu sudah menipu dia.”

Gia terdiam. Hal itu mungkin saja terjadi, tapi dia tidak yakin Deva akan berbuat setega itu. 

“Telurnya sudah?” tanya Gia mengalihkan pembicaraan.

Kean mengangguk. “Mau dipakai?”

“Iya. Mau aku campur ke adonan tepungnya.”

Kean memberikan mangkuk berisi telur yang sudah dia pecahkan. 

“Kamu benar-benar mau menemani aku sampai kuenya matang?” tanya Gia sambil menuangkan adonan telur ke adonan tepung.

“Tentu!” seru Kean dengan senyum lebar. “Aku mau mencicipi kue kering buatan kamu. Sebagai bayaran karena aku sudah membantu memecahkan telur dengan selamat.”

Gia tertawa. “Oke…”

***

Sementara itu, Deva tampak gelisah di meja kerjanya. Dia terus menerus melirik jam tangannya, berharap waktu bergerak lebih cepat dan dia bisa segera pulang.

“Kira-kira apa yang dilakukan Kean sama Gia di rumah?” gumam Deva sambil membaca dokumen di layar laptopnya. “Apa gue harus menyuruh Pak Satrio memata-matai mereka?” 

Saat Deva mengambil ponselnya untuk menghubungi Satrio, dia tersadar satu hal.

“Gue kan bos di kantor ini. Buat apa menunggu jam pulang?”

Deva menepuk keningnya. Baru kali ini dia merasa sangat bodoh.

Deva kemudian segera menutup layar laptopnya. Lalu dia mengambil tasnya dan buru-buru melangkah keluar ruang kerjanya.

“Sis, semua jadwal saya hari ini dipindah ke besok ya,” ucap Deva saat melewati meja Siska, sekretarisnya. “Saya ada urusan mendadak.”

Belum sempat Siska bertanya lebih banyak, Deva sudah menghilang masuk ke dalam lift.

***

Beruntung jalanan Jakarta tidak semacet biasanya. Deva pun tiba di rumahnya lebih cepat.

Saat membuka pintu rumah, Deva disambut oleh wangi kue kering yang baru matang. Harumnya mentega dan keju yang terpanggang seketika membuatnya lapar. Deva baru ingat kalau dia belum makan siang di kantor tadi. 

Namun Deva pulang ke rumah bukan untuk makan siang. Melainkan untuk memastikan Kean tidak mengganggu Gia. 

Deva lalu bergegas ke dapur, dan di sana dia melihat Kean yang sedang membantu Gia mengeluarkan loyang berisi kue kering yang baru matang dari oven. Ternyata kue kering di loyang itu adalah kastengel, kue kering kesukaan Deva. Kue kering yang dulu sering dibuat oleh Hilda, mamanya, hanya untuknya.

“Lho, kamu kok sudah pulang, Dev?” tanya Gia saat menyadari kehadiran Deva di dapur. Gia lalu melihat jam di ponselnya. “Kamu mau makan siang sekarang?”

Deva menggeleng, lalu dia menghampiri Gia. Sementara Kean menatap Deva dengan wajah jengkel. Kean tahu kalau Deva sengaja pulang untuk merusak rencananya berduaan dengan Gia.

“Kamu lagi ngapain?” tanya Deva ke Gia.

“Lo nggak bisa lihat?” seru Kean ketus.

Deva nggak menghiraukan sepupunya itu dan terus menatap Gia. “Kamu bikin kastengel?”

Gia mengangguk sambil tersenyum kikuk. “Mau coba kastengel buatanku?”

Deva mengangguk. Sejak Hilda meninggal, Deva sudah tidak pernah makan kastengel lagi. Baginya, kastengel buatan toko tidak ada yang seenak buatan Hilda. Tapi, Deva pikir, tidak ada salahnya mencoba kastengel buatan Gia. Apalagi wangi kastengel buatan Gia bisa membuat Deva sadar kalau dia lapar.

Deva kemudian mengambil satu potong kastengel yang diberikan Gia.

“Hati-hati. Masih panas,” kata Gia mengingatkan.

Deva lalu meniup sebentar kastengel di tangannya, sebelum akhirnya dia memakan kastengel seukuran setengah jarinya itu. 

Saat mengunyah kastengel buatan Gia, tiba-tiba tenggorokan Deva seperti tercekat, dan matanya tiba-tiba basah. Dia seperti merasakan deja vu.

Kastengel buatan Gia terasa sama persis seperti kastengel buatan Hilda. Memakan kastengel buatan Gia membuat Deva seperti kembali ke sore hari itu, saat Hilda membuatkan setoples kastengel buat Deva untuk terakhir kalinya. Sebelum Hilda tewas dalam kecelakaan mobil bersama papanya, Putra Adhikara, dan membuat Deva menjadi anak yatim piatu di usia yang masih cukup muda. 13 tahun.

Deva mencoba menutupi emosi yang tiba-tiba memenuhi hatinya, tapi dia malah jadi tersedak. Deva batuk-batuk dan membuat Gia khawatir. 

“Aku ambilkan air, ya?” 

Gia buru-buru mengambil segelas air untuk Deva, sementara Kean hanya diam memperhatikan Deva yang batuk-batuk hingga wajahnya memerah.

“Ini, Dev. Diminum pelan-pelan airnya.”

Deva lalu meminum air yang dibawakan Gia. Di saat yang sama, ponsel Kean berbunyi. Saat melihat pesan yang muncul di layar ponselnya, Kean beranjak meninggalkan dapur.

“Gue pamit keluar sebentar.”

Kean lalu bergegas pergi tanpa menunggu jawaban dari Gia maupun Deva.

Sesampainya di garasi, Kean masuk ke dalam mobilnya lalu dia menghubungi orang yang tadi mengirim pesan ke ponselnya.

“Halo, Mas?” Kean menyalakan mesin mobil, lalu memasang seat belt. “Feya beneran mencoba kabur dari apartemen?”

Kean diam sebentar, mendengarkan jawaban dari orang di seberang telepon.

“Dia mencoba lompat dari balkon pakai puluhan baju yang disambung jadi tali?” Ujung bibir Kean terangkat. Dia merasakan deja vu. “Mereka memang kakak dan adik. Bisa-bisanya mereka punya pikiran yang sama. Ck!”

Kean mengeluarkan mobilnya dari garasi rumah Deva. Lalu dengan wajah kesal dia menginjak gas, meluncur ke apartemen studionya yang terletak di selatan Jakarta secepat mungkin.

***

Exit mobile version