“Feya?”
Deva terperangah menatap Feya. Sedangkan gadis itu mematung di tempat. Wajahnya pucat pasi. Sementara matanya menatap horor ke tubuh Kean yang tergeletak di lantai dengan darah menggenang di bawah kepalanya.
“K-kean…” Feya menatap Deva. “Dia… dia nggak mati… kan?”
Tatapan Feya lalu beralih ke tubuh Gia yang juga tergeletak di lantai.
“Kak Gia…?” Feya bergegas menghampiri tubuh Gia dan mencoba menyadarkannya. “Kak Gia! Bangun, Kak!”
Feya yang panik lalu menoleh ke Deva yang masih terperangah karena melihat dirinya.
“Mas Deva! Tolong bawa Kak Gia ke rumah sakit, Mas!” pintanya dengan mata berair. “Tolong, Mas Deva!”
Suara panik Feya akhirnya menyadarkan Deva. Dia pun langsung mengangguk.
“Kamu tunggu sebentar di sini,” kata Deva. “Saya siapkan mobil dulu.”
Deva lalu bergegas ke kamarnya untuk mengambil kunci mobilnya yang lain karena dia yakin mobil sedannya dibawa oleh Rex untuk membawa Kemala ke rumah sakit. Setelah itu dia segera ke garasi sambil memikirkan bagaimana caranya membawa Gia dan Dean sekaligus.
Beruntung, ambulans yang ditelepon Rex datang tepat di saat Deva menyalakan mesin mobilnya. Deva pun menjelaskan apa yang terjadi pada dua petugas ambulans yang datang. Kean lalu dibawa ke rumah sakit dengan ambulans tersebut. Sementara Deva bersama Feya membawa Gia ke rumah sakit dengan mobilnya.
***
Sesampainya di rumah sakit, Kean segera dibawa ke ruang operasi karena luka bocor di kepalanya. Sedangkan Gia dipindahkan dari ruang IGD ke ruang rawat yang bersebelahan dengan ruang rawat Kemala karena kondisi vitalnya sudah stabil—walau dia masih belum sadarkan diri. Sementara Deva yang luka di wajah dan tangannya sudah diobati dokter segera pergi menemui Feya yang duduk menunggu di kursi panjang depan ruang rawat Gia.
Deva duduk di sebelah Feya. Lalu dia memberikan sebotol air mineral dingin ke Feya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya.
“Aku nggak apa-apa,” jawab Feya sambil menaruh botol air mineral pemberian Deva di antara mereka berdua. “Bagaimana dengan keadaan Kean?”
Deva mengangkat bahu, lalu meminum air mineral miliknya.
“Saya belum tanya dokter soal kondisi Kean,” kata Deva setelah menutup kembali botol air mineralnya. “Tapi, kamu nggak usah khawatir. Kean akan baik-baik saja.”
Mendengar ketenangan di suara Deva, Feya pun ikut merasa tenang.
Deva lalu balas menatap Feya.
“Jadi, bagaimana bisa kamu diculik sama Kean?” tanya Deva.
Feya pun menarik napas panjang, lalu dia menceritakan bagaimana dia diculik oleh Kean di hari pernikahannya dengan Deva, hingga saat dia ditahan berminggu-minggu di apartemen Kean.
“Lalu, bagaimana caranya kamu bisa keluar dari apartemen Kean dan muncul di rumah saya?” Deva kembali bertanya. “Tadi saya mencari kamu di apartemen Kean, tapi kamu nggak ada. Waktu saya tanya Kean, dia bilang dia sudah membuang kamu di sungai.”
Mendengar itu, Feya mendengus. Rasa khawatirnya ke Kean pun berubah menjadi rasa jengkel.
“Tadi pagi Kean mengeluarkanku dari apartemennya,” kata Feya. “Dia bilang, dia mau membawa aku ke tempat Kak Gia. Tapi, sesampainya di tempat parkir, dia dan Mas Haikal malah memasukkanku ke bagasi mobil. Setelah itu mobil bergerak dan aku hanya bisa diam menunggu sampai mobilnya akhirnya berhenti. Lalu aku dengar Kean marah dengan seseorang yang menyebut nama kamu. Aku pun yakin Kean datang ke rumah kamu.”
“Lantas, bagaimana kamu bisa keluar dari bagasi mobil Kean?”
“Aku mencoba menggedor bagasi setelah Kean lama menghilang, dan ternyata ada yang dengar,” jawab Feya. “Orang itu lalu membukakan pintu bagasi, tapi dia buru-buru pergi sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih.”
“Orangnya… laki-laki berambut panjang?”
Feya mengangguk. “Rambutnya dikuncir.”
Deva pun yakin kalau orang yang dimaksud Feya adalah Rex.
“Setelah orang itu pergi, aku masuk ke dalam rumah melalui pintu garasi,” kata Feya melanjutkan ceritanya. “Sesampainya di dapur, aku melihat kamu sedang mencekik Kean, dan Kak Gia menangis di samping kamu. Terus, aku sembunyi di belakang kitchen island, menunggu Kean pergi. Tapi, waktu aku mengintip kalian, aku melihat Kean mau memukul punggung Kak Gia dengan kursi. Aku pun refleks mengambil botol kosong di kitchen island dan…”
Feya terdiam. Wajahnya kembali pucat dan tangannya bergetar.
Deva yang menyadari itu langsung memberikan botol air mineral milik Feya.
“Kamu minum dulu,” kata Deva. “Nanti kamu lanjut cerita lagi kalau sudah lebih tenang.”
Feya mengangguk, lalu dia meminum air mineral dinginnya. Setelah lebih tenang, Feya menatap Deva.
“Mas Deva?”
“Ya?”
“Kata Kean, Mas Deva menahan Kak Gia. Apa benar?”
Deva balas menatap Feya. “Iya, benar. Saya menahan Gia di rumah saya.”
“Kenapa?” Air mata Feya perlahan menggenang. “Apa salah Kak Gia sampai ditahan begitu? Apa karena aku?”
“Bukan karena kamu,” ucap Deva. “Karena papi kamu.”
“Karena papiku?” Feya tampak bingung. “Maksud Mas Deva apa?”
Deva menghela napas dalam-dalam, lalu dia mulai menjelaskan semuanya pada Feya.
“Waktu kamu menghilang, papi kamu meminta Gia untuk menggantikan kamu di pelaminan. Karena, bagi papi kamu, pernikahan bisnis antara Keluarga Darmawan dan Keluarga Adhikara harus terjadi, entah bagaimana caranya, demi menyelamatkan perusahaannya. Bodohnya, Gia mau mengikuti permintaan egois papi kamu itu.
“Walaupun saya nggak peduli dengan pernikahan bisnis ini, tetap saja yang papi kamu dan Gia lakukan adalah penipuan. Saya berhak membatalkan pernikahan bisnis ini. Tapi, di satu sisi, saya nggak mau Gia mengalami hal yang sama dengan kamu. Saya nggak mau melihat dia dipaksa menikah dengan anak pengusaha lain demi menyelamatkan perusahaan papi kamu. Makanya saya membiarkan dia menjadi ‘istri’ saya. Tapi, saya menahan dia di rumah. Saya nggak biarkan dia keluar kamar, apalagi keluar rumah saya.
“Mungkin kamu sudah dengar dari Kean kalau saya sering memarahi Gia, dan saya nggak mengelak soal itu. Saya memang sedikit kasar dengan Gia di awal. Saya bahkan pernah mengancam akan membuat hidupnya menderita. Tapi, saya bersikap seperti itu bukan karena saya marah atau mau balas dendam karena sudah ditipu oleh Gia. Saya hanya nggak habis pikir, kenapa dia mau menuruti keegoisan papi kamu. Saya hanya ingin membuat dia menyesal karena nggak bisa egois demi kebaikan dirinya sendiri. Sampai akhirnya saya mulai memahami dia, dan mulai memperbaiki sikap saya ke dia.”
“Dan sekarang kalian saling suka?”
Deva tersedak napasnya sendiri saat mendengar kata-kata Feya itu. Dia pun batuk-batuk hingga wajahnya memerah. Feya lalu menyodorkan botol air mineral milik Deva.
“Minum dulu, Mas,” ucap Feya sambil menahan tawa.
Deva pun meminum air mineralnya untuk menutupi rasa malu. Setelah lebih tenang, dia kembali bertanya ke Feya.
“Kenapa kamu bisa ambil kesimpulan seperti itu?” tanya Deva.
“Kean yang bilang,” jawab Feya. “Katanya kalian sekarang dekat dan saling suka.”
“Oh…”
Deva tidak menyangka kalau Kean berpikir seperti itu.
Mungkin karena itu dia mau merebut Gia dari sisi gue, gumam Deva dalam hati.
“Apa benar Kak Gia putus dengan Nick?” Feya kembali bertanya.
Deva mengangkat bahu. “Gia nggak pernah cerita tentang Nick sama saya. Tapi, papi kamu pernah bilang sama saya, katanya Gia cerita sama papi kamu kalau dia sudah putus dengan Nick karena masalah komunikasi dan jarak.”
Mendengar itu, Feya mengembuskan napas panjang.
“Sayang banget…,” sesal Feya. “Padahal Kak Gia sudah lama pacaran sama Nick. Kak Gia bahkan berencana menyusul ke Amerika untuk menikah dengan Nick setelah dia lulus S2.”
Deva diam, tidak menanggapi. Tapi, jauh di dalam hatinya, dia senang hubungan Gia dengan Nick sudah berakhir. Gia berhak mendapatkan laki-laki yang bisa memahami dan membuatnya bahagia, bukan sebaliknya.
“Lalu… bagaimana dengan status pernikahan kita, Mas Deva?” tanya Feya membuyarkan pikiran Deva. “Apa aku tetap menjadi istri Mas Deva?”
Deva menggeleng. “Status pernikahan kita sudah saya batalkan setelah acara resepsi selesai. Lagipula, pernikahan itu nggak sah karena saya mengucapkan ijab kabul memakai nama kamu, sedangkan yang jadi pengantin wanitanya adalah Gia.”
“Kalau sudah dibatalkan, kenapa Kak Gia masih menjadi ‘istri’ Mas Deva?” tanya Feya bingung.
“Kan saya sudah cerita panjang lebar tadi,” keluh Deva dengan wajah lelah. “Apa perlu saya jelaskan lagi ke kamu?”
Feya pun tertawa melihat ekspresi Deva. “Oke, oke… Aku paham.”
Deva dan Feya kemudian diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Setelah satu menit berlalu, Deva kembali menatap Feya.
“Feya?”
“Iya, Mas Deva?”
“Saya akan tetap membantu perusahaan papi kamu walaupun pernikahan bisnis kita batal. Jadi, kamu nggak perlu khawatir.”
“Terima kasih, Mas Deva,” ucap Feya penuh rasa syukur. “Terima kasih banyak…”
“Sama-sama, Feya…”
Deva dan Feya lalu kembali diam. Setelah semenit berlalu, Feya balas menatap Deva.
“Mas Deva?”
“Ya?”
“Mas Deva benar-benar suka sama Kak Gia?”
Deva diam sebentar, sebelum akhirnya mengangguk.
“Iya, saya suka dengan Gia,” ucapnya jujur.
Feya balas mengangguk sementara bibirnya membentuk senyum.
“Mas Deva, jujur aja, aku nggak pernah tertarik dengan pernikahan bisnis kita. Aku hanya terpaksa menerima permintaan papi untuk menyelamatkan perusahaannya. Makanya aku nggak peduli kalau pernikahan bisnis kita batal,” kata Feya sambil kembali menatap Deva. “Jadi, kalau Mas Deva suka dengan Kak Gia, dan Kak Gia juga suka dengan Mas Deva, kalian bisa bahagia bersama. Aku akan dengan senang hati menerima hubungan kalian.”
Mendengar itu, Deva pun tersenyum. Walau dia belum seratus persen yakin Gia memiliki perasaan yang sama dengannya, paling tidak ada orang yang mendukungnya untuk bahagia bersama Gia.
“Terima kasih, Feya…”
Feya balas tersenyum. Tapi, masih ada yang mengganjal di hati Feya dan membuatnya jadi gelisah.
“Mas Deva,” Feya kembali menoleh ke Deva. “Aku… bakal masuk penjara nggak ya?”
Deva tersenyum. “Jangan khawatir, Feya. Kamu nggak salah apa-apa. Kamu malah jadi korban di sini.”
Deva lalu melihat sosok Rex di ujung koridor yang jalan mendekat ke tempat Deva dan Feya berada.
“Itu pahlawan kamu,” ucap Deva sambil menunjuk ke arah Rex dengan dagunya.
Feya pun menoleh ke Rex yang kini sudah berada di sampingnya. Lalu mereka bertukar senyum.
“Feya, kenalkan. Ini Rex,” ucap Deva. “Dia sahabat saya yang tadi menolong kamu.”
“Kenalkan, aku Feya.” Feya berjabat tangan dengan Rex.
“Aku Rex,” ucap Rex sambil kembali tersenyum.
“Terima kasih sudah menyelamatkanku, Mas Rex.”
“Terima kasih juga buat kamu, Feya. Kamu sudah menyelamatkan diri kamu dan banyak orang.”
Feya tersenyum dengan pipi memerah. Sementara Rex beralih ke Deva.
“Pihak kepolisian sudah sampai, Dev,” kata Rex memberi tahu. “Mereka mau minta kesaksian Feya.”
Deva pun menoleh ke Feya yang sedang memukul pelan dada kirinya karena jantungnya tiba-tiba berdetak terlalu kencang.
“Kamu jangan khawatir, Feya,” kata Deva kembali menenangkan Feya. “Mereka hanya ingin menanyakan apa yang terjadi. Kamu cerita saja sejujurnya seperti waktu kamu cerita sama saya tadi.”
Rex menatap Feya dan tersenyum. “Tenang saja, Feya. Aku akan menemani kamu.”
Melihat dua pemuda di depannya tampak tenang, jantung Feya tidak lagi berdetak kencang. Dia pun mengangguk.
“Ayo kita ketemu mereka,” ucap Feya.
“Oke,” sahut Rex.
Keduanya lalu pamit pergi meninggalkan Deva.
Setelah punggung keduanya tidak lagi terlihat, Deva bangkit dari kursi dan masuk ke ruang rawat Kemala.
***
Setelah sempat mendapatkan perawatan di ruang IGD, Kemala akhirnya sadarkan diri. Kondisi vitalnya pun baik, jadi dia bisa dipindahkan ke ruang rawat. Walau begitu, dia masih dalam pengawasan ketat dokter sampai jantung dan tekanan darahnya benar-benar stabil.
Deva masuk ke dalam ruang rawat Kemala yang sepi dan hanya dihiasi suara dari alat patient monitor. Deva memindahkan kursi di pojok ruangan ke samping tempat tidur Kemala, lalu dia duduk di sana. Matanya menatap Kemala yang nampak pulas. Perasaan di hatinya campur aduk, tapi yang pasti, Deva merasa sangat bersalah dengan Kemala.
Kemala adalah segalanya bagi Deva sejak kedua orangtuanya meninggal. Kemala adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Deva keluar dari kolam duka dan kembali melanjutkan hidupnya. Deva tidak yakin apa yang akan terjadi pada dirinya seandainya tadi Kemala terlambat diselamatkan.
Saat Deva sedang sibuk dengan pikiran buruknya, tangan Kemala bergerak lalu mencubit keras pipi Deva.
“Aduhhhh…!” Deva tersadar dan langsung mengelus pipinya yang memerah. “Oma kenapa sih suka banget cubit pipiku?!”
Kemala membuka matanya dan tertawa, seakan dia tidak habis pingsan dalam waktu yang cukup lama.
“Mana Gia?” tanya Kemala.
Mendengar Kemala menyebut nama Gia, Deva pun sadar kalau Kemala sudah mengetahui tentang Gia dari Kean.
Kean sialan, rutuk Deva dalam hati.
“Oma…” Deva meraih tangan Kemala yang tadi mencubitnya, lalu menggenggam pelan tangan keriput yang tampak rapuh baginya itu. Air di matanya pun menggenang. “Maafin aku dan Gia, Oma. Kami nggak bermaksud—“
“Kalian nggak perlu minta maaf,” potong Kemala. “Oma sudah dengar percakapan kamu dengan Feya di luar tadi. Oma sudah paham semuanya.”
Deva pun kaget mendengar itu. Dia tidak menyangka kalau Kemala sudah mengetahui semuanya dan mau memaafkan dia semudah itu. Padahal Deva sangat tahu kalau Kemala tidak suka dikhianati.
“Jadi, bagaimana keadaan Gia?” Kemala kembali bertanya. “Dia nggak apa-apa, kan?”
Deva mengembuskan napas panjang, lalu menundukkan kepalanya.
“Gia sudah dipindahkan ke ruang rawat, tapi dia masih belum sadarkan diri,” cerita Deva. “Tadi dia tiba-tiba memelukku dari belakang karena ternyata dia mau menyelamatkanku dari serangan Kean. Terus dia pingsan karena punggungnya dipukul pakai kursi sama Kean. Walaupun nggak kencang, tapi…”
Deva berhenti bicara karena air matanya sudah tidak bisa lagi ditahan. Deva menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan agar Kemala tidak bisa melihat air matanya.
Namun, Kemala jadi teringat ke hari itu, setelah mereka pulang dari pemakaman Putra dan Hilda. Itu kali pertama sekaligus kali terakhir Kemala melihat Deva menangis hingga dadanya sesak. Kemala tidak menyangka akan kembali melihat Deva menangis seperti itu lagi.
“Deva…” Kemala perlahan bangun dan duduk di kasurnya. Lalu dia menarik Deva dalam pelukannya. “Deva sayang…”
Deva pun menangis dalam pelukan Kemala.
Setelah emosi Deva lebih tenang, Deva melepas pelukannya lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Ketika Deva keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar, Kemala yang kini duduk bersandar di tempat tidurnya sedang mengupas apel.
“Oma, sini aku aja yang kupas apelnya,” kata Deva menawarkan diri.
Namun Kemala menolak.
“Anak manja kayak kamu mana bisa pegang pisau,” cibirnya.
Deva pun tertawa. Sementara hatinya merasa lega karena kondisi Kemala ternyata tidak seburuk yang dia khawatirkan. Buktinya, neneknya itu bisa mencubit pipinya sampai merah dan bisa mencibirnya seperti itu.
Kemala lalu memberikan sepotong apel ke Deva yang kini duduk di samping tempat tidurnya. Kemudian, perlahan, Kemala mengajak Deva bicara tentang seseorang yang tidak dia suka.
“Deva?”
“Iya, Oma?”
“Bagaimana dengan keadaan Kean?”
Deva tidak menjawab Kemala, dan malah menggigit potongan apel di tangannya.
“Oma paham kalau kamu marah sama Kean,” kata Kemala hati-hati sambil memperhatikan paras Deva. “Tapi, Oma harap, kamu bisa memaafkan Kean.”
“Nggak mau.” Deva akhirnya menjawab dengan tatapan dingin ke Kemala. “Kean sudah membuat Oma masuk rumah sakit seperti ini. Aku nggak akan memaafkan dia.”
“Tapi Oma baik-baik saja, Deva,” kata Kemala. “Jadi, Oma harap kamu bisa memaafkan Kean. Ya?”
Deva kembali tidak menjawab. Dia malah mengambil satu potongan apel di piring yang ada di pangkuan Kemala, lalu pergi meninggalkan ruangan.
***
Kemala tidak tahu, setelah menghabiskan potongan apel yang diambilnya, Deva pergi menemui Kean yang sudah keluar dari ruang operasi. Kepala Kean yang bocor sudah selesai dijahit, dan kondisinya sudah cukup stabil untuk pindah ke ruang perawatan.
Saat Deva masuk ke ruang rawat Kean, sepupunya itu sedang duduk bersandar di tempat tidur. Namun, Kean mengacuhkan kehadiran Deva. Dia tidak menoleh sama sekali saat Deva menarik kursi ke samping tempat tidurnya. Sementara tatapan matanya fokus ke pemandangan langit senja di luar jendela.
“Gue ke sini bukan untuk menjenguk lo atau menanyakan keadaan lo,” kata Deva dengan tatapan dingin ke Kean. “Gue ke sini untuk menyampaikan sesuatu sama lo. Terserah lo mau dengar atau enggak. Terserah juga, lo mau percaya atau enggak. Tapi yang akan gue sampaikan ini adalah fakta yang harus lo tau.”
Deva menarik napas panjang, lalu dia kembali bicara.
“Papa gue bukan pembunuh mama lo. Dia nggak akan pernah melakukan hal sejahat itu ke adiknya sendiri. Mama lo meninggal murni karena kecelakaan, dan ada bukti dari penyelidikan kasus kecelakaannya itu. Justru papa lo yang membunuh papa dan mama gue. Sama seperti yang lo lakukan sekarang, papa lo itu balas dendam ke kedua orangtua gue. Kecelakaan mobil yang merenggut nyawa kedua orangtua gue adalah ulah papa lo yang dendam sama mereka atas kematian mama lo. Padahal mama dan papa gue nggak salah apa-apa.
“Sebelum lo menuduh gue memfitnah papa lo, Oma punya semua bukti soal kecelakaan mobil itu dan dia hampir memenjarakan papa lo. Makanya papa lo membawa lo ke Jepang untuk melarikan diri. Walaupun Oma tau kalian di mana, gue melarang Oma memenjarakan papa lo karena gue nggak mau melihat lo tumbuh tanpa orangtua seperti gue.”
Setelah Deva selesai bicara, Kean tetap diam dan tatapan matanya tetap fokus ke luar jendela. Deva pun bangkit dari kursinya.
“Sebenarnya lo nggak perlu melakukan semua aksi bodoh lo hari ini,” kata Deva. “Gue akan memberikan semua yang lo inginkan. Rumah, Adhikara Grup. Semuanya, yang menurut lo seharusnya menjadi milik mama lo. Hanya ada satu hal aja yang nggak akan gue berikan ke lo sampai kapan pun. Gue NGGAK AKAN memaafkan lo karena sudah menyakiti Oma dan Gia!”
Deva lalu berbalik pergi ruangan dan menutup pintu dengan bantingan. Sementara Kean menutup matanya. Entah kenapa, tiba-tiba dia merasa lelah. Air mata pun perlahan mengalir dari sudut matanya.
Kean kemudian berbalik. Lalu, dengan wajah menelungkup di atas bantal, dia menangis penuh penyesalan.
***
Deva mengintip dari kotak kaca di pintu, dan dari sana dia bisa melihat Gia yang berbaring di tempat tidurnya.
Walaupun kondisi vitalnya sudah stabil dan pukulan Kean tidak terlalu kencang, Gia masih belum sadarkan diri. Dan itu membuat Deva sangat khawatir. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Gia? Deva tidak akan bisa memaafkan dirinya jika Gia koma selamanya.
Setelah mengumpulkan keberanian, Deva membuka pintu dan masuk ke dalam ruang rawat Gia. Dia duduk di samping tempat tidur, lalu meraih tangan Gia yang bebas dari selang infus. Sementara matanya menatap wajah pucat Gia yang tampak tidur dengan tenang.
“Gia…” sapa Deva pelan. “Kamu nggak apa-apa, kan?”
Gia tidak bereaksi. Deva pun kembali bicara.
“Maafin saya, Gia,” lirih Deva. “Seharusnya saya yang melindungi kamu dari Kean. Bukan sebaliknya. Seharusnya punggung saya yang kena pukul kursi itu. Bukan kamu.”
Gia tetap tidak bereaksi. Deva pun mulai kesal.
“Kenapa sih kamu selalu berbuat bodoh begini, Gia?” seru Deva. “Kemarin kamu menggantikan adik kamu menjadi istri saya. Sekarang kamu menggantikan posisi saya menjadi korban Kean. Kenapa kamu selalu mengorbankan diri kamu demi orang lain? Kenapa kamu nggak pernah memikirkan keselamatan dan kebahagiaan diri kamu sendiri?!”
Gia tetap tidak memberikan reaksi. Deva pun menundukkan kepalanya sambil mengembuskan napas panjang.
Setelah semenit berlalu, Deva kembali menatap Gia. Lalu dia mendekatkan tangan Gia ke wajahnya, sebelum mengecup lembut jemari halus gadis itu.
Deva lalu menatap jari manis Gia yang dihiasi cincin pernikahan mereka. Cincin yang sebenarnya bukan milik gadis itu. Pandangan mata Deva kemudian kabur karena air yang tiba-tiba menggenangi kedua matanya.
“Saya suka sama kamu, Gia,” ucap Deva dengan suara bergetar. “Saya sayang sama kamu. Jadi, saya mohon… Saya mohon… Kembali sadar, Gia. Jangan diam seperti ini. Please… Hanya kamu yang mengerti saya. Hanya kamu yang mau mendengarkan keluh kesah saya. Hanya kamu yang bisa membuat saya bahagia. Jadi, saya mohon… Beri saya kesempatan supaya saya juga bisa menjadi satu-satunya orang yang mengerti kamu. Beri saya kesempatan supaya saya juga bisa menjadi satu-satunya orang yang mau mendengarkan keluh kesah kamu. Beri saya kesempatan supaya saya juga bisa menjadi satu-satunya orang yang bisa membahagiakan kamu. Beri saya kesempatan supaya saya bisa benar-benar mencintai kamu. Bukan pura-pura. Bukan terpaksa…”
Deva pun tidak bisa lagi menahan tangisnya. Dia terisak sambil terus menggenggam tangan Gia.
Lalu, saat air mata Deva menetes membasahi tangan Gia, Deva merasakan jemari gadis itu mengeratkan pegangan tangan mereka.
***