Mendengar suara Deva, Gia panik dan buru-buru bersembunyi di belakang sofa. Sementara Kean mencoba menahan tawa dan menyambut Deva. Beruntung, Deva tidak menyadari kehadiran Gia. Gia pun mendengarkan percakapan Deva dan Kean dari balik sofa.
“Oma nyuruh gue ke sini. Dia minta gue jadi asisten lo dan tinggal menemani lo di sini.”
Kean akan tinggal di sini? Apa Oma Deva menyuruh Kean untuk memata-matai aku? Gia bertanya-tanya dalam hati.
“Terus, kamu ngapain sembunyi di belakang sofa, Gia?!”
Bentakan Deva hampir membuat jantung Gia berhenti berdetak. Detik itu juga dia berharap lantai yang diinjaknya terbuka dan dia ditelan ke dalamnya.
Mati deh aku! batin Gia.
“Cepat keluar, Gia!” perintah Deva. “Mau sampai kapan kamu sembunyi di situ?!”
Gia yang ketakutan perlahan muncul dari balik sofa. Deva menatap Gia dengan wajah jengkel, sementara Kean tersenyum geli melihat pasangan ‘pengantin baru’ itu.
Sepertinya tinggal di rumah ini akan menyenangkan, gumam Kean sambil mencoba menyembunyikan rasa gelinya. Deva akan marah besar kalau dia sadar Kean sedang menertawakannya dan Gia.
“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Deva setelah Gia akhirnya muncul dari balik sofa. “Pintu kamar kan saya kunci. Jadi, kenapa kamu bisa ada di sini?!”
Gia tidak menjawab. Dia malah mengepalkan kedua tangannya yang gemetar untuk menyembunyikan rasa takutnya.
“Kamu lupa sama kata-kata saya kemarin?” Deva menatap Gia tajam. “’Jangan berbuat hal bodoh di rumah ini, atau kamu akan menyesal!’ Kamu lupa saya ngomong begitu kemarin?!”
Gia menunduk saat mendengar suara Deva yang menggelegar seperti bom. Namun, di saat Gia ketakutan, Kean malah tertawa terbahak-bahak. Deva pun langsung mengalihkan tatapan kesalnya dari Gia ke arah sepupunya itu.
“Ada yang lucu?” tanya Deva yang Kean jawab dengan gelengan. “Terus kenapa lo ketawa kayak gitu?!”
“Lucu aja lihat Tuan Muda Radeva Adhikara marah-marah,” ucap Kean di sela tawanya. “Kayak antagonis di sinetron lo! Hahaha…!”
Kean guling-guling di sofa, sementara tangannya memegang perutnya yang mulai kram karena terlalu banyak ketawa. Namun Kean terus tertawa, tidak peduli dengan wajah Deva yang semakin masam menatapnya. Di sisi lain, Gia sedang menahan tawanya. Kalau Gia pikir lagi, Deva memang seperti tokoh antagonis di sinetron yang wajahnya judes dan selalu ngomel.
“Kamu mau ketawain saya juga?” ujar Deva sambil menatap Gia.
“A-aku?” ucap Gia yang kemudian pura-pura batuk untuk menutupi tawa yang hampir lepas dari mulutnya. “Aku nggak mungkin berani ketawain kamu.”
Deva tersenyum sinis. “Tapi kamu berani melanggar larangan dari saya.”
Gia pun kembali menunduk. Dia menyesal sudah berani menjawab pertanyaan Deva.
“Kalau lo dikunciin di kamar, lo juga pasti akan mencoba untuk kabur kan, Va?” Kean yang sudah berhenti tertawa mengambil alih pembicaraan. “Buktinya, 18 tahun yang lalu—“
“Jangan ungkit masalah itu!” potong Deva dengan wajah yang semakin kesal. Dia kemudian bangkit dari sofa. “Gue mau mandi dulu. Lo urus sendiri aja mau tidur di kamar yang mana. Yang pasti, jangan di sebelah kamar gue!”
“Siap, Tuan Muda!” balas Kean setengah meledek.
Gia mengira Deva sudah melupakan masalahnya saat dia beranjak meninggalkan sofa, tapi dugaan Gia salah. Deva ternyata berbalik dan berhenti di depan Gia yang menatapnya gugup.
“Urusan saya sama kamu belum selesai. Kamu akan saya hukum berkali-kali karena sudah berani melanggar perintah saya,” desis Deva. “Sebagai hukuman pertama, siapkan makan siang buat saya. Sekarang!”
“Baik, Tuan Muda!” jawab Gia, yang kemudian menyesal karena refleks mengikuti ledekan Kean.
Sedangkan Kean yang mendengar itu kembali tertawa geli sambil guling-guling di sofa. Dia tidak menghiraukan Deva yang berbalik pergi ke kamarnya dengan wajah merah menahan kesal.
***
Sementara menunggu Deva mandi dan berganti pakaian, Gia memasak makan siang untuk Deva dan Kean. Dari bahan makanan yang dia temukan di kulkas, Gia memutuskan untuk membuat ayam goreng mentega dan tumis kacang panjang. Sementara Kean menemani Gia memasak di dapur.
“Kamu jago masak ya?” tanya Kean di sela suara letupan minyak panas yang sedang menggoreng ayam. “Aku pikir anak pengusaha kaya raya kayak kamu nggak bisa masak.”
Gia tersenyum sambil memotong kacang panjang. “Masak itu sesuatu yang basic untuk manusia bisa bertahan hidup. Jadi, mau kaya atau miskin, kita harus bisa masak. Walau sesederhana masak nasi goreng atau mi instan.”
“I see…” Kean kembali memperhatikan Gia yang kini menumis kacang panjang. “Kamu kerja di perusahaan ayah kamu, Gia?”
“Enggak, aku nggak tertarik bekerja di perusahaan Papi,” jawab Gia sambil menuangkan sedikit penyedap ke tumisannya. “Aku meneruskan usaha toko kue almarhum mamiku. Lokasinya nggak jauh dari sini. Namanya ‘Cookies & Cake.’ Mungkin tadi kamu melewati tokoku diperjalanan menuju ke sini.”
“Oh… Ya, sepertinya aku lihat toko kue itu tadi,” kata Kean sambil mengambilkan piring untuk menaruh tumisan Gia. “Lalu, siapa yang mengurus toko selama kamu ‘ditahan’ di sini?”
“Toko aku liburkan sementara,” ucap Gia sambil menuangkan tumisannya ke piring yang dibawakan Kean. “Sampai Feya ditemukan.”
“Bagaimana kalau Feya nggak ditemukan?” tanya Kean seraya menaruh piring berisi tumisan kacang panjang ke meja makan. “Apa kamu akan selamanya menutup toko kuemu itu?”
Gia yang sedang mengangkat ayam goreng berhenti dan menatap Kean. “Makanya, tolong aku untuk menemukan Feya.”
“Nanti aku coba pikirkan,” ucap Kean, tersenyum sambil menata piring di meja makan.
“Pikirkan soal apa?” tanya Deva yang ternyata sudah tiba di ruang makan.
Gia sempat terpesona saat melihat Deva yang tampak segar setelah mandi. Rambut pendeknya masih sedikit basah, dan dari tubuhnya mengeluarkan aroma sabun yang menyegarkan. Kemeja dan celana khaki yang tadi dia pakai sudah berganti menjadi kaos putih polos dan celana piyama panjang dari bahan satin berwarna biru tua. Dia tidak lagi terlihat seperti tuan muda yang menyebalkan, melainkan seperti anak muda berusia 25 tahun pada umumnya.
Harus Gia akui, Deva memiliki wajah yang sangat tampan. Bahkan jauh lebih tampan dari Nick yang dia cintai selama hampir 6 tahun ini. Postur tubuhnya juga bagus. Dia juga pengusaha muda yang sukses. Gia jadi berpikir, seandainya mereka bertemu bukan untuk pernikahan bisnis, Feya pasti akan suka dengan sosok Deva dan tidak akan kabur seperti ini.
“Soal apakah kita perlu menambahkan racun di makanan lo atau nggak,” kata Kean dengan senyum iseng. “Jadi, lo mau makan masakan Gia nggak nih? Kalo nggak mau, gue abisin semua.”
Deva tidak menjawab Kean. Dia malah duduk di meja makan lalu menuangkan nasi di piringnya. Kemudian dia mengambil beberapa potong ayam goreng mentega dan sedikit tumisan kacang panjang. Setelah itu dia menikmati makan siangnya tanpa menghiraukan lambaian tangan Kean di depan wajahnya.
Karena dicuekin Deva, Kean akhirnya menyerah dan memilih menikmati masakan Gia. Sementara Gia mengamati Deva yang sedang menikmati masakannya tanpa banyak bicara.
Kira-kira masakanku bisa membuat amarahnya mereda atau nggak ya? Kalau enggak, hukuman apa lagi yang akan aku terima?
Gia penasaran, karena yang tahu jawaban dari pertanyaannya hanya Deva.
***
Keesokan harinya, Darmawan menemui Deva di kantornya. Wajahnya terlihat pucat dan gugup. Butiran keringat memenuhi dahinya, padahal AC di ruang kerja Deva sangat dingin. Darmawan menatap takut ke arah Deva yang sedang membaca laporan di layar laptop di meja kerjanya dengan wajah serius. Dengan sabar dia menunggu sampai Deva bisa bicara dengannya.
“Ada perlu apa Pak Darmawan ke sini?” tanya Deva dari meja kerjanya.
“Saya mau melaporkan soal Feya,” jawab Darmawan yang duduk di sofa yang berada di seberang meja kerja Deva sambil menghapus keringat dengan sapu tangannya.
“Sudah ketemu?” lirik Deva dari balik layar laptopnya.
Darmawan menggeleng. “Belum…”
“Kalau belum ketemu, kenapa Pak Darmawan ke sini?!” seru Deva sambil menutup layar laptopnya dengan jengkel.
“Sa-saya hanya…”
“Sudah, sudah,” potong Deva. “Saya lagi sibuk. Saya nggak ada waktu buat mendengarkan alasan Pak Darmawan.”
Darmawan hanya bisa menelan ludah. Baru kali ini dia merasa rendah diri di depan orang yang jauh lebih muda darinya.
“Jangan temui saya lagi sampai Pak Darmawan bisa menemukan Feya,” ucap Deva dengan tatapan dingin. “Sekarang, silakan keluar dari ruangan saya!”
Dengan terpaksa Darmawan bangun dari sofa dan melangkah menuju pintu ruangan Deva. Namun sebelum membuka pintu, Darmawan berbalik ke arah Deva, membuat Deva menoleh ke arahnya.
“Ada apa lagi?” tanya Deva, semakin jengkel.
“Saya… Saya janji akan segera menemukan Feya. Tapi, selama saya mencari Feya, saya harap kamu bisa menjaga Gia baik-baik. Dia ada maag akut. Jadi saya harap dia tidak telat makan. Saya tidak mau dia sakit,” ucap Darmawan sebelum akhirnya keluar dari ruangan Deva.
Setelah Darmawan pergi meninggalkan ruangan, Deva tersadar sesuatu. Saat dia mengunci Feya di kamarnya tadi pagi, dia lupa meninggalkan makanan untuk Gia. Sementara ini sudah hampir pukul 3 sore.
Deva pun bergegas keluar dari ruangannya, bertepatan dengan Kean yang datang menemuinya.
“Lo mau ke mana, Va?” seru Kean sambil mengikuti Deva yang berlari ke lift. “Gue mau minta tanda tangan!”
“Besok aja!”
Deva langsung masuk ke dalam lift, meninggalkan Kean yang menggaruk kepalanya dengan wajah bingung.
“Ada apa sih? Buru-buru amat…”
Kean pun berbalik ke ruangannya.
***
Walau sempat lama tinggal di Amerika untuk kuliah, dari kecil Deva lahir dan besar di Jakarta, jadi dia sudah terbiasa dengan kemacetan di kota itu. Tapi, baru kali ini dia mengutuk kemacetan yang biasa dihadapinya.
“Sialan! Baru jam segini udah macet!” omel Deva sambil berkali-kali menekan klakson mobilnya. “Tau gitu gue naik ojol aja tadi! Brengsek!”
Setelah berhasil melewati kemacetan, Deva akhirnya tiba di rumahnya yang sepi. Tanpa mematikan mesin, Deva langsung keluar dari mobil sedan mewahnya. Pak Satrio, satpam yang menjaga rumahnya, hanya bisa menatap bingung ke arah majikannya yang berlari masuk ke dalam rumah.
Sesampainya di kamar, Deva langsung membuka pintu kamarnya.
“Gia…”
Deva masuk ke dalam kamar mencari Gia, tapi gadis itu tidak kelihatan. Deva memanggil nama Gia sekali lagi, tapi tetap tidak ada sahutan. Deva pun mencari ke arah balkon, tapi nihil.
“Ke mana sih dia? Apa dia kabur lagi?”
Deva kemudian melihat pintu toilet kamar yang sedikit terbuka. Deva pun pergi ke toilet kamar. Di sana, dia menemukan Gia tergeletak di lantai.
“Gia…!”
***