Bintang Untuk Langit (Chapter 20)

12 BULAN KEMUDIAN…

 

08 November 2023

Pukul 18.45, malam itu Jakarta terasa lembap karena hujan tak kunjung turun pada waktu yang seharusnya. Kelembapan ini menyambut Danilla yang pergi pada bulan November tahun lalu. Kini, dia berdiri tepat di depan sebuah rumah yang pernah dikunjunginya dan memiliki kenangan yang cukup buruk. Dia menatapi rumah di mana dia pernah merasa dihakimi dan rasanya dunia tidak adil padanya. Itu adalah rumah Biru, yang mungkin Langit tidak ada di rumah karena Langit memutuskan untuk tinggal di mess daripada pulang ke rumah. Danilla membawa tas ransel yang cukup besar, tas selempang kecil dan koper yang besar ke hadapannya. Dengan berbekal keberanian, dia melangkah dan mengetuk pintu rumah Langit. Hanya butuh beberapa detik, untuk sampai Biru membuka pintunya. Biru tertegun melihat Danilla yang sudah ada di hadapannya. Tidak banyak kata yang dilontarkan, Biru mempersilakan Danilla masuk dengan pintu yang tetap dibiarkan terbuka.

“Bagaimana kabar kamu, Danilla?” 

Danilla tidak berpikiran hal itu akan ditanyakan pertama padanya setelah sekian belasan tahun tidak bertemu dengan Biru. Suara Biru lebih hangat dari biasanya. 

“Saya baik, Om. Bagaimana kabar Om sendiri?” 

“Saya baik. Apa perjalanan kamu sudah selesai?” 

Danilla kemudian tidak berpikir hal itu yang akan ditanyakan oleh Biru dengan cepat. 

“Sudah, Om.” 

“Kamu ngga pulang dulu ke rumah? Bawaan kamu banyak seperti ini.” Sekarang Biru mulai tampak khawatir melihat Danilla dan yang dibawanya.

“Sekarang saya sudah ngga mau tunggu lagi, Om. Maaf kalo saya membuat Om menunggu selama setahun.” Danilla memiliki pandangan yang cukup tegas. Keduanya bertatapan sesaat seolah memang sudah mengetahui pembicaraan akan kemana. 

“Saya mungkin bisa sabar, tetapi Langit tidak.” Biru menghela nafas panjang. Danilla pun merasa bersalah akan hal ini. 

“Saya minta maaf dengan ucapan saya waktu itu Danilla. Mungkin sudah belasan tahun, tapi saya ingat benar bagaimana saya begitu mengatur kamu. Kekhawatiran saya yang berlebih kepada anak saya satu-satunya. Dan, saya terlalu khawatir pada hal yang ngga perlu. Saya sadar betul, diamnya Langit malah tidak membuat saya bahagia. Dia membatin semua hal. Saya ngga tau bagaimana dia ngga pernah bisa cerita sama saya apa yang dia rasakan selama ini dalam memenuhi semua keinginan saya.” Biru tertunduk, sedih dan terhenti ucapannya karena semua tampak berat. Danilla mulai tidak tega dan berusaha menjelaskan. 

“Om sudah melakukan banyak hal yang baik buat Langit. Kalau Om ngga melarang saya menjauhi dia, mungkin dia hanya akan bergantung dengan saya dan tidak memiliki kemauan. Kalau Om tidak bersikeras membuatnya menjadi bagian Angkatan darat, dia tidak akan sebangga ini menjadi seorang kapten. Dan, mengenai keputusannya untuk tidak bertunangan, karena dia sudah dewasa. Saya yakin, hanya dia yang bisa menentukan kebahagiaannya. Walaupun mungkin bukan bersama saya.” Danilla mengatakan yang terakhir dengan terasa berat. 

“Kamu benar-benar tumbuh menjadi wanita dewasa yang baik dan bijak, Danilla. Saya yakin, itu yang almarhumah ibu kamu ajarkan buat kamu. Saya jadi semakin merasa bersalah karena telah menambah duka di atas duka kamu saat itu. Setelah saya pernah mengancam dan memperingatkan kamu waktu itu, kamu tidak menceritakan ini semua sama Langit karena ingin hubungan kami baik-baik saja. Saya benar-benar egois. Maafkan saya sekali lagi, Danilla.” Biru menatap Danilla dengan kesedihan yang baru dia lihat. 

“Saya sudah maafkan semua dan melupakannya. Saya lega Om sudah mau membicarakan hal ini sama saya. Semoga Om sehat selalu. Saya pamit ya, Om.” 

Danilla mau meminta salam kepada Biru. Tetapi Biru tidak memberikannya dan menatap tegas ke Danilla yang kini heran. 

“Jangan pergi dulu, Danilla. Karena ada satu hal yang saya ingin minta pada kamu.” 

“Apa, Om?” 

“Jangan tinggalin Langit lagi. Setahun lalu, sebelum kamu pergi. Saya akhirnya bisa liat dia bahagia di depan saya. Saya rindu melihat itu lagi.” Biru kini memohon dengan sedih dan juga senyum pada saat yang sama. Setahun yang lalu, sebelum kepergian Danilla, Biru akhirnya merestui Langit untuk kembali dengan Danilla. Tetapi Danilla pergi, bahkan memutuskan untuk tidak berkomunikasi dengan siapapun karena banyak hal yang terjadi pada dirinya belakangan ini. Termasuk lelaki yang selalu dia cintai, yaitu Langit. 

“Saya ragu Langit akan menerima dan berhak untuk dia.” 

“Saya sudah menjaga Langit, supaya menunggu Bintangnya. Karena hanya kamu yang pantas menjadi bintangnya.” Biru menyatakannya dengan yakin. Hingga membuat Danilla tersenyum. Kebodohan berikutnya yang Danilla lakukan pada Langit adalah menghilang selama setahun, untuk menenangkan dirinya. Tetapi dia kembali karena memang sudah waktunya. 

 

***

09 November 2023

 

“Bila rindu ini masih milikmu

Kuhadirkan sebuah tanya untukmu 

Harus brapa lama aku menunggumu” 

 

Lagu Chrisye yang berduet dengan Ariel tampak terdengar jelas di airpods milik Langit. Di tengah lapangan markas yang kosong, Langit berjalan membawa tasnya melewati koridor markas Angkatan darat menatap ke lapangan Latihan yang luas. Ada rasa gelisah, kesal dan sedih menunggu sesuatu yang belum pasti. 

 

Hingga kemudian, salah seorang kopral menghampirinya, memberikan hormat lalu menyodorkan sebuah kertas. Langit mencabut airpodsnya.

“Kapten, ada surat untuk Kapten.” 

Langit sempat melihat kertas surat itu yang berwarna lilac dan wajahnya begitu heran. 

“Baik, terima kasih.” 

Kopral undur diri dan pergi dari hadapannya. Langit segera membuka surat itu dan membacanya. 

“Bila rindu ini masih milikku

Kuhadirkan sebuah tanya untukmu

Apakah kamu masih mau bertemu denganku?” 

Tertanda, Danilla (Alumni SMAN 65). 

 

Langit tidak membuang waktunya dan segera pergi dari markas. Dia berlari secepat mungkin walaupun mungkin dengan kekecewaan. 

 

***

 

Pukul 16.00 WIB, bangunan sekolah SMAN 65 sudah tidak dominan warna coklat dan putih. Tetapi kini berbalut hijau yang dipadu dengan merah jambu dengan ornament kekinian. Di tengah lapangan basket, anak-anak yang melaksanakan ekskul telah berhamburan keluar karena sudah waktunya pulang. Pelatih basket dan paskibra pun membubarkan mereka yang masih ada di lapangan. 

 

Di antara anak-anak yang pulang, Langit berjalan masuk masih memakai kaos army dan bawahannya celana tentara yang biasa dipakai Latihan. Anak-anak yang berada di sekitar Langit tampak heran dan kagum melihatnya. Beberapa anak laki-laki memberikan hormat kepada Langit sambil tersenyum. Langit balas tersenyum kepada mereka. Lalu pandangannya mengitari sekitar sekolahan yang mengundang rasa rindu amat mendalam. Pandangannya sampai pada taman dekat lapangan basket. Langit mengingat percakapannya dengan Danilla. 

“Kalo aku udah jadi dokter, aku pengen deh ke sini pake seragam dokter trus ngasih Latihan sama anak-anak yang gabung UKS.” Danilla mengatakan itu dengan memakai baju seragam UKS yang seperti jas seragam dokter. 

“Kalo aku udah jadi yang aku mau, aku ingin kita berdua kencan di sini sepuluh tahun lagi dari sekarang. Kamu pake seragam dokter, dan aku juga pake stelan aku.” Langit membelai rambut Danilla dan membenarkan jas seragam dokternya. 

“Sepuluh tahun lama banget ya. Emang kita masih—” 

Langit menutup mulut Danilla dengan tangan kanannya. Danilla kaget dan langsung memukul gemas lengan Langit.

“Kita berdoa aja, semoga sampai sana. Karena aku sih udah bakalan sama kamu sampe nanti.” 

Ucapan itu membuat Langit merinding dan tersenyum dengan haru. Dia terus memandangi taman itu hingga beberapa anak UKS keluar dari ruangannya. Diikuti seorang perempuan yang ingin ditemuinya, yaitu Danilla, memakai baju seragam dokter dan dikagumi oleh anak-anak yang mengikuti UKS. Danilla mendadahi mereka yang berpamitan. 

 

Langit kini membelakanginya, diselimuti rindu sekaligus kecewa lagi pada perempuan yang terus  membuatnya menunggu. Danilla kemudian menoleh ke belakang menemukan sosok yang ingin ditemuinya. Hingga kedua tatapan mereka bertemu. Dalam beberapa detik, walaupun tidak bersentuhan tetapi mereka menikmati tatapan penuh kerinduan yang sudah tidak ada beban. Sampai kemudian, tatapan Langit berubah agak merajuk, merengut dan kesal seperti anak kecil lalu membalikkan badannya. 

“Rasa kesel aku lebih besar daripada kangen aku sama kamu.” Langit mengucapkannya dengan tidak menatap Danilla. Danilla makin merasa bersalah.

“Maafin aku, Langit. Aku egois banget sampe milih untuk gak berkomunikasi sama kamu. Karena aku ngga sanggup ngejalanin dan menghadapi dunia di mana aku malah nyakitin orang-orang. Aku ngga bermaksud kabur, tapi aku butuh pergi dari semua yang udah terjadi sama aku. Walaupun aku jadi kaya bikin pelatihan aku pelarian. Tapi aku ngerasa emang ngga seharusnya ada di sini.” 

Mendengar itu, Langit sebenarnya paham tetapi dia tetap ingin mengekspresikan perasaan kesal karena ditinggal se-lama itu.  

“Kamu tuh pergi udah kaya di drakor-drakor gitu, setahun tanpa ngabarin trus ngebiarin aku galau sepanjang waktu.” Langit akhirnya menatap Danilla. 

“Aku kan udah minta izin ke kamu, apa kamu mau tunggu aku. Walaupun aku tau itu ngga cukup. Aku minta maaf banget Langit. Kali ini aku bener-bener ngga akan kemana-mana. Kecuali kepala rumah sakit minta aku tugas lagi.” Danilla mengatakannya dengan pelan-pelan supaya Langit tidak lagi marah padanya.

“Trus aku mau lagi nungguin kamu dan dateng ke sini pula.”

“Kita kan memang pernah janjian untuk ketemu lagi di sini setelah sepuluh tahun.” 

“Kamu masih inget?” 

“Iyalah inget. Jadi, aku ngerencanain hari ini. Aku bener-bener ngasih seminar untuk murid-murid di sini bukan hanya yang UKS aja. Aku bahkan make sure sama bawahan kamu kalo kamu ngga ada jadwal setelah jam 3.” Danilla menyatakannya dengan yakin sampai Langit seakan mulai kagum dengan usaha Danilla. Tapi tetap masih merasa kesal. 

“Trus kenapa kamu tulis suratnya kaya lagu Chrisye sama Ariel?” 

“Emangnya kenapa?” 

“Karena aku lagi dengerin lagu itu waktu kopral ngasih surat itu.” 

Danilla terperangah mendengar itu dan tampak membuat semua rencananya menjadi indah. 

“Karena itu lagu yang aku sempat liat di hp kamu waktu di Bima.” 

Langit ingin tersenyum karena Danilla masih memperhatikannya dari dulu. 

“Makasih ya, kamu udah datang ke sini. Aku bener-bener takut kamu ngga mau nemuin aku lagi.” 

“Yaiya aku pasti ke sini, papa keceplosan kemarin bilang ada kabar gembira. Apalagi kalo bukan kamu. Karena cuma kamu yang aku tunggu.” Saat mendengar ini, Danilla makin merasa bersalah, tapi tidak mau sedih. 

“Aduh Om Biru, aku lupa banget ngasih tau dia jangan kasih tau kamu dulu.” 

“Biasa, papa mah kolot pikirannya.” 

“Jadi ini bukan surprise lagi, dong?”

“Surprise kok, cuma aku nunggu kapan kamu akan ajak aku ketemuan.” 

“Jadi ngga marah lagi dong?” Danilla tersenyum paling manis dan akhirnya ditampakkan di depan Langit. Langit tidak dapat menahan lagi, dia akhirnya tersenyum. 

“Pokoknya, lakuin sesuatu yang bikin aku sampe bener-bener ngga marah lagi.” 

Danilla kemudian mengeluarkan sesuatu dari tasnya, tampak kotak seperti kotak perhiasan. Tapi Langit belum melihatnya karena Danilla membelakanginya. Saat menoleh, Danilla menatap Langit sambil menggenggam kotak itu di depannya. 

“Langit, will you—” 

Langit kaget lalu menutup mulut Danilla. Danilla juga terbelalak kaget. 

“Jangan dong! Itu bagian aku. Kenapa kamu duluan sih?” 

Langit marah dengan lucu, sementara Danilla kecolongan dan mau tertawa. Dia membuka kotak itu dan tampak sebuah kalung militer dengan nama Langit. Kalung itu memiliki ukiran yang bagus di bahannya. Tertera juga nama Danilla sebagai pemberinya. 

“Aku tadi mau nembak kamu jadi pacar aku lagi.” 

Langit merasa malu dan kege-eran sendiri. Tapi dia juga terkagum dengan kalung yang Danilla berikan kepadanya. 

“Kamu boleh nanya bagian kamu kok nanti. Aku mau kok.” 

“Danilla!” 

Langit kesal sampai mau menggelitik Danilla dan mencubitnya. Tetapi Danilla berlari-larian menghindari Langit. Danilla langsung mengalihkan. 

“Kalungnya mau aku pasangin ngga?” 

Langit baru teringat juga dan berhenti mengejar Danilla.  “Aku juga punya buat kamu.” Langit mengeluarkan dari sakunya, kali ini kalung itu adalah kalung dengan liontin berbentuk bintang.  Danilla tertegun melihat itu. 

“Maafin aku waktu itu udah ngebuang kalung awan. Bahkan kamu sampe nyariin lagi.” 

“Kok kamu tau?” 

“Indy.” 

“Yaampun, Indy.” 

“Jangan dimarahin, karena dari situ aku jadi tau kalau kamu ngga mau ngebuang aku dari kehidupan kamu juga.” 

“Ya ngga lah. Waktu kamu bilang belum selesai buat kamu, itu juga belum selesai buat aku.” 

“Tuh kan, dari dulu denial banget sih! Udah, sekarang aku ganti yah, kali ini bentuknya bintang. Karena kamu akan selalu menyinari langitku yang gelap.” 

Danilla tersenyum haru kemudian keduanya saling memasangkan kalung kepada keduanya. Langit tampak kagum dengan kalung yang diberikan oleh Danilla. 

“Bagus banget kalungnya. Aku udah berasa the real army gitu.” Untuk pertama kalinya, Langit tersenyum dengan haru. Danilla ikut tersenyum.

“Kalung bintangnya juga indah banget. Makasih ya. Jadi mau ngga jadi pacar aku?” 

Langit tidak menjawabnya, tetapi dia segera mencium kening Danilla. Langit lalu memeluk Danilla dengan erat. Lengan Danilla pun segera membalasnya dan memeluk Langit dengan erat. Pelukan ini yang dia rindukan bertahun-tahun, rasanya tidak pernah berbeda dan tidak ingin dia lepaskan. 

“Ngga perlu aku jawab, kamu udah tau kan?” 

Danilla mengangguk sambil tersenyum haru di dalam pelukannya dengan Langit. 

“I love you, Bentang Langit Angkasa.” 

“I love you too, Danilla Arkaliana.” 

Mereka melepaskan pelukannya lalu saling bertatapan dengan senyum, di tengah lapangan yang sudah tidak ada siapa-siapa. Langit menggenggam tangan Danilla dan mengecupnya. Dalam pikiran keduanya, mereka tengah berada di pernikahan. Danilla memakai gaun putih panjang yang selalu diimpikannya dari kecil, dipadukan dengan tudung kepala putih dan dandanan yang minimalis. Sementara, Langit memakai baju seragam TNI AD untuk acara pernikahan, tampak tampan dan gagah. 

Keduanya saling memasangkan cincin di jari manis mereka masing-masing. Lalu Langit mengecup bibir Danilla dengan lembut dan penuh kasih. Danilla membalas kecupan Langit dengan lembut, penuh kasih dan haru. Keduanya kembali bertatapan dengan senyum paling bahagia. 

“Kami tidak pernah menyangka pertemuan kami di SMA, akan memulai kisah yang begitu dalam dan panjang. Bahkan tidak pernah selesai, sampai restu dan semesta menyatukan kami kembali. Kini, kisah kita sudah selesai.” END

Exit mobile version