Berhenti Di Kamu (Chapter 12)

Waktu bergulir cukup cepat di kota Bima, dengan kegalauan dan kebimbangan perasaan Langit dan Danilla yang tergoyahkan. Sepuluh hari menjelang kembalinya Danilla ke Jakarta, dia mendapatkan tugas untuk pergi bersama dengan Berry, Langit dan dua kopral lainnya, melakukan penyuluhan serta pengobatan untuk kota-kota di pinggiran kota Bima. Mereka yang @dak dapat pergi dan jauh dari rumah sakit, akan mendapatkan bantuan dari TNI AD berupa pengobatan keliling gra@s ini.
Dari sejak kalung awan dari Langit itu ketahuan, Danilla dan Langit belum membahasnya kembali. Siang itu, Danilla sudah menyelesaikan pemeriksaan terhadap pasien-pasien yang dikunjungi di rumahnya. Langit sudah mendung dan gelap, bahkan angin sudah menandakan akan turun hujan. Danilla segera berlari ke arah pos 1 tempat di mana Berry dan petugas lainnya berada di sana. Namun butuh sekitar 2 kilometer untuk berjalan kesana. Danilla selesai lebih cepat daripada waktu yang ditentukan di mana dia akan dijemput.
Saat menyusuri rumah warga dengan adanya perkebunan dan pepohonan yang lebat di sana, Danilla memilah milih jalan yang aman untuk dirinya. Hingga, gerimis pun turun dan jadilah hujan mulai turun. Danilla terus berlari di tengah perkebunan sambil menutupi kepalanya dengan tasnya sendiri. Tak lama, sebuah suara memanggil dia dari kejauhan. “Danilla!” Suara itu adalah suara Langit. Danilla sempat menoleh ke belakang tetapi Langit belum kelihatan dan air hujan makin lebat. Danilla terus berlari untuk menuju perumahan yang sudah kelihatan samar-samar di depan. Namun, saat mulai tergesa, Danilla @dak melihat ada turunan jalanan yang berbatu sehingga Danilla terjatuh karena tersandung. Saat itu, ada yang memayungi dan menarik tangannya dengan pelan untuk bisa bangun.
“ada yang sakit, ngga?” Danilla melongok ke arah orang yang menarik tangannya dan Langit sudah berada di sana membawa payung. Danilla segera bangun perlahan dengan bantuan dari Langit.
“Ngga apa-apa kok.”
“Kamu kenapa ngga tunggu aku di rumah yang tadi?”

“Aku pikir karena mau hujan, aku bisa pulang duluan.”
“Kan bisa sabar dikit, Dan. Liat, kamu jadi jatuh dan basah, kan?” Nada bicara Langit kini agak meninggi tapi ada rasa khawa@r berlebih. Namun, Danilla masih belum menerimanya. “aku ngga apa-apa kok, aku bisa sendiri. Aku ngga mau ngerepo@n.” Saat Danilla berucap tentang itu, dia malah kembali keseleo dan hampir jatuh. Langit dengan tangkas langsung menahan Danilla dengan tangannya.
“Kamu ngga ngerepo@n, tapi keras kepala banget!” Langit menggandeng Danilla sambil membawa payung. Danilla hanya bisa menerima kenyataan itu dengan cemberut.
“Kita duduk dulu di sana.”
“Tapi Lang, udah setengah jalan.”
“Ngga, kita tetep kesana!”
Danilla merengut dan akhirnya nurut ke Langit yang membawanya ke salah satu halaman rumah yang kosong. Mereka berdua duduk di tembok rendah yang sudah terkikis. Langit melihat kaki Danilla yang digerak-gerakan olehnya.
“Masih kerasa sakit ga?”
“Ngga kok, cuma lecet aja di bagian mata kaki.”
“Yang tadi keseleo gimana?”
“Ngga apa-apa Lang. Kaget aja tadi tuh.”
“Makanya nurut! Jangan keras kepala.” Langit kini mengubah nada @ngginya dengan cemberut karena khawa@r. Saat Danilla membersihkan bajunya yang terkena rerumputan, Langit juga turut membantunya. Danilla sempat terdiam namun @dak mau berantem. “Pasien anak yang kakinya keseleo itu gimana? Tadi aku denger suara nangisnya heboh banget.” Langit merasa Danilla @dak nyaman dengan nadanya yang @nggi tadi. Dia berusaha mengalihkan karena dia juga merasa penasaran.
“Dia itu sebenernya kram aja, cuma saking takutnya ngga mau bergerak. Ibunya ngga nger@ dia kenapa, malah dimarahin.”
“Trus makin nangis dong?”
“Iya, akhirnya aku keluarin minyak kayu pu@h dan urut dia pelan-pelan. Ngga beberapa de@k, langsung enakan. Wah, aku belum pernah liat anak se-lega dan se-bahagia itu karena lolos dari kram!” Danilla tersenyum sambil memandangi hujan dengan cerita serunya. Langit hanya bisa memandangi dan ikut tersenyum @pis.
“Tapi kok, dari situ kamu agak lama ngga keluar sih?”

“Sebenernya bukan anaknya aja yang sakit, tapi ibunya juga. Ibunya sakit kepala berturut- turut selama @ga hari. Aku khawa@r dia migran atau ver@go. Tapi anaknya bilang, karena suaminya ngga pulang dari pelayaran udah dua minggu, ibunya jadi jarang makan.” Danilla kali itu mulai terlihat sedih dan memelankan suaranya. Langit memperha@kannya dengan sendu.
“Ibunya bilang, gimana bisa makan, bapak mungkin tenggelam, atau terkapar entah di mana dan ngga bisa makan. Ibunya mau cari, tapi gak tau kemana.”
“Trus apa yang kamu bilang sama ibunya biar bisa makan trus minum obat?”
“Memang ngga ada yang tau bagaimana keadaan bapak, tapi bukannya bapak akan lebih sedih kalo nan@ pulang, ibu sudah @dak seper@ biasanya. Anak-anak juga masih membutuhkan ibu, yang dikuatkan adalah mereka juga. Aku jadi nginget lagi gimana ibu dulu di@nggalin bapak, sedangkan aku masih kecil untuk tau perasaan ibu.” Danilla mulai terbawa suasana, matanya terasa berat dan air matanya akhirnya jatuh. Langit pun ikut terbawa suasana yang begitu sendu dengan Danilla. Dia seakan teringat betapa sedihnya Danilla di@nggal oleh ibunya. Langit akhirnya mendekap Danilla ke pelukannya. Dalam beberapa de@k, Danilla pun membiarkan dirinya merasakan kerinduan yang ternyata begitu besar terhadap mantan kekasihnya itu. Namun, tak lama dia pun sadar kalau baik perasaan Langit dan dia masih terpaut dengan seseorang. Danilla perlahan melepaskan pelukannya dan memilih untuk menyatakan permintaan maafnya. Langit merasa bingung melihat ekspresi Danilla saat itu.
“Aku mau minta maaf sama kamu, karena aku masih merasa bersalah ninggalin kamu waktu itu. Aku ngga punya pilihan lain, selain mengejar mimpi aku sendiri. Aku bener-bener minta maaf kalo kamu juga jadi susah saat itu karena aku. Kamu mau kan, maafin aku?” Danilla berkata dengan nada yang benar-benar bersalah namun dia merasa hal itu harus dibicarakan pada Langit. Langit pun tertegun bahkan kehabisan kata-katanya. Hingga beberapa de@k berlalu dan Langit pun bertanya.
“Apa cuma karena mimpi itu aja yang bikin kamu waktu itu mutusin aku? Kenapa butuh waktu lebih dari sepuluh tahun untuk bilang maaf, Dan?”
“Mungkin aku jadi ngga bersikap dewasa tentang hal ini, aku malah menghindar dari kamu dan apapun usaha kamu menghubungi aku waktu itu. Tapi aku bener-bener ingin bisa fokus pada satu yang bikin aku juga ngga sedih karena mikirin almarhumah ibu. Maafin aku Lang, aku harus ngindarin kamu waktu itu.”

Langit tampak masih menata perasaannya dan terdiam memikirkan perkataan Danilla. Sementara, hujan perlahan mereda. Danilla melihat jam tangannya dan ingin segera beranjak karena banyak yang akan dikerjakan.
“Kamu ngga harus jawab sekarang, sebaiknya kita balik ke pos 1 hujannya udah reda. Pas@ banyak yang nunggu kita.” Danilla berdiri lalu mau beranjak pergi, namun Langit menahan tangan Danilla hingga Danilla menoleh.
“Aku akan maafin kamu, kalo kamu minta aku berhen@!”
“Maksud kamu apa?”
“Aku ngga akan tunangan sama Chelsea, kalo kamu minta aku berhen@ untuk kembali sama aku.”
“Lang, kamu ngga boleh ngomong gitu, gimana perasaan Chelsea?”
“Aku ngga peduli, aku cuma peduli sama perasaan aku yang selalu berhen@ di kamu!” Kali ini Langit benar-benar tegas, seper@ saat dia mencoba mempertahankan perasaannya pada Danilla. Danilla masih bingung dengan apa yang dikatakan Langit.
“Ngga Lang, ini ngga bisa sesederhana itu!”
“Kenapa? Karena pacar kamu?” Langit mulai menunjukkan kecemburuannya dengan Danilla. Sementara, Danilla kaget dengan pertanyaan Langit yang entah darimana dia mengetahui faktanya.
“Sejak kamu datang lagi ke kehidupan aku, aku masih yakin perasaan aku masih sama kamu kaya waktu dulu. Memang belum pernah selesai, Dan. Kamu juga ngerasain hal yang sama, kan?” Mendengar perkataan Langit seper@ itu, Danilla jadi merasa kecewa dan bingung. “Seharusnya aku ngga pernah datang lagi ke kehidupan kamu, Lang! Aku ngga mau kamu jadi kaya gini.”
“Trus kalung itu, kenapa kamu simpen?”
Danilla merasa makin bersalah lalu mengambil kalung itu dari tasnya. Dia mengembalikan itu ke tangan kanan Langit.
“Aku ngga mau kamu berubah, apalagi nyaki@n orang lain. Sekarang aku kembaliin lagi ke kamu. Karena aku ngerasa, ini udah harus diselesaikan. Makasih Langit, buat semuanya.” Danilla kemudian berlalu di hadapan Langit yang masih tertegun merasa berat dengan perkataannya sendiri.
“Maafin aku, Dan. Tapi aku ngga bisa hidup dengan cinta yang terpaksa.”