Langit senja telah tiba dan matahari tenggelam tampak dari atas rumah sakit TNI AD. Danilla dan Indy bertemu di depan rumah sakit. Indy tampak lebih lelah dari biasanya dan melakukan stretching terus. Danilla memberikan perhatiannya dengan memijat pundak Indy.
“Kasian amat sahabat gue sampe seharian di rumah sakit.”
“Makasih lho, lebih kesian Berry. Langsung ngacir ke mess.”
“Ahahaha, sekarang udah mulai betah yaa.” Danilla membicarakan Berry dengan nada agak nyinyir tapi becanda. Indy menanggapinya dengan mengangguk dan tertawa kecil. Kemudian, Indy teringat sesuatu yang ingin dia tanyakan dari lama pada Danilla.
“Eh, Fikar udah ngehubungin lo? Kayanya gue udah lama ngga denger lo telponan?”
“Baru aja tadi sore video call gue.” Danilla mulai menyiratkan wajahnya yang agak bingung.
“Lama banget gak video call sama lo. Tapi lo kok kaya gak seneng?” Indy tampak curiga sambil menghentikan langkahnya. Tapi Danilla jalan terus tidak memedulikan Indy.
“Tiba-tiba dia panggil gue dengan sebutan sayang. Ya, itu suka dipake juga. Cuma ini tuh di setiap kalimat ada gitu. Lama-lama gue geli jadinya. Kaya ngga biasa aja.”
“Hmm, padahal dia yang bikin sebutan ‘by’ buat lo, tapi kok tiba-tiba ngerubah sendiri ya? Aneh sih, Dan.” Indy seperti berpikir dan beranggapan dengan pikirannya sendiri yang mulai bercabang kemana-mana. Tetapi Danilla menganggap itu semua biasa saja.
“Yaudahlah biarin aja, yang penting dia sehat-sehat aja.”
“Perasaan lo sendiri sehat ga?”
“Maksud lo?”
“Gue belum sempet nanya tentang perasaan lo setelah tau Chelsea itu calon tunangannya Langit.” Kali ini ucapan Inggit membuat Danilla benar-benar tertegun dan memelankan langkahnya. Danilla hendak mengungkapkan perasaannya, tetapi terdengar suara dari arah perkebunan di tengah perjalanan mereka yang mulai terasa dekat. Mereka berdua merasa ada beberapa derap langkah yang cukup keras dan nafas tersengal pun mulai terdengar.
Tak lama, Langit dan satu kopralnya menggandeng satu kopral yang terluka. Wajah Langit terlihat sangat lega melihat Danilla dan Indy yang berpapasan dengan mereka di sana. Danilla khawatir melihat kaki kopral yang terkilir dan mengeluarkan darah yang cukup banyak. Belum Danilla sempat bertanya, Langit sudah menyambar dengan khawatir.
“Dokter, tolong kopral saya terkena perangkap pohon. Kakinya terbeset oleh ranting. Darahnya tidak berhenti dari tadi.” Langit menatap Danilla dan kadang bergantian ke Indy dengan wajah yang amat khawatir.
“Oke, kita sama-sama bawa ke rumah sakit ya. Dokter Indy, saya minta tolong panggilkan beberapa petugas IGD untuk segera membawa tandu dan stand by di depan gerbang .”
“Oke Dan, sebentar ya.” Indy segera berlari kembali ke rumah sakit. Sementara, Langit dibantu oleh Danilla membawa kopral dengan sigap. Danilla dapat melihat kekhawatiran Langit yang tidak biasanya. Dia pasti merasa kalau tidak dapat menangani anak buahnya dengan baik.
“Semua akan baik-baik aja, Kapten. Ini ngga terlambat kok.”
Ketika mendengar itu dari Danilla, Langit tampak dapat bernafas lega dan menatap Danilla dengan mengangguk.
***
Langit menunggu di ruang tunggu pasien, tampak tidak mau diam dan terus mondar-mandir karena khawatir. Kemudian, Danilla keluar dari salah satu ruang rawat. Langit menghampiri Danilla sebelum Danilla sampai di tempatnya.
“Gimana Kopral Dimas, Dok?”
“Lukanya cukup dalam, kami langsung menjahitnya. Karena kehilangan banyak darah, kopral lemas dan sekarang sudah tidur. Butuh beberapa hari sampai lukanya kering. Karena tidak boleh kena air atau terguncang dengan aktifitas berat.”
“Syukurlah. Tapi tidak sampai patah tulang kan, dok?”
“Ngga kok, kapten. Hanya luka jahitannya cukup banyak dan butuh waktu untuk kembali beraktivitas.”
Mendengar hal itu dari Danilla, Langit tampak merasa kecewa.
“Kalau boleh tau, kenapa sampai kopral Dimas seperti itu, kapten?”
“Kami ada perjalanan ke hutan dan melakukan pelatihan. Kami sudah sangat berhati-hati untuk tidak menginjak batas hutan warga Bima. Saat itu, ada warga yang mengecoh kami dan saya turun tangan untuk menangani. Namun, Dimas sadar kalau adanya perangkap hutan yang sudah dipasang. Dia melindungi saya, dan kaki kanannya terbeset oleh tali ranting pohon. Hingga darahnya bercucuran saat dia tergantung di atas.” Langit tampak sudah sangat menyalahkan dirinya dan menutup mukanya. Danilla yang mendengar cerita itu pun prihatin, namun dia tidak bisa sama dengan Langit.
“Kopral Dimas melindungi kapten karena kapten adalah orang yang bertanggung jawab dan sudah berani membela anak buahnya. Jadi, kapten tidak salah. Semua baik-baik saja, kapt.” Danilla menatap Langit yang sedang kalut.
“Hal seperti ini yang kadang tidak sanggup saya tangani, Dan. Ternyata setelah dijalani beberapa kali, saya tetap mengalami mental breakdown seperti ini.”
“Tidak apa-apa untuk memiliki perasaan seperti itu, kapt. Berarti kamu masih sangat peka dengan keadaan dan perasaan orang lain. Yang kamu harus latih, adalah supaya anak buah kamu tidak tau itu.”
“Saya juga ngga pernah menginginkan mereka tau. Karena saya tau tanggung jawab saya sekarang besar.” Langit tampak tetap tegar dan mencoba kuat.
“Kalo gitu, kamu harus sering-sering mengungkapkan perasaan kamu seperti ini pada orang terdekat. Jadi, ketika hal ini akan ada lagi, bebannya terbagi. Bukan buat kamu saja. Menjadi kapten juga bukan jadi sendirian, tapi masih banyak yang perhatian bahkan melindungi kamu.” Kata-kata Danilla saat itu benar-benar membuat Langit menarik nafas dalam, seketika beberapa persen besar bebannya luruh.
Kemudian, selang beberapa detik, Danilla meraih tangan Langit seketika, masuk ke dalam ruang rawat. Langit bingung tetapi kali ini benar-benar menurut saja. Danilla hanya menarik pergelangan Langit dengan lembut dan membuat Langit hanya ingin terdiam. Danilla menunjuk salah satu tempat duduk di sebelah meja suster.
“Duduk di situ.”
“Ada apa?” Langit kian bingung. Danilla mengambil sekotak P3K besar dan meletakkannya di atas meja. Danilla kemudian menggeser lengan kiri Langit.
“Bener kata Indy, tanggung jawab itu memang ada, tapi termasuk sama diri sendiri. Nih, lihat lengan kamu tergores sepanjang ini ngga kerasa sakit, Lang?”
Langit baru sadar kalau ada luka goresan yang bahkan darahnya sudah mengering. Saat Danilla menempelkan kapas dengan alcohol, baru terasa perih dan Langit mengaduh.
“Jadi, jangan sampai mengkhawatirkan orang lain, tapi kamu sendiri ngga. Padahal kamu juga mengurus orang lain.” Danilla dengan pelan-pelan mengobati luka Langit. Seketika, waktu berhenti bagi Langit untuk akhirnya bisa melihat wajah mantan kekasihnya yang membuat dia tenang. Ada rasa rindu yang sangat menggelitik Langit saat itu. Langit seakan tidak sabar untuk bertanya tentang masa lalu.
“Dan, apa waktu itu kamu ngga berbagi beban sama aku?” Danilla mendongak agak kaget ke wajah Langit yang memang sudah membahas masa lalu.
“Waktu itu?”
“Waktu kamu putusin aku, apa ada beban yang ngga bisa kamu bagikan sama aku?” Pertanyaan Langit seakan cukup menghunus hati Danilla. Namun ada lega di mana Langit ternyata memang belum tau kalau semua ini karena bapaknya. Danilla benar-benar terdiam. Hingga Langit meraih kedua tangan Danilla dan menggenggamnya dengan erat.
“Kenapa waktu itu kamu pergi begitu aja?”