Bayangan

Langit sore itu tampak cerah. Ben keluar dari kamar kosnyasambil membawa helm berwarna hitam. Lalu dia memanaskanmotor vespa kesayangannya yang berada di parkiran gedung kosan berlantai tiga itu.

Mau ke mana lu, Ben?” Lexy, teman kos Ben yang sedang merokok menyapa Ben dari balkon kamarnya yang berada di lantai dua. “Tumben amat lu sore-sore udah keluar kamar.Biasanya masih di depan laptop.

Gue mau cari kontrakan. Bulan depan kan sewa kos gue habis,seru Ben sambil memakai helm. “Lu mau ikut nggak, Lex?Anggap aja jalan-jalan sore...

Males, ah. Kerjaan gue masih banyak.”

Oke deh

Emang lu mau cari kontrakan di mana? Di daerah sini juga atauke pinggir Jakarta sana?”

Kayaknya masih di daerah sini sih, Lex. Paling gampang aksesnya kalo perlu ke kantor.”

Coba cari di kompleks Taman Permata Golf situ aja, Ben,usulLexy. Setau gue di situ banyak rumah yang disewain. Kalo di perkampungan agak susah nyari kontrakan. Penuh terus.

Boleh juga tuh. Gue coba ke sana dulu deh,” ucap Ben. “Makasih ya, Lex.”

“Sip, bro…”

Ben pun membawa vespa kesayangannya pergi menuju kompleks yang terletak tidak jauh dari kosannya itu.

Sebenarnya Ben masih betah tinggal di kosan yang sudahmenjadi tempat tinggalnya sejak dia merantau ke Jakarta 4 tahun lalu. Tapi karena semenjak pandemi Ben harus lebih banyak bekerja dari rumah, dia merasa kosannya tidak nyaman untuk dijadikan tempat bekerja. Kamarnya terlalu sempit kalau ditambah sebuah meja kerja, jadi dia harus bekerja menggunakan meja lipat kecil di atas tempat tidur. Dia juga harus menahan malu saat zoom meeting dan terdengar suara anak-anak yang berlari sambil teriak-teriak dari gang kecil di samping kosannya. Oleh karena itu Ben memutuskan untuk mencari rumah kontrakan yang lebih besar sedikit dari kamar kosnya sekarang.

Ben pun iseng mengelilingi satu per satu blok di Taman Permata Golf. Siapa tahu di situ ada rumah yang dikontrakkan seperti yang dikatakan Lexy. Tapi, saat melihat rumah-rumah di sanayang berukuran besar dan tampak mewah, Ben tidak yakin bisa menemukan rumah kontrakan yang cocok untuknya di kompleks itu. Terutama dari segi harga.

Mungkin gue harus cari di kompleks lain, ujar Ben sambil memutar balik vespanya. Kalo ngontrak rumah sebesar ini, tabungan gue nggak cukup.

Saat Ben memutuskan untuk pergi meninggalkan kompleks, seorang pria paruh baya yang sedang duduk di pos satpam melambaikan tangan ke arah Ben. Pria yang memakai kaus dan celana  hitam itu berkulit cokelat gelap, sementara rambut di kepala dan wajahnya berwarna putih. Awalnya Ben ragu karena pria itu tidak memakai seragam satpam, tapi karena pria itu tersenyum ramah, Ben pun membawa vespanya mendekat.

“Cari siapa, Dek?” tanya pria tua itu. “Kayaknya saya lihat kamu dari tadi muter-muter di sekitar sini.”

Saya lagi cari kontrakan, Pak,” jelas Ben sambil tersenyum.“Makanya saya keliling kompleks.”

Oh…” Si pria tua mengulurkan tangan. “Kenalin. Saya Salman.Warga di sini.

Ben pun menjabat tangan Salman. Saya Ben, Pak.

Setelah berkenalan, Ben mematikan mesin vespanya lalu duduk di samping Salman.

“Bapak udah lama tinggal di sini?” tanya Ben basa-basi.

“Udah… Salman mencoba mengingat, “lima belas tahun, kayaknya.”

“Lama juga ya…”

Kamu lagi cari rumah yang kayak gimana, Ben? Biar saya bantu tanya di grup warga kompleks.

Yang kecil aja, Pak. Soalnya buat saya tinggal sendiri. Tapi kalo bisa dua kamar supaya kamar yang kedua bisa jadi ruang kerja saya. Semenjak pandemi saya ke kantor cuma seminggu sekali. Sisanya WFH.

“Kebetulan!” seru Salman tiba-tiba, membuat Ben sedikit terlonjak dari kursinya.

“Kebetulan kenapa, Pak?” tanya Ben, sedikit bingung.

“Saya sebenarnya punya dua rumah di sini. Yang rumah kedua itu kosong dan kayaknya sesuai sama yang kamu mau.” Salman menatap mata Ben. “Kamu mau liat rumahnya?”

Seperti terhipnotis tatapan Salman, Ben mengangguk setuju. Mereka pun pergi meninggalkan pos satpam menuju rumah kedua Salman.

***

Rumah utama Salman terletak tidak jauh dari gerbang kompleks. Sementara letak rumah keduanya berada di belakang rumah utama Salman dan hanya bisa diakses dari jalan kecil di samping rumah utama Salman, makanya rumah kedua Salman tidak terlihat dari jalan utama. Rumah yang bergaya minimalis itu memiliki ukuran yang cukup luas dan terdiri dari dua lantai dengan satu kamar di setiap lantainya. Ben bisa menggunakan kamar di lantai 1 sebagai ruang kerja, dan kamar di lantai 2 bisa dia gunakan untuk istirahat. Furniturnya juga lengkapdisewakan, jadi Ben hanya perlu membawa pakaian saja.

“Gimana? Cocok kan sama yang kamu mau, Ben?” tanya Salman ke Ben setelah mereka selesai melihat rumah keduanya.

“Cocok, Pak,” jawab Ben sambil mengangguk. “Harga sewa per tahunnya berapa, Pak?”

Ben sedikit skeptis karena dia yakin harga sewa rumah itu pasti mahal. Tapi saat Salman menyebut harga sewa rumah itu per tahunnya hanya sepertiga lebih mahal dari harga sewa per tahun kosannya, Ben pun memutuskan untuk mengontrak rumah kedua Salman itu.

***

Keesokan harinya, Ben kembali menemui Salman untuk menandatangi kontrak sewa rumah dan membayar uang sewanya selama setahun.

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam.

Setelah memastikan jumlah angka nol yang dia tekan sudah benar, Ben memencet tombol OK di aplikasi mobile banking di ponselnya, kemudian dia mengembuskan napas panjang. Ben lega karena akhirnya dia bisa mengontrak rumah seperti yang dia inginkan.

Dan, setelah seminggu pindah, Ben tidak menyesali keputusannya menyewa rumah kedua Salman. Dia merasa nyaman tinggal di rumah itu meski rumah itu sudah setahun kosong. Dia juga jadi lebih fokus saat bekerja di rumah itu karena tidak ada suara tetangga yang mengganggu.

Sampai suatu hari Ben harus menggunakan kamar mandi di lantai satu.

Semenjak pindah ke rumah kontrakan barunya itu, Ben lebih sering menggunakan kamar mandi di lantai dua yang berada di samping kamarnya. Tapi sore itu saat Ben sedang membuat teh di dapur, tiba-tiba perutnya sakit. Ben akhirnya masuk ke kamar mandi yang letaknya di samping dapur.

Kamar mandi di lantai satu itu sebenarnya bersih dan luas. Tapi saat masuk ke dalammya, ada satu hal yang membuat Ben tidak nyaman, yaitu pintu geser yang terbuat dari kaca buram dan menutupi area mandi. Pintu kaca itu membuat Ben merasa sesak. Namun Ben mencoba melupakan rasa tidak nyamannya dan mendekat ke toilet yang berhadapan dengan pintu kaca.

Tetapi, belum sempat Ben membuka kancing celananya, dia melihat bayangan di balik kaca buram di depannya. Bayangan anak kecil, mungkin sekitar lima tahun, berdiri berhadapan dengan Ben.

Jantung Ben berdetak sangat kencang karena dia yakin hanya dia yang berada di rumah itu. Dan tidak ada anak kecil di situ.

Dengan tangan gemetar Ben mengarahkan tangannya ke pintu kaca di depannya…

Dan… anak kecil itu… juga melakukan hal yang sama…

Rasa sakit di perut Ben mendadak hilang. Dia bergegas keluar kamar mandi dan kembali masuk ke dalam ruang kerjanya.Jantungnya berdebar sangat kencang sementara wajahnya pucat.

Melihat ponselnya di meja kerja, Ben segera menghubungi Lexy. Saat teleponnya diterima, Ben langsung bicara sebelum Lexy sempat bilang ‘halo’.

“Lex, lo bisa ke sini sekarang?” tanya Ben dengan suara gemetardan tergesa-gesa.

Ke mana?” tanya Lexy bingung.

Ke rumah kontrakan gue.”

Emang sebagus apa sih kontrakan lo sampe gue harus cepet-cepet ke sana?” ledek Lexy. Kan gue udah bilang, gue bakal ke kontrakan lu hari Sabtu nanti. Abis kerjaan gue beres.

“Sekarang aja, Lex!” desak Ben.

Lo kenapa sih? Kok kayak panik gitu?” Lexy terdiam sebentar, lalu dia kembali meledek Ben. Lo takut karena ada hantu kan?”

“Iyaaaa!” seru Ben pelan sambil melirik was-was ke arah pintu.

Lexy kembali diam sebelum tertawa geli. “Ya elah, Ben. Sore-sore gini belum waktunya setan keluar.”

“Gue serius, Lex. Di kamar mandi ada anak kecil!

Coba lo rekam pake hape lo terus lo kirim videonya ke gue.

“Beneran lo ya!”

Lexy kembali tertawa geli sebelum Ben memutus teleponnya.

Dengan jantung masih berdebar kencang Ben kembali ke kamar mandi. Dia akan buktikan ke Lexy kalau dia tidak sedang bercanda. Tapi… tidak ada bayangan apa pun di pintu kaca. Ben pun memberanikan diri untuk membuka pintu kaca. Dan… kosong! Tidak ada siapa pun di balik pintu kaca. Area mandi itu kosong dan kering.

Ben akhirnya kembali menutup pintu kaca, tapi karena kakinya terasa lemas, dia duduk di bangku toilet. Ben mencoba menenangkan dirinya. Mungkin bayangan yang dia lihat itu hanya halusinasi karena terlalu stres bekerja.

Namundi saat yang sama bayangan itu kembali muncul di balik pintu kaca.

Dengan tangan gemetar Ben mencoba merekam video bayangan di depannya untuk membuat Lexy percaya, tapi tidak ada bayangan apa pun yang tertangkap di kamera ponsel Ben. Ben pun semakin ketakutan sementara bayangan di balik kaca semakin membesar dan mendekat ke pintu.

Lalu… Pintu kaca itu perlahan terbuka… dan seorang anak perempuan kecil berwajah pucat dengan mata hitam pekatterlihat menangis sekaligus tersenyum ke arah Ben.

Ben pun teriak ketakutan hingga tidak sadarkan diri.

***

Ben kemudian terbangun, tapi yang dia lihat bukan langit-langit kamar mandi di rumah kontrakannya, melainkan langit-langit kamar kos Lexy.

Lu nggak papa, Ben?” tanya Lexy saat Ben perlahan bangun dan duduk di tempat tidurnya.Lu nggak lupa ingatan, kan?”

“Kok… gue di sini, Lex?” tanya Ben bingung. Kemudian dia teringat sosok anak perempuan yang dilihatnya dan kembali ketakutan.Tadi… di kamar mandi…”

“Ben…” Lexy memotong Ben. Wajahnya terlihat serius. “Lu jangan balik lagi ke rumah itu ya. Semua barang lu udah gue bawa dan ada di kamar kos lu yang dulu. Ibu kos bilang lu bisa tinggal lagi di situ sementara lu cari rumah kontrakan baru.

“Emang kenapa?” Ben menatap Lexy dan wajahnya mendadak pucat. “Rumah itu ada hantunya, kan?”

Lexy terdiam sebentar, sebelum akhirnya dia bercerita.

“Tadi gue coba telepon hape lu, tapi nggak diangkat. Terus akhirnya gue pergi cari kontrakan lu, tapi nggak ketemu. Akhirnya gue tanya satpam, dan satpamnya itu malah pucet pas gue kasih tau alamat kontrakan lu.”

Jantung Ben berdebar kencang. “Kenapa…?”

“Rumah itu… terbakar setahun yang lalu. Rumah yang lu kontrak itu bangunan sisa kebakaran.

“Nggak mungkin…” Ben menggelengkan kepala. “Itu rumahkayak rumah baru, Lex. Furniturnya juga masih bagus semuawalaupun udah setahun kosong.”

Lexy tidak menjawab dan malah memberikan ponselnya ke Ben. Di layar ponsel, Ben melihat foto rumah kontrakan Ben yang diambil Lexy. Bangunan itu gelap dan dindingnya bernoda hitam karena asap api.

“Nggak mungkin…” Ben kembali menggelengkan kepala. Dia masih tidak percaya. “Terus, Salman itu siapa? Apa dia hipnotis gue makanya gue mau nyewa rumah dia?”

Salman itu pemilik rumah itu, tapi dia meninggal nggak lama setelah rumah keduanya yang ditempati sama anak dan cucunya itu kebakaran,” ucap Lexy. “Satpam cerita kalau Salman itu  sakit dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Makanya pas rumah keduanya kebakaran karena korsleting listrik, dia nggak bisa melakukan apa-apa buat menyelamatkan cucu perempuannya yang lagi sembunyi di kamar mandi. Itu emang kebiasaan cucunya, sembunyi di balik pintu kaca kamar mandibuat kasih kejutan ke orangtuanya pas mereka masuk kamar mandi setelah pulang kerja.”

Ben terdiam, sementara wajahnya semakin pucat. Dia terus terbayang dengan Salman dan wajah si anak perempuan.

***

Beberapa hari kemudian, Ben kembali ke rumah kontrakannya. Yang dilihat matanya bukan lagi rumah minimalis yang beberapa minggu ini menjadi tempat tinggalnya. Yang dilihat matanya kini hanya bangunan terbengkalai. Ben kemudian masuk ke ruang kerja, lalu membuka laci meja tempat dia menaruh surat kontrak rumah dengan Salman. Hanya ada daun dengan tanda tangannya di situ. Tidak ada kontrak kerja. Uang di rekeningnya juga tetap sama. Tidak berkurang.

Ben lalu pergi ke kamar mandi di lantai satu, lalu menaruh sebuah boneka dan sebatang cokelat. Ben berharap anak perempuan kecil yang terjebak di kamar mandi itu bisa pergi dengan tenang.

Saat Ben berbalik pergi, bayangan di pintu kaca pun kembali muncul, lalu melambaikan tangannya ke arah Ben yang menutup rapat pintu kamar mandi.