Di hari Minggu yang cukup cerah ini gue mau ajak kalian overthinking sebelum menghadapi kemacetan di jalan besok.
Kalian pernah nggak sih dengar suara seseorang memanggil nama kalian, tapi pas kalian menoleh ke arah sumber suara itu, nggak ada orang di sana?
Bagaimana kalau ternyata… setiap kali kalian mendengar nama kalian dipanggil oleh seseorang dan orangnya nggak ada… itu artinya kalian sebenarnya sedang koma dan suara orang yang memanggil nama kalian adalah suara keluarga atau orang yang sayang sama kalian, dan mereka memanggil nama kalian untuk membangunkan kalian dari koma?
Ini mungkin terdengar nggak masuk akal, tapi secara teori, kita sebenarnya bisa hidup di dalam kondisi koma. Tapi, kita nggak akan tahu apakah kita sedang menjalani kehidupan kita yang sebenarnya atau kehidupan di dalam koma. Itu karena otak kita akan melakukan apa pun yang dia bisa untuk membuat kita tetap hidup. Jadi, di dalam kondisi koma, otak kita akan berperilaku seakan-akan kita sedang hidup. Dan otak kita hanya akan ‘menyalakan’ hal-hal yang membuat kita bahagia, dan salah satunya adalah ‘hidup’.
Tapi… Kalau teori di atas masuk akal dan mungkin terjadi, maka dengan prinsip yang sama, apakah ketika kita mati itu artinya kita terbangun dari koma di kehidupan yang sebenarnya?
Silakan dipikirkan jawabannya.
Sambil mencari jawaban gue sendiri, gue akan menutup blog hari ini dengan sebuah quote tentang kematian yang gue baca beberapa hari lalu di Twitter, dan menjadi inspirasi pertanyaan gue tadi.
“I hope death is like being carried to your bedroom when you were a child, and falling asleep on the couch during a family party. I hope you can hear the laughter from the next room.”
Yang artinya, “Aku harap kematian itu seperti sedang digendong ke kamarmu ketika kamu kecil, dan kamu tertidur di sofa saatada acara keluarga. Aku harap kamu bisa mendengar suara tawa dari ruang sebelah.”