Aku Tau Itu Rindu (Chapter 6)

Pagi itu merupakan hari kedua untuk Danilla, Indy dan Berry berada di kota Bima akhirnya tiba. Ketiganya berada di mobil jeep milik TNI AD yang siap mengantar mereka ke rumah sakit. Danilla tampak lebih segar daripada yang lainnya, tetapi kopi hitam tanpa gula yang dibawanya sudah habis setengah. Sementara Indy dan Berry berusaha dengan keras mengabaikan rasa kantuknya di antara tidak stabilnya jalanan kota Bima. 

“Lo berdua pada bisa tidur ga sih? Gue cuma dapet tiga jam pas malem, udah gitu lanjut lagi dua jam. Ga enak banget.” Berry tampak kesal sendiri dengan keadaannya. 

“Sama sih, gue juga kebangun beberapa kali. Tuh, Danilla tidurnya nyenyak kayanya. Kok bisa sih Dan?” Indy melihat ke Danilla diikuti oleh Berry yang penasaran. 

“Justru gue ngga bisa tidur sama sekali sampe lo kebangun, Ndy. Gue berasa bodoh banget, ga tau apa yang gue pikirin.” Danilla tetap menatap ke jendela dan sedikit berharap orang-orang TNI AD yang membawanya adalah Langit. Tetapi dari pagi mereka berangkat ke rumah sakit, Langit tidak menunjukkan batang hidungnya sama sekali.

 

Hingga, tibalah mereka bertiga di rumah sakit TNI AD yang baru saja selesai dibangun dan belum diresmikan. Beberapa bagian masih dalam tahap finishing. Tetapi beberapa pasien sudah didatangkan karena penyakit demam sedang mewabah beberapa minggu ini. Tenaga medis terbatas dan di antaranya masih melakukan Latihan keperawatan. Danilla, Indy dan Berry disambut oleh kepala rumah sakit, Mayor Jenderal Umar,  yang didampingi oleh Langit dan kedua kopralnya. Setelah perkenalan, mereka membawa ketiga sahabat itu tur singkat di rumah sakit dan memperkenalkan pada dokter dan perawat tetap yang akan bekerja disana. 

“Maklum ya dokter Danilla, rumah sakit ini masih menunggu beberapa peralatan dokter dan perawat datang dari pusat medis. Saya harap anda bertiga dapat membantu memberikan pelatihan yang intensif.” Kepala rumah sakit menjelaskan dengan seksama.

“Saya bisa maklum pak, untuk mempersingkat waktu, izinkan saya dan teman-teman untuk mulai pelatihan dengan langsung memeriksa pasien terjangkit DBD.” Danilla menjawab itu sambil mulai melihat chart pasien.

“Silakan, sekali lagi terima kasih atas kedatangannya.” Kepala rumah sakit mempersilakan ketiganya masuk ke ruang IGD. Mereka bertiga mengangguk sambil tersenyum. 

 

Danilla, Indy dan Berry masing-masing memeriksa dan memberikan pelatihan untuk tenaga medis perawat disana. Beberapa anggota TNI AD yang dipimpin Langit, tampak mengangkut keperluan rumah sakit yang baru saja tiba dan beberapa lainnya membantu pasien yang tergopoh-gopoh.  Danilla sesekali mencuri pandang pada Langit yang tampak gagah dalam memimpin timnya. 

 

Dalam hatinya bergumam bangga, “Aku senang kalo kamu akhirnya bisa membahagiakan papa kamu, Lang.” Danilla sempat terbawa perasaan sambil terus menatapnya. Langit lama-lama seperti sadar dirinya ditatap oleh sang mantan. Hingga, salah satu pasien yang menuju ke bed yang berada di tirai Danilla, pingsan karena saking lemasnya. Danilla terkejut dan segera menangkap pasien tersebut. Tubuh pasien adalah pria paruh baya dengan badan yang tinggi besar. Danilla hampir kewalahan menangkap tubuh bapak itu. Dengan sigapnya, Langit membantu bapak itu. Namun, posisi Danilla telah terjatuh duluan karena masih shock. Setelah membantu bapak itu berbaring di bed, Langit langsung menoleh ke Danilla. Kali itu, karena kurang tidur ternyata Danilla pun agak lemas. Langit menyadari itu dan memegang dua lengan Danilla untuk mengangkatnya. 

 

“Kamu, hmm, maksud saya dokter baik-baik saja?”  Langit menatap Danilla dengan agak khawatir. 

“Gak apa-apa. Makasih Kapten.” Danilla melihat tangan Langit di lengannya. Langit tersadar lalu melepasnya. 

“Dokter ngga usah berpikir apa-apa tentang alergi kemarin, saya cuma makesure dokter sehat karena hari ini akan hectic.” Langit kembali berbicara dengan dingin. Danilla tampak merengut.

“Saya bukannya ngga awas sama alerginya, tapi saya hanya ingin menghargai apa yang sudah dimasak. Saya permisi.” Danilla membalas dengan dingin juga sambil melengos pergi. 

 

Di pintu masuk lobby, kepala rumah sakit dan beberapa staff kembali berkumpul. Sementara Danilla, Indy dan Berry tetap memeriksa pasien. Seorang dokter baru yang juga dipanggil untuk membantu baru saja datang. Tubuhnya tinggi semampai seperti model, rambutnya hanya sebahu, agak ikal, senyumnya manis dengan baju yang colorful membuat hari itu tampak punya secercah kebahagiaan. Kepala rumah sakit membawa dokter itu ke hadapan Danilla dkk. 

“Halo, salam kenal saya Chelsea. Maaf saya terlambat, karena masalah penerbangan.” Chelsea sambil melambaikan tangannya ke semua. 

“Saya Danilla, selamat datang, dok.” Danilla tersenyum sama manisnya dengan Chelsea.  

“Dokter Chelsea ini baru saja tiba dari Korea Selatan setelah menyelesaikan studi kedokterannya. Mulai besok, Dokter Chelsea dan Dokter Danilla akan memimpin UGD. Pelatihan akan berjalan seiring pemeriksaan pasien.” Kepala dokter menjelaskan kepada semuanya. Semua dokter dan staf mengangguk paham.

 

***

 

Keringat dingin Danilla tampak mengucur dengan cukup deras di sore hari yang masih panas itu. Danilla berjalan ke arah taman rumah sakit melewati matahari yang masih menyinarinya dengan langsung. Dia menutupi kepalanya supaya tidak terkena panas. Langkahnya mulai lebih pelan dari biasanya hingga agak terseok. Danilla memegang kepalanya yang pusing. Kemudian,  tubuhnya terhuyung tidak seimbang hingga terjatuh ke rerumputan. 

 

Kepala Danilla terasa berputar, ingin bangun tapi tak kuasa. Hingga, pandangannya melihat sesosok wajah yang familiar. 

“Bentang Langit Angkasa” dalam lemahnya, Danilla mengucapkan nama Langit seperti itu memang yang diharapkannya. 

“Maafin aku, Langit.”  Danilla mengucapkan itu sebelum matanya tertutup.