A Lot’s Gonna Change (Chapter 16)

“Jangan lo pikir gue nggak tau kalau lo menipu gue dengan pakai nama Oma biar bisa tinggal di rumah ini ya, Sat!” 

Dari awal Deva sudah tahu kalau Kemala tidak pernah menyuruh Kean untuk tinggal di rumahnya. Namun dia tidak mau meributkan hal itu. Lagipula, Kean masih berhak tinggal di sana karena rumah itu bukan milik Deva, melainkan milik kakeknya, Adhikara.

Adhikara dan Kemala menikah sekitar 50 tahun yang lalu, dan mereka memiliki dua orang anak,  Putra Adhikara dan Dinda Adhikara. Putra lalu menikah dengan Hilda Tanjaya, dan mereka memiliki anak bernama Radeva Adhikara. Sementara Dinda menikah dengan Takuya Yamamoto, dan mereka memiliki anak bernama Keano Adhikara-Yamamoto. 

Delapan orang itu tinggal bersama di rumah Adhikara. Hingga satu per satu dari mereka pergi meninggalkan rumah besar itu.

Diawali dengan Adhikara yang meninggal dunia karena diabetes. Tiga tahun kemudian, Dinda meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat. Tidak lama setelah Dinda meninggal, Takuya memutuskan untuk kembali ke Jepang bersama Kean. Beberapa tahun kemudian, Putra dan Hilda meninggal dalam kecelakaan mobil. Sementara Kemala yang terkena serangan jantung dua tahun lalu terpaksa tinggal di Amerika untuk berobat. Akhirnya rumah Adhikara hanya ditempati oleh Deva seorang. 

Oleh karena itu, Deva tidak marah saat dia tahu kalau Kean berbohong dengan bilang kalau Kemala menyuruh Kean tinggal di rumahnya. Deva tidak pernah merasa rumah itu adalah rumahnya. Dia hanya kebetulan menjadi penghuni terakhir yang tersisa di rumah itu.

Namun, di saat Deva menyadari maksud jahat Kean, dia tidak bisa diam lagi. Deva tidak akan membiarkan sepupunya itu menginjakkan kaki lagi di rumah Adhikara, walaupun dia punya hak di sana. Deva tidak mau terjadi sesuatu pada Gia dan Kemala karena Kean berada di situ.

Deva membuka pintu kamarnya masih dengan wajah merengut dan napas yang tersengal. Dia ingin membanting pintu untuk meluapkan emosinya, tapi dia ingat Kemala dan Gia ada di kamar seberang. Tapi, saat Deva masuk ke dalam kamar, ternyata Gia sudah menunggunya di sofa.

“Ada apa, Dev?” tanya Gia khawatir. “Kok muka kamu kelihatan kesal gitu?”

Deva tidak menjawab. Dia malah menghampiri Gia lalu menarik tangan gadis itu hingga berdiri dari sofa.

“Kamu kenapa, Deva?” Gia kembali bertanya. “Kamu berantem sama Kean ya?”

Deva kembali tidak menjawab. Namun sebelum Gia sempat membuka mulutnya untuk mencari tahu apa yang terjadi pada Deva, pemuda itu tiba-tiba menjatuhkan kepalanya di pundak Gia, membuat Gia semakin khawatir.

“Dev…?”

“Sebentar,” kata Deva, masih dengan kening bertumpu di pundak Gia. “Tolong kasih saya waktu sebentar. Nanti saya akan cerita semuanya sama kamu.”

Mendengar itu, Gia akhirnya diam. Kemudian kedua tangannya perlahan merengkuh Deva ke dalam pelukannya. Gia tidak lagi peduli jika Deva merasakan wajahnya yang menghangat maupun jantungnya yang berdetak terlalu kencang. Yang ada di pikiran Gia saat ini hanya membuat pemuda di pelukannya itu bisa lebih tenang dan melupakan rasa kesalnya. Walaupun hatinya ragu Deva memerlukan pelukan itu.

Namun ternyata Gia tidak perlu ragu. Karena sedetik kemudian Deva balas memeluknya. Lebih erat.

***

Setelah kondisi Deva lebih tenang, dia akhirnya cerita dengan Gia tentang apa yang terjadi di garasi bersama Kean. Mendengar cerita Deva, Gia semakin khawatir. Dia takut, jika mereka semakin lama berbohong, akibatnya akan semakin fatal. Terutama bagi Kemala.

“Dev, tolong bantu papiku mencari Feya,” pinta Gia setelah mendengarkan cerita Deva. “Kalau Feya bisa ditemukan, kita bisa memperbaiki semuanya. Kean juga nggak akan bisa lagi menggunakan sandiwara kita ini untuk menantang kamu.”

Deva terdiam sebentar, sebelum akhirnya mengangguk. Kemudian Deva tersenyum ke Gia untuk mengurangi kekhawatiran gadis itu. 

“Besok saya akan menemui papi kamu. Kalau papi kamu belum juga bisa menemukan info tentang Feya, saya sendiri yang akan mencari adik kamu itu, dan kita akan selesaikan semua masalah ini. Kamu nggak usah khawatir, ya?”

Gia menggigit bibir bawahnya, tapi kemudian dia mengangguk. Dia percaya Feya pasti akan bisa segera ditemukan oleh Deva. Walaupun itu artinya “hubungannya” dengan Deva akan berakhir.

***

Keesokan harinya Deva pergi menemui Darmawan di kantornya yang terletak di pinggir Jakarta. Darmawan yang tidak menyangka akan kedatangan menantunya langsung menyambut Deva. Namun wajahnya seketika  berubah gugup saat Deva menanyakan tentang Feya.

“Maafkan saya, Deva,” ucap Darmawan dengan kepala tertunduk. “Saya sudah menyuruh semua anak buah saya untuk terus mencari Feya, tapi sampai hari ini mereka masih belum juga bisa menemukan jejak Feya ada di mana.”

“Apa mungkin Feya kabur bersama pacarnya, Pak?” ujar Deva.

Darmawan menggeleng. “Feya tidak punya pacar, Deva.”

“Pak Darmawan yakin Feya nggak punya pacar?”

“Sangat yakin. Feya sangat terbuka dengan saya dan Gia. Dia selalu cerita kepada kami tentang kehidupan pribadinya. Termasuk tentang laki-laki yang sedang pacaran dengannya.”

Mendengar itu, Deva jadi penasaran dengan Gia. Deva pun mengalihkan pembicaraan.

“Bagaimana dengan Gia, Pak? Apa Gia cerita ke Pak Darmawan kalau dia punya pacar?”

“Tentu saja,” ucap Darmawan. “Gia juga terbuka dengan saya.”

“Lalu, bagaimana dengan Gia?” Deva mencoba mengatur wajahnya setenang mungkin agar tidak terlihat terlalu penasaran. “Apa Gia punya pacar?”

“Ya. Namanya Nick, dan mereka pacaran hampir 6 tahun lamanya. Mereka dulu teman SMA, tapi mereka baru pacaran saat lulus SMA,” cerita Darmawan. “Tapi, waktu terakhir saya telepon Gia, dia bilang sama saya kalau dia sudah putus dengan Nick.”

“Putus?” seru Deva yang tidak lagi bisa menyembunyikan rasa penasarannya. “Putus kenapa?”

“Gia tidak cerita alasannya,” jawab Darmawan. “Kemungkinan karena masalah komunikasi. Nick sekarang sedang ambil S2 di Amerika, dan semenjak dia di sana, mereka memang jarang berkomunikasi karena perbedaan waktu.”

“Oh…”

Walapun kasihan dengan Gia karena harus mengakhiri hubungan cintanya yang sudah berjalan selama itu, di satu sisi Deva merasa lega. Paling enggak, gue nggak perlu merasa bersalah mendekati Gia, ujarnya dalam hati.

“Jadi, apa yang harus saya lakukan untuk menemukan Feya?” tanya Darmawan membuyarkan lamunan Deva. “Apa lebih baik kalau saya lapor polisi saja?”

“Jangan!” larang Deva. “Kalau masalah ini sampai ke pihak kepolisian, wartawan akan tau. Oma juga akan tau. Saya nggak mau masalah ini jadi semakin besar.”

“Jadi, baiknya bagaimana, Deva?” Darmawan kembali bertanya. “Saya ingin Feya bisa segera ditemukan. Sebelum semuanya jadi semakin rumit.”

“Pak Darmawan tenang saja. Saya akan cari cara untuk menemukan Feya secepatnya,” ucap Deva. “Yang penting, Pak Darmawan harus bisa menghindari Oma selama Oma ada di Jakarta. Saya dan Gia juga sedang bersandiwara sebaik mungkin supaya Oma tidak tau tentang masalah yang sedang terjadi.”

Darmawan pun mengangguk patuh. “Baik, Deva,” ucapnya. Kemudian kepalanya tertunduk. “Sekali lagi, maafkan saya. Seandainya saya tidak egois memaksa Feya untuk menikah dengan kamu, Feya mungkin tidak akan menghilang dan masalah ini tidak akan terjadi.”

“Saya nggak perlu permintaan maaf dari Pak Darmawan,” ujar Deva. “Tapi ada satu orang yang berhak mendengar permintaan maaf dari Pak Darmawan selain Feya.” 

“Siapa itu, Deva?” tanya Darmawan dengan tatapan bingung.

“Gia,” ucap Deva. “Pak Darmawan harus minta maaf ke Gia karena sudah egois memaksanya menggantikan Feya hingga terlibat dalam masalah ini.”

Kepala Darmawan kembali tertunduk, dan dia mulai menangis. Namun Deva tidak menghiraukan penyesalan bapak mertuanya itu. Deva malah pergi meninggalkan ruang kerja Darmawan.

Saat Deva menyetir mobilnya keluar dari tempat parkir, dia menelepon seseorang.

“Rex, gue barusan kirim foto ke e-mail lo,” ucap Deva sambil memutar setir. “Tolong cari perempuan di foto itu. Secepatnya!”

Deva lalu diam sebentar, mendengarkan jawaban pemuda bernama Rex itu.

“Iya, betul,” kata Deva. Kemudian dia mencengkeram setirnya. “Gue yakin Kean ada hubungannya sama hilangnya cewek itu. Jadi, lebih baik lo cari info dulu soal orang-orang di sekitar Kean.”

Deva kembali diam mendengarkan balasan Rex.

“Oke, Rex. Kabarin gue secepatnya ya.”

Deva lalu mematikan hubungan teleponnya. Kemudian dia menginjak gas, dan mobilnya dengan cepat melintasi tol dalam kota yang sedikit lengang siang itu. Dia ada pertemuan penting dengan Agatha Salim di kantornya.

***

Namun, sesampainya di kantor, Deva disambut oleh tatapan kesal Agatha yang menunggu di ruang meeting. Wanita bergaun anggun dengan rambut lurus sepundak itu menatap Deva seakan ingin mencakar wajah mantan teman sekolahnya itu.

“Kamu kenapa, Tha?” tanya Deva dengan tatapan bingung. Dia lalu melirik jam tangannya. “Saya nggak telat, kan?”

“Jangan bercanda ya, Dev!” seru Agatha. Kemudian dia melempar sebuah booklet ke meja meeting. “Kamu lihat nih!”

Deva lalu mengambil booklet yang dilempar Agatha dan melihat isinya. Awalnya Deva tidak paham apa yang membuat Agatha sekesal itu. Sampai akhirnya dia sadar bahwa desain pakaian yang ada di booklet Oliver—department store ternama di Singapura yang merupakan saingan Adhikara Grup—itu sama dengan desain pakaian Agatha yang akan dipasarkan oleh Adhikara.

“Ini…”

“Oliver akan memasarkan desain pakaian yang sama dengan desainku, Dev! Bahkan detail di pakaiannya pun sama!” ucap Agatha dengan nada tinggi. “Kamu membocorkan desainku ke mereka?!”

Mendengar itu, Deva langsung tersinggung. “Kamu gila ya, Tha?!” serunya. “Mana mungkin saya membocorkan rahasia perusahaan yang saya pimpin ke saingan perusahaan saya?!”

“Terus siapa dong?!” balas Agatha. “Desainku untuk Adhikara hanya kamu yang tau!”

Deva pun terdiam sementara kepalanya langsung berpikir keras. Siapa lagi yang tau soal desain Agatha?

“Aku nggak mau namaku jadi jelek karena masalah ini, Dev,” kata Agatha membuyarkan pikiran Deva. “Kamu harus bisa menemukan siapa orang yang sudah memberikan desainku ini ke pihak Oliver, dan kamu harus membuktikan kalau desainku dicuri oleh mereka. Atau, kita batalkan saja perjanjian kita dan nggak usah kerjasama selamanya!” 

Agatha lalu pergi meninggalkan ruangan sebelum Deva sempat mengucapkan sepatah kata pun. 

Setelah Agatha keluar dari ruangan, Deva lalu mengangkat telepon di meja. Dia menghubungi sekretarisnya. 

“Siska, tolong suruh semua kepala divisi di kantor kita ke ruang meeting. Sekarang!”

***

Deva pikir kesialannya hari ini hanya sampai di situ. Namun ternyata dia salah. 

Sesampainya di rumah, Kemala menyuruh Deva menemuinya di ruang kerja Adhikara. Deva  pun sadar Kemala akan membicarakan hal yang sangat serius karena Kemala sampai menggunakan ruang kerja almarhum suaminya itu. Deva yakin Kemala akan membahas masalah yang terjadi di kantor.

“Oma sudah dengar tentang apa yang terjadi dengan pihak Oliver,” ucap Kemala saat Deva duduk di depannya. 

Betul kan dugaan gue, rutuk Deva dalam hati. Oma pasti sudah dengar soal masalah Agatha.

“Bagaimana itu bisa terjadi, Deva?” cecar Kemala. “Bagaimana bisa kamu membiarkan pihak saingan kita sampai bisa mencuri rahasia perusahaan kita? Bagaimana bisa kamu merusak kepercayaan rekan bisnis kita yang juga teman kamu sendiri? Hah?!”

“Itu bukan salah aku, Oma!” seru Deva membela diri. Kemudian dia menghela napas dan menurunkan intonasi suaranya. “Aku sedang mencari tau siapa orang yang sudah memberikan rahasia perusahaan kita ke pihak Oliver. Aku juga sudah membuat perjanjian untuk bertemu dengan pihak Oliver agar—“

“Kalau begitu, kamu fokus selesaikan masalah itu,” potong Kemala. “Untuk sementara Kean akan menggantikan posisi kamu di perusahaan. Sampai kamu bisa menyelesaikan masalah perusahaan kita dengan pihak Oliver dan Agatha.”

“Oma!” Deva protes. Suaranya pun kembali meninggi. “Oma mau membuat Adhikara Grup bangkrut? Kean nggak bisa apa-apa, Oma. Dia bahkan sudah lama nggak masuk kerja tanpa alasan yang jelas! Terus Oma mau kasih posisiku ke orang yang nggak becus kerja kayak gitu?!”

“Tapi kamu lebih nggak becus dari dia, Deva!” balas Kemala. “Paling enggak, Kean nggak merusak nama baik perusahaan kita!”

Belum, Oma, ucap Deva dalam hati. Suatu hari nanti dia akan menghancurkan nama baik Adhikara Grup.

Deva ingin mendebat Kemala, tapi dia tahu itu tidak ada gunanya. Deva akan selalu kalah jika berdebat dengan Kemala. Dia juga tidak mau membuat kondisi kesehatan Kemala memburuk. Akhirnya Deva memilih untuk pamit pergi ke kamarnya.

Di dalam kamar, Gia sedang menunggu Deva dengan jantung berdebar kencang. Dia takut Deva bertengkar dengan Kemala. Lalu, saat Gia melihat Deva masuk ke dalam kamar dengan wajah yang muram, dia semakin khawatir dan segera menghampiri Deva.

“Kamu nggak apa-apa, Dev?” tanya Gia sambil menatap mata Deva yang merah seperti menahan tangis. “Kita duduk di sofa, ya?”

Tanpa menunggu jawaban Deva, Gia menarik tangan pemuda itu untuk ikut dengannya ke sofa. Kemudian mereka duduk bersebelahan. Gia lalu menunggu Deva sampai dia siap bercerita.

Setelah beberapa menit diam, Deva akhirnya mengembuskan napas panjang. Lalu dia menceritakan semua kesialan yang menimpanya hari itu ke Gia. Gia mendengarkan dalam diam, sementara Deva bersyukur dalam hati karena gadis itu mau menjadi pendengar keluh kesahnya.

“Jadi, begitulah masalah yang sekarang sedang saya hadapi,” kata Deva mengakhiri ceritanya. “Sebenarnya masalah sabotase kayak gini bukan hal yang aneh di dunia bisnis, dan ini bukan pertama kalinya Adhikara Grup mengalami masalah seperti ini. Tapi jujur, kali ini saya penasaran, siapa orang yang berani mencuri data penting itu dan memberikannya ke pihak Oliver. Karena data desain Agatha hanya saya yang pegang dan belum saya tunjukkan ke tim. Saya bahkan belum bilang ke mereka kalau Adhikara akan kerja sama dengan Agatha.”

Gia diam sebentar, berpikir. 

“Apa mungkin ada orang kantor yang tau password laptop kamu dan mengambil data kamu waktu kamu lagi nggak di ruangan?” tanya Gia kemudian. “Karena aku yakin yang melakukan ini pasti orang dalam perusahaan. Bukan pihak Oliver.”

“Saya juga berpikir begitu,” kata Deva. “Tapi setelah saya periksa CCTV, nggak ada yang mencurigakan. Lagipula, saya pakai sidik jari untuk buka laptop. Saya nggak pernah buka laptop saya pakai password atau PIN di mana pun. Tim IT juga sudah memastikan laptop saya nggak disadap.”

Gia pun kembali diam. Di dalam hati, dia jadi geram dengan orang yang sudah mencoba merusak kredibilitas Deva.

“Akan ada banyak perubahan yang terjadi karena masalah ini. Salah satunya, Kean akan menggantikan posisi saya di kantor,” ucap Deva dengan senyum miris. “Saya bukannya nggak mau memberikan posisi saya ke Kean, tapi saya tau kapasitas Kean di mana. Dia nggak akan sanggup memimpin Adhikara Grup. Kecuali…”

“Kecuali apa?” tanya Gia.

“Kecuali kalau dia ingin menghancurkan Adhikara Grup…”

“Maksud kamu?”

Deva tidak menjawab pertanyaan Gia. Karena penasaran, Gia akhirnya kembali bertanya.

“Dev, kenapa hubungan kamu dengan Kean jadi buruk seperti ini?” tanya Gia sambil memperhatikan wajah Deva yang kembali muram. “Sebenarnya ada masalah apa di antara kalian?”

“Saya nggak ada masalah sama Kean,” kata Deva. “Tapi dia ada masalah dengan saya.”

“Masalah apa?”

“Kean menganggap orangtua saya yang membunuh ibunya.”

Gia pun terpaku mendengar kata-kata Deva. Membunuh?

***

Exit mobile version