Nouvelle Vague (Chapter 7)

“Boleh nggak, pas kita balik ke Jakarta nanti, aku tinggal sama kamu, Bas?”

Leher Baskara seketika memerah. Dia tidak pernah menyangka kekasihnya akan menanyakan hal seperti itu padanya.

“Bukannya aku nggak mau, tapi kita kan belum menikah,” ucap Baskara sambil menyelipkan beberapa helai rambut Disty yang menutupi mata gadis itu ke belakang telinganya. Dia berusaha mengalihkan perhatian Disty dari rasa malunya. “Waktu itu kamu sendiri yang bilang kalau kamu akan tinggal sama aku hanya kalau kita sudah menikah. Lupa, ya?”

Dalam hati Disty tersenyum mengejek. Sok suci banget kamu, Lan!

“Waktu itu ya waktu itu,” kata Disty. “Hari ini aku berubah pikiran. Aku mau tinggal sama kamu walaupun kita belum menikah.”

“Tapi…”

Disty tidak membiarkan Baskara meneruskan kalimatnya. Dia meraih wajah pemuda berkacamata itu, lalu memagut bibirnya. Disty terus mencium bibir Baskara untuk membuat pemuda tampan itu tidak bisa menolak permintaannya. 

Lalu, di saat Baskara balas memagut bibir kekasihnya, kata-kata yang Lana ucapkan di depan pintu tadi terbayang di benak Baskara.

“Ini mungkin nggak masuk akal buat kamu, tapi yang ada di tubuhku itu Kak Disty. Sementara yang ada di tubuh Kak Disty adalah aku. Lana, pacar kamu.” 

Nggak mungkin, batin Baskara sambil terus mencium bibir Lana. Mana ada orang yang jiwanya tertukar? Memangnya ini film?  

Sedetik kemudian, permintaan Disty tadi kembali terngiang di telinga Baskara.

“Boleh nggak, pas kita balik ke Jakarta nanti, aku tinggal sama kamu, Bas? Aku mau tinggal sama kamu walaupun kita belum menikah.”

Tapi… Baskara mengerutkan keningnya. Apa mungkin Lana yang selama ini gue kenal dan sudah jadi pacar gue selama 7 tahun ini berani mengucapkan kata-kata seperti itu? Apa Lana pernah mencium lo seperti ini, Bas?

Baskara tiba-tiba menghentikan ciumannya, membuat Disty membuka kedua matanya dan menatapnya bingung.

“Kenapa, Bas?” tanya Disty.

“Nggak apa-apa.” Baskara mengalihkan wajahnya dari tatapan Disty. Dia tidak mau gadis itu bisa melihat kebohongan di wajahnya. “Perutku sakit. Aku lupa aku belum makan malam. Aku beli makan malam sebentar, ya?”

“Tapi…” Disty langsung menahan tangan Baskara yang mau beranjak meninggalkan sisinya. Lalu dia memasang tatapan memelas. “Aku boleh tinggal sama kamu, kan?”

Baskara menatap gadis di depannya dengan perasaan dilema. Dia sangat ingin mengabulkan permintaan kekasihnya itu. Tapi, di satu sisi, kata-kata yang diucapkan Lana membuat Baskara terpengaruh. 

Mungkin… gadis di depannya ini memang bukan Lana.

Baskara menghela napas, lalu dia menggeleng. 

“Maaf, Lan,” ucap Baskara akhirnya. “Aku nggak mau melanggar janjiku ke Bunda Rani. Aku nggak akan membawa kamu pergi dari rumah kamu sebelum kita menikah.”

Baskara tersenyum kecil karena tidak enak sudah menolak Disty, lalu dia berbalik pergi. Sementara Disty yang ditinggalkan sendirian mendengus.

“Sialan!” Disty melempar bantalnya hingga hampir menyenggol vas bunga yang ada di meja sofa. “Pada sok suci semuanya!”

***

Di ruang 502, Lana sedang duduk di sofa sambil menghabiskan jeruk yang dibelikan Karin. Matanya kosong menatap lantai, sedangkan kepala gadis itu sibuk memikirkan bagaimana agar jiwanya bisa kembali ke tubuhnya seperti semula. 

“Waktu SMA dulu, aku pernah nonton drama Korea yang dua tokoh utamanya tukeran jiwa, dan mereka pergi ke dukun buat mengembalikan jiwa mereka ke tubuh masing-masing. Apa aku harus pergi ke dukun juga?” Lana kemudian menjawab pertanyaannya sendiri dengan gelengan. “Dukun di sini pasti bakal tertawa kalau aku cerita jiwaku tertukar sama jiwa Kak Disty.”

Di saat Lana sedang memikirkan alternatif lain, Karin masuk ke ruang 502 sambil membawa koper. 

“Kak…” Lana refleks menepuk mulutnya karena masih sering melakukan kesalahan. Lalu dia pura-pura berdeham. “Kamu dari mana, Rin?”

“’Kamu?’” Karin tertawa geli. “Gue nggak salah denger nih? Seorang Disty ngomong pake ‘aku kamu’? Hahaha!”

Sial…! Aku salah lagi! Lana hampir menepuk kembali mulutnya, tapi dia tahan. Gadis itu lalu pura-pura ikut tertawa.

“Maklum lah. Gue abis kecelakaan,” kata Lana membuat alasan. “Jadi masih agak ngaco.”

Karin mencibir. Lana pun segera mengalihkan pembicaraan.

“Lo ngapain bawa koper, Rin?” tanya Lana. “Lo mau nginep di sini?” 

“Ini koper lo, Dis,” kata Karin setelah menaruh koper di kaki tempat tidur Lana. “Lupa ya?”

Lana meringis. Dia tidak tahu kalau koper berwarna merah itu milik Disty. Beruntung dia sudah bilang ke Karin kalau dia sedikit lupa ingatan karena kecelakaan itu.

“Lo dapat koper gue dari mana?” tanya Lana. 

“Dari hotel tempat lo menginap,” jawab Karin.

“Kok lo tau gue menginap di mana?”

“Kan gue yang pesenin kamarnya,” kata Karin sambil menjatuhkan dirinya ke sofa di samping Lana. “Di dalam koper juga ada tas sama hape lo.”

Mendengar itu, Lana jadi penasaran.

“Lo dapat tas sama hape gue dari mana?” 

“Dari Baskara,” jawab Karin sambil mengambil sisa jeruk di tangan Lana dan memakannya. Lalu dengan mulut penuh jeruk dia menjelaskan, “Waktu dia kasih kabar ke gue soal kecelakaan yang menimpa lo dan Lana, dia cerita kalau dia udah mengurus masalah mobil yang tenggelam di sungai itu, dan dia juga udah mengambil barang-barang kalian yang tertinggal di situ.”

“Terus, kapan Baskara kasih barang-barang gue ke lo?”

“Waktu gue mau pergi mengurus masalah hotel lo,” jelas Karin. “Sebelum keluar kamar lo, gue kirim pesan ke Baskara buat kabarin dia kalau gue udah sampai di Bali lebih cepat dari rencana awal gue. Terus dia menyuruh gue buat menemui dia di bangku depan kamar lo. Ya udah, gue menemui dia dan ambil barang-barang lo. Terus gue langsung pergi ke hotel deh.”

“Oh…”  

Lana mengangguk paham. Tapi, di dalam hati, Lana menyesal. Seandainya dia tahu kalau ponsel dan tasnya yang ketinggalan di mobil yang tenggelam itu kini berada di tangan Baskara, dia pasti akan mengambilnya diam-diam sebelum Baskara memberikannya ke Disty. Walaupun ponsel dan tasnya kemungkinan rusak kena air sungai, paling tidak dia bisa menyimpan dua barang pribadinya yang tersisa, yang akan mengingatkan dirinya dengan Alana Prameswati.

“Omong-omong, Dis…”

Lana menoleh ke Karin yang kini mengupas jeruk baru.  

“Baskara lagi menghindari lo ya?”

Mendengar itu, hati Lana terasa seperti dicubit. Tapi, agar Karin tidak curiga, dia mencoba terlihat biasa saja.

“Kok lo bisa ambil kesimpulan kayak gitu, Rin?” 

“Hmm…” Karin berpikir sebentar sambil mengunyah sebutir jeruk. “Soalnya, pas dia menyuruh gue buat ketemu dia di depan kamar lo, dia melarang gue buat ngomong sama lo kalau kita mau ketemu. Makanya gue jadi curiga kalau dia lagi menghindari lo.”

“Oh…” 

Cubitan di hati Lana pun terasa semakin perih. Sayangnya, tidak ada yang bisa dia lakukan karena dia sendiri yang menyebabkan hatinya sakit. Dia yang sudah membuat Baskara kesal sampai kekasihnya itu kini menjaga jarak dengannya.

“Jadi…” Karin membuyarkan lamunan Lana. “Baskara beneran menghindari lo, Dis?”

Lana menghela napas, lalu dia mengangkat kedua bahunya. 

“Gue nggak tau, Rin.” Gadis itu lalu menambahkan, “Tapi, wajar sih kalau dia menjaga jarak sama gue…”

“Kok wajar?”

“Soalnya… gue yang udah bikin Lana celaka.”

Karin ikut menghela napas. Dengan berat hati, dia harus mengakui kalau dia memahami kenapa Baskara menghindari Lana. 

“Oh iya, Dis.” Karin mengambil tisu basah di meja lalu membersihkan tangannya. “Gue tadi juga menemui dokter lo. Udah tua sih, tapi ganteng banget ya? Hahaha!”

Lana ikut tertawa bersama Karin. 

“Gila lo ya?” ucap Lana di sela tawanya. “Dia udah punya cucu. Lo mau jadi nenek-nenek di usia muda?”

“Bercanda, bercanda,” ucap Karin setelah mereka selesai tertawa. “Dokter lo tadi bilang, kalau hasil tes lo besok bagus, lusa lo udah bisa pulang.”

Lana ingin merasa senang, tapi tidak bisa. Dia belum siap keluar dari rumah sakit dan benar-benar menjalani hidup barunya sebagai Disty. Namun, karena tidak mau membuat Karin bingung, gadis itu akhirnya berhasil memaksakan senyum di wajahnya.

“Pokoknya, setelah kita kembali ke Jakarta nanti, lo fokus pemulihan aja,” kata Karin. “Lupakan semua kesialan yang lo alami. Gue yakin, hidup lo dan Lana akan baik-baik aja setelah ini.”

“Aminn…”

“Amin!” Karin lalu menepuk pundak Lana. “Udah malem, Dis. Mending lo segera istirahat biar besok hasil tes lo bagus.”

“Oke…” 

Setelah merapikan sisa jeruk di meja, Lana beranjak dari sofa. Lalu, saat Lana berbaring di tempat tidurnya, Karin juga ikut berbaring di sofa.

“Lo nggak balik ke hotel, Rin?” tanya Lana.

“Gue mau tidur di sini aja,” kata Karin sambil mengubah posisinya agar lebih nyaman. “Biar gue bisa ngejagain ‘monyet’ gue.”

Lana pun tertawa. Walaupun persahabatan Karin dan Disty tampak aneh, Lana ingin memiliki persahabatan seperti itu. Sebenarnya Lana punya cukup banyak teman, tapi dia tidak memiliki sahabat yang sangat dekat dengannya seperti Karin dan Disty. Kecuali Baskara.

“Dis?”

“Hm?”

“Gue lupa cerita sama lo soal Lana.”

Mendengar namanya disebut, Lana segera menoleh ke Karin.

“Kenapa sama Lana?” tanyanya.

“Tadi gue bilang ke Baskara kalau gue mau menjenguk Lana,” cerita Karin. “Tapi dia bilang Lana lagi istirahat total. Memangnya kondisi Lana parah banget sampai nggak boleh dijenguk?” 

Lana terdiam. Dia jadi curiga, Disty yang meminta Baskara untuk melarang siapa pun menemuinya. Tapi, Lana kemudian teringat saat Baskara marah karena dia masuk ke ruang 501 tanpa izin. 

Mungkin Baskara memang ingin melindungi diriku, batin Lana.

“Mungkin Lana memang butuh istirahat total, Rin,” kata Lana akhirnya. “Soalnya, gue yang kakaknya aja cuma bisa ketemu dia sebentar.”

“Oh, gitu…”

Lana kembali diam. Kemudian dia jadi berpikir untuk menahan Karin agar tidak menemui Disty. Lana nggak mau Karin curiga kalau yang ada di tubuh Lana adalah Disty. Karin lebih lama mengenal Disty daripada Baskara mengenal Lana. Ada kemungkinan Karin bisa mengenali sosok sahabatnya di tubuh Lana.

Sebenarnya, akan menguntungkan bagi Lana kalau Karin tahu jiwanya dan jiwa Disty tertukar. Tapi, akan lebih baik kalau Lana lebih dulu mencari tahu kenapa Disty ingin balas dendam dengannya. Cara termudah untuk mendapat jawaban itu ya dengan menjadi Disty yang sangat Karin percaya. 

“Lo ketemu Lana pas dia udah balik ke Jakarta aja, Rin,” kata Lana setelah cukup lama diam. “Lo tau sendiri, kan? Adik gue itu lebih lemah dari gue. Jadi lebih baik dia istirahat total biar dia bisa segera pulang ke Jakarta dan kembali menemani Bunda.”

Mendengar itu, Karin pun mengangguk paham. 

“Ya udah. Sekarang kita tidur aja.”

“Oke…”

Karin berdiri sebentar untuk meredupkan lampu di ruang 502, lalu dia kembali berbaring di sofa. Beberapa menit kemudian, Karin dan Lana tenggelam ke alam mimpi masing-masing.

***

Keesokan harinya, hasil tes Lana menunjukkan kondisi vitalnya sudah sangat baik. Lana pun diperbolehkan pulang dari rumah sakit.

“Lo nggak pamit dulu ke Lana, Dis?” tanya Karin saat dia membantu Lana memakai gaun milik Disty. 

Lana tidak membenci gaun, tapi dia sangat jarang memakai gaun. Apalagi gaun yang ketat seperti yang selalu dipakai Disty saat membuat konten untuk sosial medianya. Sayangnya, hanya gaun seperti itu yang ada di koper Disty. Jadi, Lana tidak punya pilihan lain. Dia pun memilih gaun berwarna biru muda yang tidak terlalu ketat untuknya.

“Iya, nanti gue pamit ke Lana,” kata Lana sambil menarik turun gaun di tubuhnya agar tidak terlalu menunjukkan pahanya. “Tapi…”

“Tapi apa?” tanya Karin yang kini sudah beralih ke koper di kaki tempat tidur. 

“Gue sendiri aja yang menemui Lana,” kata Lana. Kemudian dengan perasan tidak enak dia menambahkan, “Gue cuma nggak mau lo kena marah Baskara karena mengganggu Lana—“

“Iya, gue paham,” potong Karin dengan senyum maklum. “Kalo gitu, gue tunggu lo di lobi depan ya?”

Lana mengangguk. “Oke.”

Lana dan Karin kemudian meninggalkan ruang 502. Saat Karin berbelok membawa koper Disty menyusuri lorong menuju lobi rumah sakit, Lana mematung di depan ruang 501. Jantungnya berdetak kencang. Bagaimana kalau nanti Baskara marah saat melihatnya?

Belum sempat Lana memikirkan apa yang harus dia lakukan selanjutnya, pintu ruang 501 tiba-tiba terbuka. Lana kaget dan mundur satu langkah. Lalu, wajah Baskara muncul dari balik pintu.

“Dis?” Baskara tampak kaget sekaligus canggung. “Kamu ngapain di sini?”

“Aku…” Lana menarik napas untuk menenangkan debaran jantungnya. Lalu, setelah lebih tenang, dia menjelaskan maksud kedatangannya ke Baskara. “Aku mau pamit sama kamu dan Lana, Bas.”

“Kamu sudah boleh pulang?” 

“Iya. Kata Dokter Adrian kondisi vitalku sudah bagus. Jadi aku sudah boleh pulang.”

“Oh…” Baskara mengangguk paham. “Syukurlah…”

Baskara kemudian tersadar kalau dia menghalangi Lana. Pemuda berkacamata itu pun membuka pintu ruang 501 lebih lebar.

“Masuk, Dis,” ucap Baskara sambil berbalik masuk ke dalam ruangan. “Lana baru aja selesai sarapan.”

Lana pun mengikuti Baskara masuk ke dalam ruangan sementara matanya menatap punggung Baskara yang sudah lama tidak dia peluk. Tatapan Lana kemudian bertemu dengan Disty yang menatapnya tajam dari atas tempat tidur.

Saat Baskara menatap Disty, dia langsung mengubah ekspresi wajahnya.

“Kak Disty…!” seru Disty dengan senyum lebar. Kemudian dia menyadari kalau Lana memakai gaunnya. “Kak Disty sudah boleh pulang dari rumah sakit?”

Lana menarik napas, lalu dia mengangguk. Lana sudah memutuskan, kalau Disty ingin bermain sandiwara, maka dia akan mengikuti permainan kakaknya itu. Jadi dia tidak boleh membiarkan emosinya terlihat di depan Disty.

“Iya, Lan,” ucap Lana akhirnya. “Makanya aku mau pamit sama kamu dan Baskara.”

“Oh…” Senyum di wajah Disty berubah sedikit sinis. “Hati-hati di jalan kalau gitu.”

Lana mengangguk. 

“Salam buat Bunda,” kata Lana, sengaja mengucapkan topik yang bisa membuat Disty tersinggung. Kemudian dia beralih ke Baskara. “Aku pamit, Bas.”

“Iya, Lan,” ucap Baskara. “Semoga kondisi kamu semakin baik setelah kembali ke Jakarta.”

Air mata Lana seketika menggenang karena setelah ini dia akan berpisah dengan Baskara dan harus menjalani hidup barunya sebagai Disty. Lana pun hanya bisa menjawab kata-kata Baskara dengan anggukan. Lalu dia segera berbalik pergi sebelum Baskara dan Disty melihat air matanya menetes.

Lana tidak tahu kalau mata Baskara terus memperhatikan dirinya hingga gadis itu menghilang di balik pintu.

***

Bersama Karin, Lana pergi meninggalkan rumah sakit dengan menggunakan taksi. 

Di sepanjang perjalanan menuju bandara, Lana termenung menatap pemandangan di luar jendela. Sebenarnya dia ingin menangis, tapi dia tidak mau membuat Karin khawatir. 

Benar saja, Karin tiba-tiba menyenggol dirinya. 

“Bengong mulu lo!” ledek Karin. “Mikirin apa sih?”

Lana tersadar, lalu dia tersenyum. 

“Gue nggak mikirin apa-apa kok,” ucap Lana mencoba berbohong. “Gue ngantuk.”

 Karin terlihat tidak percaya. Sebelum Karin semakin curiga, Lana segera mengalihkan pembicaraan.

“Rin?”

“Apaan?”

“Gue tuh orangnya kayak gimana sih?”

Karin memutar badan Lana agar berhadapan dengannya. Setelah itu dia menaruh satu tangannya di kening Lana. Sementara satu lagi ditaruh di keningnya.

“Lo ngapain?” tanya Lana sambil melepas tangan Karin. “Gue nggak sakit kok.”

Karin pun menurunkan tangan di keningnya.

“Soalnya lo tiba-tiba nanya kayak gitu. Kirain lo masih sakit,” kata Karin. “Kalo iya, kita bisa puter balik mumpung masih belum jauh.”

“Gue udah sembuh kok,” ucap Lana. “Gue cuma pengen tau pendapat lo soal gue.”

Karin pun tersenyum. Kemudian dia menjawab pertanyaan Lana.

“Yang pasti, karakter lo itu menyebalkan,” kata Karin tanpa menghiraukan tatapan tajam Lana. “Tapi, karena lo teman gue, jadi gue udah maklum.”

“Sial!” Lana mendorong bahu Karin, tapi kemudian dia ikut tertawa bersama sahabat kakaknya itu. “Terus apa lagi?”

Karin berhenti tertawa, kemudian wajahnya berubah serius. 

“Buat gue, lo itu orang yang kuat dan punya prinsip,” kata Karin. “Lo bahkan berani keluar rumah walaupun akibatnya hubungan lo sama keluarga lo jadi terputus. Gue nggak yakin bisa seperti lo.”

Lana terdiam. Dia tidak pernah tahu apa alasan Disty pergi dari rumah. Sementara Rani juga tidak mau menjawab setiap kali Lana bertanya tentang itu.

“Gue tinggal di mana, Rin?” tanya Lana mengalihkan pembicaraan. Dia tidak mau sedih karena teringat saat suasana rumahnya menjadi suram setelah Disty pergi.

 “Lo nggak ingat tinggal di mana, Dis?” tanya Karin dengan kening berkerut. “Kayaknya lo harus ke rumah sakit lagi deh.”

Sebelum Karin memberi tahu ke supir taksi untuk putar balik, Lana langsung menahan tangan Karin.

“Gue bercanda kok, Rin.  Hehe…”

Karin menghela napas. “Cara bercanda lo ternyata nggak berubah ya, Nyet? Selalu bikin gue sebel!”

Lana kembali tertawa. Dalam hati, dia merasa lega karena Karin tidak curiga dengannya.

“Omong-omong, gue masih pacaran sama Marvel Wijaya nggak sih, Rin?” tanya Lana, kembali mengalihkan pembicaraan. Namun Karin malah mengerutkan kening.

“Marvel Wijaya?” seru Karin. “Emang lo pernah pacaran sama gay playboy satu itu?”

Gay? Lana mematung. Ternyata dugaannya waktu itu salah. Disty tidak berpacaran dengan Marvel Wijaya yang sering muncul di feed Instagram kakaknya itu.

“Jangan bilang lo bercanda lagi ya, Dis!” ancam Karin sambil menunjuk wajah Lana. “Gue gigit lo!”

Lana pura-pura tertawa. Dalam hati, dia kembali mencari cara untuk bisa mendapatkan informasi tentang Disty.

“Rin?”

“Apa lagi?” tanya Karin sedikit ketus. “Kalau lo bercanda lagi, gue turunin lo di tengah jalan.”

Lana kembali tertawa. Lalu wajahnya berubah serius.

“Lo tau nggak kenapa gue pengen balas dendam sama Lana?”

Karin terdiam. Dia terlihat tidak yakin membahas topik itu. 

“Gue akan cerita nanti setelah lo mendingan,” ucap Karin akhirnya. Melihat wajah Lana berubah kecewa, Karin menambahkan, “Lo baru keluar dari rumah sakit. Jadi mending lo fokus istirahat supaya lo bisa sehat lagi. Setelah itu, gue akan cerita semuanya sama lo.”

Lana memahami maksud Karin. Oleh karena itu, dia tidak membantah.

“Oke,” ucap Lana. “Terima kasih ya, Rin.”

Karin melingkarkan tangannya di pundak Lana sambil tersenyum lebar. “Sama-sama, Nyet!”

Lana tertawa. Kemudian dia bertanya ke Karin, “Lo punya kenalan dukun nggak, Rin?”

Walau terdengar bercanda, Lana sebenarnya serius. Dia ingin bisa segera kembali berada di sisi Baskara sebelum Disty benar-benar merebut kekasihnya itu. 

Aku sudah kehilangan diriku. Aku nggak akan sanggup kalau harus kehilangan kamu juga, batin Lana karena terbayang wajah Baskara saat mereka berpisah tadi.

“Orang gila!” Karin membuyarkan lamunan Lana. Gadis itu lalu kembali menaruh tangannya di kening Lana, kemudian dia beralih ke supir taksi di depannya. “Pak, balik ke rumah sakit lagi aja. Temen saya makin sakit kayaknya.”

“Eh, jangan, Pak! Sebentar lagi pesawat kita take off!”

“Nggak papa, Pak! Saya takut temen saya makin gila!”

Supir taksi di depan mereka pun bingung sementara Karin dan Lana terus berdebat sepanjang perjalanan mereka ke bandara.

***

Beberapa jam kemudian Lana tiba di sebuah apartemen satu kamar yang terletak di Jakarta Selatan. Ternyata Disty tinggal di situ setelah pergi dari rumah. Awalnya Lana bingung cara untuk masuk ke apartemennya. Beruntung, Karin menyimpan kartu akses cadangan untuk masuk ke apartemen Disty. 

“Dis, sori banget, gue ada meeting sama klien,” ucap Karin setelah dia menaruh koper Lana di dalam kamar. “Lo istirahat dulu aja ya. Nanti sore gue balik lagi. Abis itu kita pergi ke mal buat makan malem sekalian betulin hape lo.”

“Oke…”

Karin mencubit pipi Lana. Lalu dia pergi meninggalkan Lana sendirian di apartemen Disty.

Setelah Karin pergi, Lana keliling apartemen Disty untuk lebih mengenal tempat yang akan menjadi rumahnya sementara waktu ini.

Namun, saat Lana sedang melihat-lihat isi kamar Disty, tiba-tiba terdengar suara pintu apartemen terbuka.

“Karin?”

Lana keluar dari kamar, tapi dia mematung karena yang dilihatnya bukan Karin. 

Seorang pemuda yang tidak pernah Lana kenal berdiri di depannya. Penampilannya hampir sama dengan Baskara yang tampan dan berbadan bagus. Namun, berbeda dengan Baskara yang selalu memakai kaus dan celana jeans, pemuda di delapan Lana itu memakai kemeja dan celana bahan.

Siapa orang ini? batin Lana. Apa dia pacar Kak Disty?

“Kamu…”

Belum sempat Lana menyelesaikan kata-katanya, pemuda di depannya itu tiba-tiba menghampiri Lana.

I miss you, Adisty. Fuck with me.

Belum sempat Lana menolak, pemuda itu tiba-tiba menarik Lana dalam dekapannya dan mencium bibir gadis itu. 

***