From The Window (Chapter 4)

Sebenarnya Lana masih belum yakin kalau jiwanya tertukar dengan jiwa Disty, tapi hanya itu satu-satunya alasan yang “masuk akal” untuk menjelaskan kenapa jiwanya kini bisa berada di tubuh Disty. 

Lalu, saat menemui Dokter Adrian di ruang praktiknya tadi, Lana tiba-tiba teringat tentang kecelakaan yang menimpa dirinya dan Disty. Sebenarnya, ingatan yang sekilas terlintas itu hampir sama dengan yang dia ingat saat tersadar dari koma. Bedanya, kali ini Lana mengingat ada tangan yang memegang tangannya, tepat sebelum dia kehilangan kesadaran. 

Tangan itu yang menarik tubuh Lana naik ke permukaan sungai. Tangan berjari lentik yang kukunya dicat merah dan sangat Lana kenal. Tangan Disty.

Mungkin di saat kritis itu jiwa kami tertukar, pikir Lana saat puzzle ingatan itu muncul di benaknya. Jiwaku masuk ke tubuh Kak Disty, sementara jiwa Kak Disty masuk ke tubuhku.

Setelah meninggalkan ruang praktik Dokter Adrian, Lana pun memilih pergi menemui tubuhnya di ruang 501 daripada kembali ke ruang rawatnya.

“Kak Disty,” bisik Lana. “Bangun, Kak…”

Lana terus memanggil nama Disty, berharap jiwa kakaknya yang berada di tubuhnya itu bisa bangun dan mereka bisa menemukan cara agar jiwa mereka yang tertukar bisa kembali ke tubuh masing-masing. 

Namun, setelah puluhan kali Lana mencoba membangunkan Disty, tubuhnya yang terbaring lemah di kasur itu tidak menunjukkan pergerakan sedikit pun. Akhirnya, Lana menyerah. Gadis itu pun sadar kalau mencoba membangunkan orang dari koma adalah hal yang sia-sia.

Dengan lunglai Lana berbalik meninggalkan tubuhnya. 

Saat Lana keluar dari ruang 501, tatapan matanya bertemu dengan sosok Baskara yang sedang duduk di bangku tunggu, dan mengingatkannya dengan kejadian 3 tahun lalu.

***

Sore itu, Lana yang baru saja pulang kuliah diantar Baskara sangat panik saat melihat Rani tergeletak di lantai ruang tamu. Mereka pun segera membawa Rani ke rumah sakit. Sesampainya di sana, dokter memeriksa kondisi Rani dan ternyata tekanan darah Rani sangat tinggi. Akhirnya Rani harus dirawat di rumah sakit hingga kondisinya stabil.

Saat itu Lana stres setengah mati. Aryo sudah tidak ada. Sementara Disty tidak bisa dihubungi. Lana tidak tahu apa yang harus dia lakukan jika terjadi sesuatu pada Rani. Lana takut kembali kehilangan orang yang dia sayangi. 

Di saat kepalanya terasa semakin sakit dan matanya memanas, Lana keluar dari ruangan tempat Rani dirawat untuk mencari udara segar. Lalu matanya melihat sosok Baskara yang sedang duduk di bangku tunggu.

“Bas…”

Baskara menoleh ke arah Lana, lalu dia tersenyum. Lana balas tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah Baskara. Kemudian dia menghampiri kekasihnya itu. 

Saat Lana duduk di sampingnya, Baskara ingin bertanya tentang keadaan Rani. Tapi, sebelum Baskara sempat membuka mulutnya, Lana tiba-tiba memeluk tubuhnya.

Baskara kembali tersenyum karena baru kali ini Lana berinisiatif memeluknya lebih dulu. Baskara pun membalas pelukan Lana. Namun, sedetik kemudian, Baskara tersadar kalau Lana sedang menangis dalam pelukannya.

“Kenapa, Lan?” tanya Baskara sambil menepuk-nepuk pelan punggung Lana. “Kok kamu nangis?”

Lana menjawab pertanyaan Baskara dengan gelengan kepala. Lalu dia mengubur wajahnya di pundak Baskara, membuat pundak kekasihnya itu basah dengan air mata. Akhirnya Baskara tersenyum paham. 

“Kamu jangan khawatir,” ucap Baskara sementara tangannya membelai lembut rambut Lana. “Ada aku di sini. Aku akan temani kamu menjaga Bunda Rani sampai sembuh.”

“Terima kasih, Bas…” ucap Lana tulus di sela isak tangisnya. “Terima kasih…”

Baskara mencium lembut pelipis Lana, lalu dia kembali menepuk-nepuk punggung Lana, mencoba menenangkan hati gadisnya itu.

***

Seandainya Lana tidak sedang berada dalam tubuh Disty, dia pasti akan melambaikan tangan sambil tersenyum sebelum akhirnya menghampiri Baskara dan memeluk tubuh kekasihnya itu, seperti yang dia lakukan hari itu. Sayangnya, saat ini Lana tidak lagi bisa melakukannya. Akhirnya, gadis itu hanya menghampiri Baskara lalu duduk di sampingnya. Kemudian dia menunggu sampai pemuda berkacamata itu memulai pembicaraan.

“Dis?”

Lana menghela napas. Dia tidak ingin mendengar Baskara memanggil dirinya dengan nama kakaknya, tapi dia tidak punya pilihan. Lana pun menoleh ke arah Baskara.

“Iya, Bas?”

“Kamu tau kan, kalau kondisi Lana masih belum stabil?” tanya Baskara yang dijawab Lana dengan anggukan. Kemudian tatapan Baskara berubah dingin. “Terus, kenapa kamu masuk ke kamar Lana tanpa izinku?”

Sebenarnya Lana senang melihat Baskara begitu protektif soal dirinya, tapi gadis itu tidak bisa tersenyum. Walaupun Baskara marah ke Disty, tapi jiwa Lana yang berada di dalam tubuh Disty yang membuat kekasihnya itu marah. Padahal selama ini Lana tidak pernah membuat Baskara marah pada dirinya.

“Maafin aku, Bas,” ucap Lana dengan perasaan bersalah. “Aku nggak bermaksud mengganggu Lana. Aku cuma…”

“Iya, iya,” potong Baskara. “Aku paham.” Ekspresi wajah Baskara lalu perlahan melunak. “Sori, Dis. Aku kebawa emosi tadi,” ucapnya.

Lana mengangguk paham. Kalau dia ada di posisi Baskara, dia pasti akan melakukan hal yang sama.

 “Kamu tadi pergi ke mana, Bas?” tanya Lana, mencoba membuka pembicaraan agar ketegangan yang terjadi di antara mereka tadi bisa terlupakan. “Beli makan siang?”

Baskara menggeleng. “Aku habis ambil tas Lana di Airbnb tempat kami menginap.”

Lana melihat tasnya yang kini berada di antara dirinya dan Baskara. Sebelum pergi bersama Disty, tas punggung berwarna hitam itu dia taruh di atas tempat tidur, di Airbnb milik orangtua Baskara. Lana pun tersadar kalau dia datang ke Bali karena Baskara ingin mengajaknya bertemu kedua orangtuanya.

“Orangtua kamu bagaimana, Bas?” tanya Lana sambil meraba pelan tali tasnya yang terbuat dari bahan kanvas. “Mereka sudah pernah datang menjenguk Lana?”

Baskara mengangguk. “Di hari pertama, mereka datang menemani aku menjaga Lana seharian. Tapi setelah itu aku minta mereka pulang dan nggak usah datang dulu sampai kondisi Lana membaik. Cukup aku saja yang menjaga Lana.”

Mendengar itu, rasa bersalah di hati Lana semakin besar. Seandainya dia tidak pergi bersama Disty sore itu, semua ini tidak akan terjadi. Baskara dan kedua orangtuanya juga tidak perlu repot mengkhawatirkan dirinya.

“Maafin aku, Bas…” ucap Lana dengan kepala tertunduk. “Seandainya hari itu…”

“Dis,” potong Baskara untuk kedua kalinya. “Penyesalan nggak akan bisa membuat waktu berputar kembali. Jadi, simpan saja rasa bersalah kamu itu sampai Lana sadar nanti. Dia lebih berhak mendengar permintaan maaf kamu daripada aku.”

Lana terdiam. Walaupun kata-kata tajam itu ditujukan untuk Disty, tapi Lana yang merasakan sakitnya.

“Maaf, Dis,” ucap Baskara kemudian. “Aku nggak bermaksud menyakiti perasaan kamu.”

“Nggak apa-apa, Bas,” balas Lana. “Aku paham maksud kamu.”

Lana kemudian mengalihkan pembicaaran karena tiba-tiba terlintas wajah Rani di benaknya.

“Kalau Bunda bagaimana, Bas?” tanya Lana. “Kamu sudah kasih kabar ke Bunda soal kecelakaan yang menimpa aku dan Lana?”

Kali ini Baskara menggeleng.

“Aku belum kasih tau Bunda Rani,” ucap Baskara dengan wajah murung. “Kondisi kesehatan Bunda Rani nggak stabil semenjak kamu pergi dari rumah. Aku nggak mau membuat Bunda Rani khawatir dan jatuh sakit.”

Kali ini perasaan bersalah di hati Lana sudah terlalu besar sampai dia tidak bisa lagi menahan air matanya. Lana pun menangis memikirkan Rani yang kini sendirian di rumah. Rani pasti akan sangat terpukul kalau dia tahu kedua putrinya kecelakaan sampai hampir mempertaruhkan nyawa.

Melihat Lana menangis, Baskara menepuk-nepuk pelan pundak gadis itu. Kemudian dia mengambil beberapa lembar tisu dari tas dan memberikannya ke Lana.

“Lebih baik kamu kembali ke kamar dan istirahat,” ucap Baskara saat Lana menghapus air mata yang membasahi pipinya. “Malam ini Karin akan datang untuk menjaga kamu.”

“Karin?” tanya Lana dengan suara sengau. “Sahabat Kak Disty?”

Lana langsung menutup mulut saat menyadari kesalahannya. Namun, Baskara sepertinya tidak menyadari kata-katanya tadi karena pemuda berwajah tampan itu hanya mengangguk. Lana pun langsung mengalihkan pembicaraan.

“Kamu kok bisa menghubungi Karin, Bas?” tanya Lana. “Kamu punya nomor ponselnya?”

“Dari bio Instagram kamu,” kata Baskara. “Aku ingat Lana pernah cerita kalau Karin itu sahabat sekaligus manajer kamu. Jadi aku cek Instagram kamu dan aku menemukan nomor Karin di sana. Terus aku menghubungi dia dan aku kasih kabar ke dia soal kecelakaan yang menimpa kamu. Lalu dia bilang dia akan ke sini malam ini setelah kerjaannya di Jakarta selesai.”

“Oh…”

Walaupun masih bingung mendengar penjelasan Baskara, Lana merasa sedikit lega. Paling tidak, kehadiran Karin bisa membantunya untuk mendapat info tentang Disty yang tidak pernah dia tahu. Seperti tempat tinggal dan kehidupannya setelah pergi dari rumah. 

Karena, mau tidak mau, Lana harus hidup sebagai Disty sampai kakaknya itu sadar dari koma dan mereka bisa menemukan cara untuk mengembalikan jiwa mereka yang tertukar.

“Aku masuk ke kamar Lana dulu ya, Dis,” ucap Baskara sambil beranjak dari kursinya. “Kamu juga kembali ke kamar kamu aja. Istirahat biar cepat sembuh.”

Lana mengangguk. Namun, dia tidak menuruti saran Baskara. 

Setelah Baskara masuk ke ruang 501, Lana berjalan menuju pintu ruangan itu, lalu dia mengintip Baskara dari kotak jendela di pinggir pintu.

Di dalam ruangan, Baskara tampak sedang menaruh tas milik Lana di nakas. Setelah itu, Baskara menghampiri Lana dan membelai pipi gadis itu. Matanya tampak sayu, menahan sedih sekaligus rindu. Kemudian, Baskara mendekat dan mencium lembut bibir Lana, seakan mengucapkan, “Aku kangen kamu, Lan.”

Melihat itu, Lana segera berbalik membelakangi jendela. Dadanya tiba-tiba terasa sakit. Namun bukan karena jantungnya berdetak lebih kencang. 

Aneh… Lana meremas kain pakaian yang menutupi dada kirinya. Aku cemburu dengan diriku sendiri.

“Salahkah kalau aku berharap tubuhku tidak usah bangun selamanya?” gumam Lana dengan mata merah menahan tangis. “Walaupun Baskara mencium bibirku, tapi bukan aku yang dia cium.”

Lana tidak tahu, kalau di saat yang sama, tubuhnya terbangun dan membalas ciuman Baskara.

***