Tulus Mencintai (Chapter 21)

Deva tidak pernah lagi menemui Gia di ruang rawatnya. Deva juga tidak pernah ada di ruang rawat Kemala setiap kali Gia datang menjenguk Kemala. Bahkan di saat kondisi Gia membaik dan dia bisa keluar dari rumah sakit. Seakan Deva benar-benar menghindar untuk bertemu gadis itu.

“Kamu yakin nggak mau pulang ke rumah Deva? Barang-barang kamu masih di sana, kan?” tanya Kemala saat Gia menemuinya untuk pamit pulang. “Atau, gimana kalau Oma minta Deva antar kamu pulang ke rumahmu? Oma yakin dia nggak akan menolak permintaan Oma.”

Gia menggeleng sambil memaksakan dirinya tersenyum. 

“Terima kasih, Oma. Feya dan Papi sudah menunggu aku di parkiran,” ucapnya. “Barang-barangku di rumah Deva akan aku ambil setelah Oma pulang nanti.”

“Sayang sekali…” sesal Kemala. Kemudian dia menggenggam tangan Gia. “Oma akan bantu  supaya Deva nggak menghindari kamu terus. Kamu yang sabar, ya?”

“Iya, Oma,” jawab Gia sambil kembali memaksakan senyum di wajahnya. “Oma jaga kesehatan, ya?”

Kemala mengangguk lalu memeluk Gia. Kemudian, dengan berat hati, dia melepaskan kepergian gadis itu.

***

Setelah pulang dari rumah sakit, Gia pun kembali melanjutkan hidupnya sebagai Giani Putri Darmawan. Gia membuka kembali toko kuenya, Cookies & Cake, yang sempat tutup sementara ketika dia “ditahan” di rumah Deva. Kini gadis itu menghabiskan waktunya seharian di sana. Menyibukkan dirinya dengan memanggang kue, menghias cookies, dan melayani pelanggan setia kue-kue buatannya. 

Namun, saat Gia pulang ke rumahnya, dia tidak bisa membohongi dirinya kalau dia merindukan rumah Deva.

Bukan. 

Gia merindukan Deva. 

Gia merindukan senyum dan tawanya. Gia merindukan erat genggaman tangannya. Gia merindukan hangat pelukannya. Sial, Gia bahkan merindukan omelannya.

Aku kangen kamu, Deva…

*** 

Ini hari Sabtu dan biasanya Gia membuka toko kuenya sampai malam karena ada banyak pelanggan yang datang. Namun kali ini pintu Cookies & Cake sudah ditutup bahkan sebelum posisi matahari ada di atas kepala. 

Semua ini karena Deva. Gia sangat merindukan pemuda itu hingga membuatnya hampir gila. Sejak semalam Gia terus memikirkan pemuda itu. Wajahnya terus terbayang, bahkan ketika Gia seharusnya fokus membuat adonan kue di dapur toko kuenya.

Oleh karena itu, Sabtu ini Gia menutup Cookies & Cake lebih cepat, dan dia pergi naik taksi online menuju rumah Deva. Dia tidak peduli jika Deva mengusirnya saat melihatnya nanti. Dia hanya ingin melihat wajah Deva dan memastikan keadaannya baik-baik saja. Setelah itu dia akan mengambil barang-barangnya dan kembali melanjutkan hidupnya tanpa bayang-bayang pemuda itu di kepalanya.

Namun, saat Gia tiba di depan gerbang rumah Deva, nyalinya mendadak ciut. Bagaimana kalau kedatangannya yang tiba-tiba ini membuat Deva semakin membenci dirinya? 

Oke, sepertinya ini ide yang buruk, batin Gia. Lebih baik aku kembali ke toko sebelum ada yang melihatku di sini. 

Sialnya, saat Gia berbalik ingin pergi, Satrio melihat gadis itu dari dalam posnya.

“Bu Gia!” Satrio tersenyum lebar lalu bergegas menuju pagar. “Bu Gia sudah sehat?”

Gia pun terpaksa berbalik dan membalas senyum Satrio.

“Halo, Pak,” sapa Gia ramah. “Pak Satrio apa kabar?”

“Kabar saya baik, Bu,” kata Satrio sambil membuka pintu pagar. “Silakan masuk, Bu.”

Gia terdiam sebentar. Sepertinya Satrio tidak tahu apa yang terjadi pada hubungan Gia dan Deva. Kalau Satrio tahu, dia pasti akan langsung menghubungi Deva. Bukan malah menyuruhnya masuk.

Ya sudahlah, ucap Gia dalam hati. Sudah terlanjur. Aku nggak bisa mundur lagi. Lagipula, tujuanku ke sini untuk mengambil barang-barangku. Bukan hanya untuk menemui Deva.

Gia menarik napas panjang untuk menghilangkan rasa gugupnya, lalu dia melangkah masuk ke pekarangan rumah Deva. 

“Saya pikir tadi Pak Deva pergi jemput Bu Gia di rumah sakit,” gumam Satrio sambil menutup kembali pintu pagar. “Ternyata bukan…”

Gia yang mendengar itu kembali menoleh ke Satrio yang kini berada di belakangnya. 

“Deva nggak ada di rumah, Pak?” tanyanya.

“Nggak ada, Bu,” jawab Satrio. “Pak Deva barusan pergi. Tapi, saya nggak tanya dia mau ke mana…”

“Oh…”

Seharusnya Gia lega karena Deva tidak ada di rumah. Tapi, entah kenapa, hatinya seperti dicubit.

“Kalau gitu, saya masuk ke dalam ya, Pak,” ucap Gia.

“Silakan, Bu,” kata Satrio. “Saya mau kembali jaga pos.”

Gia mengangguk, lalu dia melanjutkan langkahnya menuju gedung rumah Deva. Ke sangkar emas yang dulu sangat ingin dia tinggalkan.

Setelah masuk ke dalam rumah, Gia langsung menuju ke kamar Deva yang terletak di lantai 2. 

Pintu kamar Deva terkunci, tapi Gia tetap bisa membukanya. Saat Gia pingsan karena terkunci dalam kamar tanpa makanan waktu itu, Deva mengganti PIN pintu kamarnya menjadi 1310, yang merupakan gabungan tanggal lahir Deva dan Gia. Ternyata sampai hari ini PIN pintu kamar Deva tetap sama.

Saat Gia masuk ke dalam kamar, seluruh kenangannya bersama Deva tiba-tiba terbayang dalam ingatannya.

Saat Deva membuatkan bubur untuknya. Saat Deva menangis dalam pelukannya karena teringat kastengel buatan mamanya. Saat Deva menggodanya yang gugup karena mau bertemu Kemala. Saat Deva memeluknya erat karena tidak mau bangun dari tempat tidur. Semuanya.

Gia pun tidak bisa lagi menahan air matanya. Dia merindukan semua kenangan itu. Dia merindukan Deva.

Apa nggak ada cara supaya aku bisa kembali menghabiskan waktu bersama kamu, Dev?

***

“Bagaimana keadaan Kean, Dev?” tanya Kemala saat Deva muncul dari balik pintu ruang rawatnya.

Deva ternyata pergi untuk menemani Kemala yang masih dirawat di rumah sakit. Dia sama sekali tidak tahu kalau di saat yang sama Gia sedang berada di rumahnya.

“Dia sudah keluar dari rumah sakit,” jawab Deva sambil melangkah ke sofa di seberang tempat tidur. Dia tidak memberi tahu Kemala kalau sepupunya itu melarikan diri dari rumah sakit.

“Dia juga sudah memberikan surat pengunduran diri dari Adhikara Grup,” lanjut Deva sambil duduk di sofa dan menaruh kantong plastik berisi makanan ringan yang dibawanya ke atas meja sofa. “Ini aku bawa cemilan buat Oma. Dimakan, ya.”

“Terima kasih. Nanti Oma makan cemilannya kalau lapar,” jawab Kemala. Lalu dia kembali membahas Kean. “Bagaimana dengan kerjaan Kean di kantor? Kamu yang ambil alih?”

“Tentu saja,” kata Deva ketus. “Lagipula itu memang kerjaanku.”

Melihat wajah Deva yang masam, Kemala jadi tidak enak hati.

“Maafkan Oma, Deva,” ucapnya. “Oma bukannya mau memberikan posisi kamu ke Kean. Oma hanya mau kamu fokus membereskan masalah Adhikara Grup dengan Agatha Salim dan pihak Oliver. Kalau masalah itu sudah selesai, kamu bisa kembali menduduki posisi kamu di Adhikara Grup.” 

Deva diam, tidak menanggapi kalimat Kemala. Di kepalanya, dia sedang memikirkan Kean.

Sebelum Kean mengakui perbuatan jahatnya dan mengundurkan diri dari Adhikara Grup, Deva sebenarnya sudah mendapat info dari Rex tentang rencana busuk Kean yang ingin menghancurkan karir Deva dengan melakukan sabotase. Deva pun berencana untuk menuntut Kean, namun dia memilih tidak menceritakan soal itu ke Kemala. Lagipula, Kean kini menghilang entah ke mana. Percuma saja kalau Deva mencoba menuntut sepupunya itu sekarang.

“Masalah itu sudah beres, Oma,” kata Deva, akhirnya memberi tanggapan. “Oma tenang saja.”

“Lalu, bagaimana dengan masalah kamu dan Gia?” tembak Kemala. “Apa kamu sudah bertemu lagi dengan Gia? Atau kamu masih menghindari dia?”

Untuk kali ini Deva kembali tidak memberi tanggapan. Dia malah membuka bungkus biskuit yang sebenarnya dia beli untuk Kemala, dan memakannya. 

“Mental tempe kamu, Deva!” seru Kemala, jengkel. “Kemarin kamu menangis seperti bocah karena takut kehilangan Gia. Sekarang kamu menghindari Gia hanya karena dia menolak kamu? Payah!”

Deva hanya bisa menghela napas panjang saat mendengar omelan Kemala. Deva kemudian menaruh kembali bungkus biskuit di tangannya ke dalam kantong plastik dan bangkit dari sofa.

“Kamu mau ke mana?” tanya Kemala.

“Aku mau pulang, Oma,” kata Deva sambil melangkah ke pintu. “Aku ngantuk. Kurang tidur.”

“Alasan saja kamu!” semprot Kemala.

Namun Deva kembali tidak menanggapi Kemala. Dia hanya melambaikan tangan tanpa melihat ke arah nenek tersayangnya itu. Lalu dia pergi meninggalkan ruangan sebelum Kemala kembali menyinggung nama Gia.  

***

Gia sudah memasukkan barang-barangnya ke dalam kopernya. Dia juga sudah merapikan kamar Deva seakan dia tidak pernah menempati kamar itu selama beberapa bulan ini. Selain itu, dia juga sudah memantapkan hatinya. 

Setelah Gia melangkah keluar dari kamar Deva, dia akan meninggalkan semua kenangannya bersama pemuda itu.

Namun, saat Gia keluar dari kamar Deva dan turun ke lantai dasar, langkahnya malah berbelok ke arah dapur.

“Aku hanya ingin meninggalkan seloyang kastengel untuk Deva,” kata Gia memberi alasan ke dirinya sendiri. “Sebagai ucapan terima kasih karena dia sudah memperlakukanku dengan cukup baik selama tinggal di rumah ini.”

Gia lalu menaruh kopernya di dekat meja makan. Kemudian dia melangkah ke lemari dapur untuk mengambil bahan-bahan yang dia perlukan. Setelah itu dia membuat adonan kastengel terbaiknya untuk Deva.

***

Satu jam berlalu, dan kastengel buatan Gia pun matang. Saat Gia mengeluarkan loyang kastengel dari oven, terdengar suara langkah yang mendekat. Gia menoleh, dan dia pun terpaku. 

Ternyata, Deva sudah berada di dapur dan dia sedang menatap Gia. 

“Dev…”

Akhirnya…

Gia menaruh loyang kastengel di tangannya ke atas meja dapur, lalu dia memberanikan diri menghampiri Deva. Tetapi langkah Gia berhenti saat menyadari ekspresi datar di wajah Deva. 

“A-aku…” Gia menelan ludah untuk menghilangkan rasa gugup yang membuatnya terbata-bata. “Aku ke sini hanya untuk mengambil barang-barangku…”

Deva diam. Gia pun kembali memberi penjelasan ke pemuda yang tatapannya dingin itu.

“Itu…” Gia menoleh ke loyang di atas meja dapur. “Maaf, aku pakai dapur kamu tanpa izin. Aku bikin kastengel satu loyang buat kamu. Sebagai permintaan maaf dan sebagai tanda perpisahan…”

Deva tetap diam. Gia pun semakin gugup memberi penjelasan ke pemuda yang sudah mengacak-acak perasaannya itu.

“T-tapi, kalau kamu nggak mau, nggak apa-apa kok,” kata Gia. Bibirnya memaksakan senyum walau kedua matanya mulai berkaca-kaca. “Aku akan buang kastengel itu. Atau aku…” 

Namun, belum selesai Gia bicara, Deva tiba-tiba mendekat dan memeluknya.

“Dev…?”

Sebenarnya Gia senang dipeluk seperti itu. Deva tidak tahu betapa Gia merindukan pelukannya itu. Namun, di satu sisi, Gia bingung dengan perubahan sikap Deva. Kenapa pemuda itu tiba-tiba memeluknya setelah menatapnya dengan ekspresi datar seperti tadi?

“Aku pikir aku sudah gila,” gumam Deva. “Aku pikir aku terlalu merindukan kamu sampai  berhalusinasi melihat kamu di sini.”

Mendengar itu, Gia tersenyum dalam pelukan Deva.

“Kamu nggak gila, Dev,” ucap Gia. “Kamu nggak sedang berhalusinasi. Aku memang ada di sini. Di depan kamu.”

Dengan senyum lega Deva memeluk Gia lebih erat. Dia pun senang karena hatinya ternyata tidak sakit saat bertemu Gia.

Tahu begitu, Deva akan menemui Gia lebih cepat. Bukan membiarkan dirinya menderita dengan menghindari gadis itu berhari-hari.

***

“Saya baru pulang dari rumah sakit. Habis jenguk Oma,” cerita Deva saat mereka berdiri di depan meja dapur, menunggu kastengel buatan Gia dingin dan bisa aman dilepaskan dari loyang. “Waktu saya masuk kamar, saya sadar barang-barang kamu sudah nggak ada. Terus, pas saya mau nanya ke Pak Satrio apakah kamu ke sini, saya mencium wangi kastengel. Akhirnya saya ke dapur. Dan ternyata kamu memang ada di sini…”

Deva lalu menatap lantai keramik di bawah kakinya dengan senyum murung. 

“Jujur, saya pikir saya sudah gila,” ucapnya. “Sejak hari itu… saya mati-matian menghindari kamu. Tapi, akibatnya saya jadi sangat merindukan kamu dan mulai membayangkan kehadiran kamu di mana-mana…”

Mendengar pengakuan Deva, Gia pun semakin merasa bersalah.

“Maafin aku, Dev. Aku sudah menyakiti perasaan kamu,” ucap Gia penuh sesal. “Aku benar-benar menyesal sudah menolak perasaan kamu. Padahal aku juga punya perasaan yang sama dengan kamu…” 

Mendengar pengakuan Gia, Deva mengangkat kepalanya dan menatap gadis itu.

“Aku akhirnya paham kenapa kamu selalu memintaku untuk memikirkan perasaanku lebih dulu dibandingkan perasaan orang lain,” lanjut Gia, tidak mempedulikan pipi dan telinganya yang memerah. “Karena ternyata membohongi perasaanku sendiri rasanya sangat menyakitkan. Dan hatiku terasa semakin sakit karena di saat yang sama aku juga menyakiti perasaan orang yang kusayang. Jadi… maafin aku ya, Dev?”

“Nggak, Gia. Kamu nggak salah. Saya yang seharusnya minta maaf sama kamu,” ucap Deva. “Waktu itu kamu sedang sakit dan baru sadar dari pingsan. Kamu juga nggak tau apa pun tentang pembatalan pernikahan saya dan Feya, tapi saya malah tiba-tiba menyatakan perasaan saya ke kamu. Jadi, wajar kalau kamu menolak saya. Yah, walaupun saya sedikit kecewa, tapi saya nggak sakit hati soal itu. Jadi, kamu jangan merasa bersalah.”

“Tapi, kenapa kamu nggak pernah menemui saya lagi sejak hari itu?” tanya Gia, penasaran. “Kenapa kamu malah menghindari saya?”

Wajah Deva pun seketika memerah. Namun akhirnya dia menjawab pertanyaan Gia.

“Saya malu,” ucapnya. “Karena itu pertama kalinya saya ditolak perempuan. Saya nggak tau di mana saya harus menyimpan rasa malu itu saat bertemu kamu lagi.”

Gia pun tertawa mendengar pengakuan Deva. Dia tidak menyangka kalau itu alasan kenapa Deva menghindarinya. Dia pikir Deva membencinya karena sudah menolak perasaannya.

“Waktu saya dengar kalau kamu sudah boleh pulang dari rumah sakit, saya sebenarnya ke kamar kamu,” lanjut Deva. “Tapi saya terlambat. Kamu sudah nggak ada di sana.”

“Oh…”

Sayang sekali, batin Gia. Seandainya kamu datang lebih cepat, kita mungkin nggak perlu menderita seperti orang gila selama beberapa hari ini…

“Tadi Oma membahas soal kamu,” lanjut Deva. “Oma meledek saya payah karena terus menghindari kamu. Karena nggak terima diledek begitu, besok saya berencana menemui kamu. Tapi ternyata saya kalah cepat dari kamu. Mungkin saya memang punya mental tempe seperti yang dikatakan Oma. Hehe…”

Gia menatap Deva yang tesenyum malu. 

Karena Gia tidak ingin kehilangan senyum itu lagi, dia pun memberanikan diri untuk bertanya.

“Dev?”

“Ya?”

“Kamu… masih punya perasaan yang sama ke aku? Seperti yang waktu itu kamu ungkapkan di rumah sakit?” 

Deva balas menatap Gia. 

“Masih…,” ucap Deva. “Perasaan saya ke kamu masih sama. Nggak berkurang sama sekali. Justru semakin bertambah hari ini.”

Lalu, Deva balik bertanya.

“Gia?”

“Iya?” 

“Apa kali ini kamu mau menerima perasaan saya?”

Dengan pipi memerah Gia pun mengangguk. 

Deva lalu menarik Gia dalam pelukannya. Mereka pun berpelukan, lebih erat dari yang tadi. Sementara bibir mereka membentuk senyum lega. 

Akhirnya perasaan mereka benar-benar saling bersambut. Tidak ada lagi pura-pura. Tidak ada lagi kebohongan.

Deva lalu melepas pelukannya, dan menatap wajah Gia.

“Kenapa?” tanya Gia dengan pipi memerah. “Ada noda tepung ya, di mukaku?”

Deva menggeleng, lalu menelan ludah.

“Saya… boleh cium kamu?” tanyanya dengan pipi yang juga memerah. “Saya nggak mau digampar seperti waktu di Filipina. Jadi saya mau minta izin dulu sama kamu.”

Gia tidak menjawab. 

Tapi, kemudian Gia berjingkat, lalu mengecup lembut bibir Deva. 

Deva pun memahami jawaban Gia. Deva lalu merangkup wajah Gia dengan kedua tangannya, dan membalas lembut kecupannya. Mereka pun berciuman, seperti yang selama ini ingin mereka lakukan.

***

Beberapa bulan kemudian…

Langit sudah gelap saat Deva turun dari mobil sedan mewahnya yang diparkir di depan Cookies & Cake. Seperti biasa, Deva menjemput Gia pulang dari toko kuenya. Tapi khusus malam ini mereka akan mampir dulu ke sebuah restoran di kawasan Kemang untuk makan malam bersama Kemala untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-71. 

“Hai,” sapa Deva saat dia masuk ke dalam toko. Lalu dia menghampiri Gia yang sedang mengambil beberapa stoples kue kering di rak. “Sudah siap?”

“Hai,” balas Gia dengan senyum yang manis. “Sebentar ya. Aku mau bungkusin kue-kue ini buat Oma.”

“Kamu jangan terlalu sering kasih kue ke Oma,” kata Deva. “Nanti Oma keenakan dan toko kue kamu bisa bangkrut.”

Gia tertawa. “Bilang aja kamu iri.”

“Sedikit,” ucap Deva sebelum ikut tertawa dengan Gia.

“Kamu sudah menyiapkan hadiah buat Oma, Dev?” tanya Gia setelah mereka berhenti tertawa. “Kalau belum, kita bisa mampir dulu ke mal untuk cari hadiah. Masih ada cukup waktu.”

“Nggak perlu,” kata Deva. “Oma nggak suka dikasih hadiah.”

“Oh…” gumam Gia sambil menaruh stoples ke dalam kantong kertas. “Terus, apa yang Oma suka?”

“Mencubit pipi saya.” Deva lalu langsung meralat kata-katanya. “Mencubit pipiku.”

Sejak resmi pacaran, Gia meminta Deva berhenti memakai kata “saya” saat bicara dengannya supaya hubungan mereka tidak terlalu formal. Tapi, sesekali Deva masih suka lupa.

“Kenapa Oma suka sekali mencubit pipi kamu?” tanya Gia setelah menertawakan jawaban Deva.

“Karena dulu aku jarang berekspresi,” jawab Deva. “Waktu kedua orangtuaku meninggal, aku sempat mati rasa selama beberapa tahun. Ekspresi wajahku selalu datar, seakan memakai topeng. Makanya Oma suka mencubit pipiku supaya aku berekspresi dan wajahku nggak terlihat angkuh seperti karakter tuan muda di sinetron.”

“Maaf, Dev,” ucap Gia sambil membelai lembut pipi Deva dengan satu tangannya. “Aku nggak tau…” 

“Nggak apa-apa,” kata Deva sambil menyandarkan pipinya ke telapak tangan Gia. “Kamu nggak perlu minta maaf.”

“Aku senang kamu sekarang sudah nggak seperti tuan muda yang angkuh dan galak,” lanjut Gia sambil mencubit gemas pipi Deva. “Sekarang kamu lebih banyak senyum. Kamu juga lebih terbuka mengekspresikan perasaan kamu.” 

“Berkat kamu,” ucap Deva sambil mengecup kening Gia. “Aku nggak perlu bersembunyi di balik topeng lagi.”

“Tapi aku kangen juga sama Tuan Muda Radeva Adhikara,” ujar Gia dengan mata yang bersinar jail. “Aku suka melihat tatapan dinginnya.”

Mendengar itu, Deva menegakkan kepalanya dan tatapan matanya berubah dingin. 

“Jadi, kamu sudah siap berangkat atau belum, Giani?!” tanyanya ketus. “Saya sudah lapar nih! Lelet banget sih kamu!”

“Siap, Tuan Muda,” jawab Gia, setengah meledek sekaligus mengikuti permainan Deva.

Deva pun cemberut mendengar ledekan Gia. Sementara Gia tertawa geli saat melihat wajah masam Deva.

“Jangan panggil aku ‘Tuan Muda,’” larang Deva. “Aku nggak suka dengarnya.”

“Baik, Tuan Muda,” balas Gia sambil menahan tawa.

Deva pun mencubit pelan pipi Gia sebelum mengecup bekas cubitannya di pipi gadis itu dengan gemas. Sementara Gia tersenyum senang karena bisa bebas bercanda dengan Deva.

“Aku panasin mobil dulu ya,” ucap Deva setelah mereka selesai bercanda. 

“Oke,” kata Gia. “Aku mau matiin lampu dapur dulu.”

Sebelum Deva dan Gia beranjak dari tempat mereka, ponsel Gia tiba-tiba berbunyi. Gia pun termenung saat melihat nama yang muncul di layar ponselnya.

“Kenapa?” tanya Deva saat melihat Gia hanya memandangi ponselnya yang terus berdering. “Telepon dari siapa?”

Deva lalu melihat nama “Nick” di layar ponsel Gia. Deva lalu mengambil tangan Gia untuk menggeser tombol “terima” di layar ponsel.

“Halo?” Terdengar suara berat Nick di seberang telepon. “Gia?” 

“Halo?” Gia akhirnya bicara. “Ada apa, Nick?” 

“Aku pikir kamu nggak mau ngomong sama aku lagi,” ucap Nick dengan suara yang terdengar lega sekaligus jengkel. “Kenapa kamu nggak menghubungi aku sama sekali setelah aku mutusin kamu? Kamu sudah nggak suka sama aku?”

Deva menatap Gia untuk meminta izin. Setelah Gia mengangguk, Deva meraih ponsel Gia dan menjawab pertanyaan Nick. 

“Hai, Nick,” sapa Deva. “Maaf, saya harus mematikan telepon kamu. Gia lagi sibuk bulan madu sama saya.”

“Ini siapa?” tanya Nick jengkel. “Jangan bercanda ya! Kasih teleponnya ke Gia sekarang juga!”

“Saya Radeva Adhikara, suami Gia. If you’ve never heard my name before, Google it!”

Deva lalu mematikan telepon Nick. Sementara Gia tertawa sambil mengacak puncak kepala Deva. 

“Kamu ada-ada aja sih, Dev,” ucap Gia. “Kamu nggak perlu bercandain Nick kayak gitu. Kalau dia syok, gimana?”

“Tapi aku nggak bercanda,” kata Deva. “Kita memang akan bulan madu. Kalau kamu menerima lamaranku.”

Gia pun berhenti tertawa saat melihat wajah Deva yang berubah serius.

“Maksud kamu apa?” tanya Gia dengan jantung yang tiba-tiba berdetak kencang. “Jangan bercanda ya, Dev…”

Tapi, Deva tidak bercanda. Dia meraih tangan Gia, dan melepas cincin di jari manis Gia yang dia pasangkan saat mereka “menikah” dulu. Lalu dia menggantinya dengan cincin emas putih bermata berlian yang dia pesan khusus untuk Gia, yang dari tadi ada di saku celananya. 

“Sebenarnya aku mau melamar kamu di depan Oma nanti, tapi lebih baik aku melamar kamu sekarang sebelum Nick memesan tiket pesawat ke Jakarta untuk menemui kamu,” ucap Deva sambil tersenyum senang karena cincin darinya sangat cantik menghiasi jari manis Gia. Kemudian dia menatap gadis kesayangannya itu. “Giani Putri Darmawan, perempuan yang membuat hidupku penuh cinta, maukah kamu menikah denganku?”

Mendengar pertanyaan Deva, Gia malah termenung. Dia pikir, dia sedang bermimpi. 

Nggak mungkin Deva tiba-tiba melamarku begini… 

Namun saat Gia melihat wajah Deva yang menunggu jawabannya dengan penuh harap, gadis itu pun sadar kalau dia tidak sedang bermimpi. Pemuda yang dia cintai itu benar-benar sedang melamarnya. Air di kedua mata Gia pun langsung menggenang.

“Tentu, Radeva Adhikara,” jawab Gia dengan senyum haru. “Aku mau menikah dengan kamu.”

Gia pun memegang pipi Deva dan mencium lembut bibirnya, sebelum Deva membalas ciumannya dan menarik tubuhnya dalam pelukan. Mereka pun berpelukan dengan penuh haru.

Deva tidak peduli kalau nanti publik bertanya-tanya kenapa dia menikah lagi dengan istri yang sama tapi nama yang berbeda. Yang penting, dia mencintai Gia, dan Gia mencintainya. 

Tulus, bukan terpaksa.

TAMAT