Luka Lama Terbuka (Chapter 18)

Kaca jendela ruang Danilla siang itu tampak berembun karena Jakarta telah dilanda hujan yang deras sejak tadi pagi. Pukul 15.30, shift Danilla sudah berakhir.  Di dalam ruangan yang serba putih, namun diterangi oleh warna sofa yang lilac dan beberapa hiasan ruangan yang bernuansa lilac. Danilla dan Indy tampak berbincang berdua. Hot dark mocha milik Danilla hanya diseruput tiga kali dan brownies espresso-nya masih utuh. Sementara, Iced cold brew milik Indy sudah hampir habis sekaligus dengan chocolate croissant yang tinggal dilahapan terakhir. Indy tampak emosional bahkan mengelap begitu saja mulutnya setelah melahap chocolate croissant-nya. 

“Gila emang tu cowok, kalo emang mau putus ngga usah pake drama kaya gitu lah! Childish banget! Seriusan deh, kalo ketemu gue mau confront atau sekalian aja gue ajak perang di Instagram-nya dia. Ihh ya Tuhan kesel banget!” Indy tampak marah saking gemasnya.

“Tapi mungkin dia juga pengen ngungkapin itu sama gue setelah sekian lama gue bersikap ngga adil. Harusnya dari dulu gue emang udah mutusin hubungan gue sama dia.” 

“Gue mengakui lo juga salah sih, Dan. Lo gak pernah jujur sama perasaan lo sendiri. Seriusan deh, lo gak usah ga enakan mulai dari sekarang. Lama-lama, perasaan itu hanya akan membunuh lo dengan ketidaknyamanan. Even, lo harus membuka masa lalu, ngga apa-apa lo ungkapin aja.” Perkataan Indy benar-benar menohok hati Danilla. Danilla pun jadi teringat perkataan Chelsea yang seakan menyindirnya atau dia akan mulai tau sesuatu tentang masa lalunya dengan Langit. 

“Dan, tapi lo sendiri ngga apa-apa, kan? Lo banyak ngelamun deh hari ini. Apa lo beneran udah ga enak sama Fikar?” 

“Kemarin Chelsea dateng ke rumah Tantenya Langit. Trus kayanya dia tuh udah mulai curiga kenapa gue sama Langit itu kaya ngga sengaja bersama.” 

“Wah, what a day ya, kemarin. Trus-trus gimana?” 

Sesaat Danilla menyeruput dark mochanya, seorang perawat mengetuk kemudian masuk ke dalam ruangan Danilla. Saat melihat perawat yang dikenali oleh Indy itu, Indy baru keingetan kalau dia harus segera visit pasien. 

“Dokter Indy—” 

“Ya Tuhan iya, yuk suster Anna. Dan, gue harus visit dulu. Lo tenangin diri lo dulu ya. Makan yang enak-enak. Nanti kalo ada apa-apa, kontak gue.”

“Thank you, Ndy.”

Danilla menghadapkan badannya lagi ke depan laptopnya dan berusaha fokus dengan pekerjaannya. Hanya selang beberapa menit, ketukan pintu kembali berbunyi. Danilla menoleh sebentar dan mempersilakan masuk. Di balik pintu ternyata ada Chelsea yang mencoba tersenyum. 

“Halo Dan.”

“Dokter Chelsea, masuk.” 

“Iya dok, silakan duduk.”

“Ada yang ingin aku bicarain sama kamu.” Chelsea mengatakannya dengan cukup tegas, bahkan tidak seperti biasanya dia yang ramah. Danilla kali ini lebih gugup dan menyadari pasti ada sesuatu yang Chelsea ketahui.

“Sejak kamu dan Langit kehujanan di pos dua, bahkan sejak Langit makan masakan aku yang dibumbui sama kamu. Aku sadar kalo Langit belum sepenuhnya bisa sama aku. Kalian beruntung banget bisa dipertemukan lagi. Dan Langit menyatakan kalau kalian berdua belum selesai.” Ucapan Chelsea yang terakhir membuat Danilla merasa benar-benar tidak enak.  

“Maaf, Chel. Kalo kamu—” 

“Aku belum selesai.” Chelsea dengan tegasnya mengucapkan hal itu. Baru kali ini Danilla tertegun dengan ketegasan Chelsea. Kali itu, Danilla akhirnya melihat sikap Chelsea seperti kepada perawat atau petugas medis. Tegas dan cukup penuh kuasa. Danilla hanya bisa menunduk lemah karena tidak ingin memperkeruh suasana. 

“Perjodohan kami juga hanya karena balas budi. Papaku membantu papanya Langit saat menjelang masa pensiun dininya. Lalu kami dipertemukan di kamp tempat Langit Latihan. Dia adalah lelaki yang tegas dengan tujuannya, walaupun dingin, tapi hatinya hangat. Aku jatuh cinta sama dia. Tapi hampir setahunan menjajaki karakternya, aku masih ngerasa ada seseorang yang dia pikirin. Dan Itu kamu, Danilla. Aku memang belum berhasil sepenuhnya untuk dapetin hatinya.” 

“Bagi aku kami sudah selesai, Chel.” 

“Tapi bagi dia belum. Dia juga yakin, kamu masih mengharapkan dia, tapi kamu pasti ngga enak sama aku dan pacar kamu.” Chelsea benar-benar begitu yakin dan tegas mengucapkannya.  Danilla cukup tertegun dan tidak tau apa yang harus dia katakan saat itu pada Chelsea. Dalam beberapa saat, mereka hanya terdiam dan seribu kali canggung menyiksa keduanya. 

“Langit ingin menyudahi perjodohan kami. Mungkin dia sekarang lagi berbicara dengan om Biru.” Chelsea menghela nafas berat. Danilla benar-benar sedih.

“Aku menyesali pertemuanku lagi dengan Langit, Chel. Kalo pertemuan itu ngga ada, dan nantinya aku tau kalau dia berakhir sama kamu. Aku pasti bahagia. Karena kamu baik dan tulus ingin berusaha buat dia. Maafin aku, kalo kamu harus tau dengan cara seperti ini. Tapi walaupun hubungan aku udah berakhir dengan Fikar, aku tetap ngga akan kembali lagi hanya untuk merenggut kebahagian orang lain.” 

Chelsea tertegun mendengar ucapan Danilla. “Aku harap kamu jujur sama hati kamu sendiri, Dan. Jangan sampai kamu menyesal nanti.” 

***

Langit sudah menumpahkan semua perasaannya kepada Biru. Biru hanya terduduk. Wajah tegas dan datarnya mirip dengan Langit. Namun, kini berubah dengan mulai kesal dengan perkataan Langit yang menyatakan untuk memutuskan untuk tidak bertunangan dengan Chelsea. Terlebih, saat mendengar kalau Danilla kembali ke kehidupan Langit. 

“Kenapa kamu harus ketemu sama perempuan itu? Apa perempuan itu balas dendam karena perkataan papa?” Biru mengeluarkan perkataan yang membuat Langit terkejut. 

“Maksud papa apa?” 

“Papa udah ingatkan dia untuk jauhi kamu, karena dia itu pengaruh buruk buat kamu. Kamu sampai ngga mau meneruskan akademi dan meninggalkan papa ke Bandung. Hanya karena si Danilla itu. Kamu ngga sadar kalau dia udah merenggut banyak waktu kamu?” 

Serpihan puzzle dalam hati Langit yang selalu menanyakan kenapa Danilla meninggalkannya dulu, kini mulai terjawab. Biru tau kalau Langit mulai kecewa dengan masa lalu yang tidak pernah diungkapnya. 

“Papa ngga mau kamu sedih kalau nanti sama dia, dia udah ngga punya siapa-siapa. Kamu udah merasa sendirian dari dulu karena ketidakberadaan mama. Sekarang kalo kamu punya keluarga baru yang hanya sendirian, kamu hanya akan terbunuh oleh rasa sepi itu.” 

Langit makin speechless dengan perkataan Biru yang makin membingungkan. Langit berusaha mengumpulkan energi positifnya supaya tidak murka kepada Biru. 

“Pa, kenapa papa berpikir sejauh itu? Keberadaan Danilla dari dulu, bahkan sampai kemarin di kota Bima, adalah Pelangi untuk kehidupan Langit, pa. Hidup Langit sangat berwarna dan merasa disayangi dengan tulus. Berarti, Danilla benar-benar mematuhi perkataan papa. Dia ngga mau kembali sama Langit. Tapi Langit yang ingin kembali sama dia, pa. Apa Langit masih kurang menuruti keinginan papa? Apa dengan masuk TNI AD kurang pa?” 

“Papa hanya ingin kamu bahagia dengan sempurna, Langit.” 

“Apa papa kira aku bahagia? Langit yang merasakan lho, pa. Aku senang jadi kapten, karena aku ambisius dan apapun yang ada di depan aku, pasti aku kejar sampai dapat. Itu berlaku sama dengan Danilla, pa. Hanya sama dia, aku bener-bener bisa memiliki ambisi yang baik untuk aku dapatkan.” Langit dengan tegasnya mengatakan itu dengan keyakinan. 

“Papa takut aku kesepian? Dari dulu papa juga ngga pernah mengisi kesepian aku, pa. Padahal papa yang ada bersama aku. Papa sibuk sendiri lalu malah menghentikan kebahagiaan aku dengan memisahkan aku dengan Danilla. Dan ngga benar kalau dia mempengaruhi Langit, pa. Dia selalu minta aku jagain papa, nurutin keinginan papa karena dia tau gimana rasanya hidup dengan orang tua yang hanya tinggal separuh. Danilla kembali karena Langit rasa itu memang takdir Tuhan yang mempertemukan kita. Bukan karena keinginan dia, pa.” 

Biru kini tertegun dan tidak bisa berkata apa-apa pada Langit yang mulai merasa marah. Bahkan walau Langit sudah menahannya, tetap saja Langit marah dengan papanya. 

“Langit tetap ngga mau meneruskan perjodohan ini, pa. Langit ngga mau menyakiti hati Chelsea dan keluarganya. Dan papa ingat, ini bukan karena Danilla. Kalaupun Danilla ngga mau sama Langit. Langit akan tetap meninggalkan Chelsea. Langit pamit ada urusan dulu, pa. ” 

Langit pergi dari hadapan Biru yang bahkan tidak menjawab pamitnya. Biru merasa benar-benar terpukul dengan perkataan Langit yang tengah dewasa dan yakin dengan pilihannya.