The Truth Unfolds (Chapter 17)

“Dev, kenapa hubungan kamu dengan Kean jadi buruk seperti ini?” tanya Gia sambil memperhatikan wajah Deva yang kembali muram. “Sebenarnya ada masalah apa di antara kalian?”

“Saya nggak ada masalah sama Kean,” kata Deva. “Tapi dia ada masalah dengan saya.”

“Masalah apa?”

“Kean menganggap orangtua saya yang membunuh ibunya.”

Gia pun terpaku mendengar kata-kata Deva. Membunuh?

Melihat wajah Gia yang nampak bingung, Deva akhirnya memutuskan untuk cerita tentang kisah kelam Keluarga Adhikara.

“15 tahun yang lalu, saya masih berumur 10 tahun dan Kean berumur 9 tahun. Saat itu Opa sudah tiga tahun meninggal dunia. Posisi beliau di Adhikara Grup diduduki oleh Oma, sementara papa saya sebagai wakilnya. Karena terlalu sibuk bekerja, kondisi kesehatan Oma perlahan memburuk hingga beliau harus bolak-balik rumah sakit. Oma lalu memutuskan untuk memberikan posisinya di Adhikara Grup ke Tante Dinda, mamanya Kean.”

“Kenapa Oma kasih posisinya ke Tante Dinda? Bukannya papa kamu adalah wakilnya Oma?”

“Karena Om Takuya, papanya Kean, ingin membawa Tante Dinda dan Kean pindah ke Jepang bersamanya. Om Takuya beralasan Tante Dinda nggak diwasiatkan untuk mengurus Adhikara Grup oleh Opa, sehingga Tante Dinda nggak perlu bertahan tinggal di Indonesia. Jadi, selain karena kondisi kesehatan Oma yang semakin menurun, Oma memberikan posisinya di Adhikara Grup ke Tante Dinda supaya mereka nggak jadi pindah ke Jepang.”

“Oh…” 

“Sebenarnya papa saya memang lebih berhak menjadi pimpinan Adhikara Grup karena papa saya adalah anak pertama di keluarga Adhikara, dan almarhum Opa mewariskan Adhikara Grup ke papa saya. Tapi, karena papa saya juga nggak mau melepaskan adik kesayangannya pindah ke Jepang, papa saya setuju saat Oma meminta haknya di Adhikara Grup diberikan ke Tante Dinda.”

“Kalau papa kamu setuju memberikan haknya, di mana letak masalahnya?” tanya Gia semakin bingung.

“Masalahnya dimulai saat Tante Dinda berkunjung ke pabrik baru Adhikara Grup di Sukabumi. Harusnya itu tugas papa saya, tapi karena Tante Dinda akan menjadi pemimpin baru Adhikara Grup, papa saya meminta Tante Dinda yang pergi ke sana supaya banyak mendapat ilmu baru. Tante Dinda pun setuju. Akhirnya Tante Dinda pergi ke Sukabumi menggunakan pesawat pribadi keluarga kami. Sialnya, pesawat itu mengalami kecelakaan saat mau mendarat, dan Tante Dinda tewas dalam kecelakaan itu.

“Di saat keluarga kami sedang berduka atas kepergian Tante Dinda, Om Takuya malah marah-marah. Om Takuya nggak terima dengan kepergian Tante Dinda yang menurutnya janggal. Beliau pun menuduh papa saya yang sudah membunuh Tante Dinda. Beliau bilang, papa saya  yang merencanakan pembunuhan Tante Dinda karena papa saya kesal sama Tante Dinda yang sudah mengambil haknya di Adhikara Grup. Makanya papa saya sengaja menyuruh Tante Dinda untuk menggantikan tugasnya dan pergi ke Sukabumi naik pesawat naas itu.  

“Untungnya, tuduhan Om Takuya nggak terbukti. Kejadian naas yang menimpa Tante Dinda murni kecelakaan. Karena malu, Om Takuya kabur membawa Kean ke Jepang, dan mereka menetap di sana. Kami pun nggak berhubungan lagi dengan mereka, tapi Oma punya informan yang selalu melaporkan kabar tentang mereka. 

“Waktu Kean lulus SMA, Om Takuya meninggal dunia karena sakit gagal ginjal. Oma lalu membawa Kean kembali ke keluarga kami, tapi dia nggak langsung kembali ke Indonesia. Dia kuliah di Australia dan menetap di sana. Sesekali saya dan Oma mengunjungi dia di sana. Setelah dia mendengar saya mau menikah, baru dia datang ke Jakarta.”

Gia diam mencoba mencerna cerita Deva. Sementara  Deva kembali melanjutkan ceritanya. 

“Kejadian di garasi kemarin mengingatkan saya dengan kejadian 15 tahun lalu itu. Waktu itu saya dan Kean main bola di garasi, lalu Kean cerita kalau dia akan pindah ke Jepang karena papa saya sudah membunuh mamanya. Saya marah mendengar papa saya dituduh pembunuh, jadi saya dorong Kean hingga dia jatuh dan menangis. Tapi setelah itu saya langsung minta maaf ke Kean karena  merasa bersalah. Saya seharusnya nggak marah dengan anak kecil yang masih polos dan sedang berduka itu. Tapi… untuk kejadian kemarin saya nggak akan minta maaf karena saya akhirnya sadar apa maksud Kean datang ke rumah ini.”

“Maksud kamu?”

“Kean ingin balas dendam atas kematian Tante Dinda,” ucap Deva, “dan dia mau merebut semua hal yang dia pikir adalah haknya.”

“Seperti rumah ini dan posisi kamu di Adhikara Grup?”

“Betul. Dan juga…”

Kamu, tambah Deva dalam hati sambil menatap Gia.

“Dan juga apa?”

Gia penasaran, namun Deva tidak menjawab Gia dan langsung mengalihkan pembicaraan. 

“Yang pasti, sekarang saya harus segera menyelesaikan masalah sabotase ini. Saya nggak bisa membiarkan Kean terlalu lama memimpin Adhikara Grup,” ucap Deva dengan wajah khawatir. “Saya nggak mau melihat Kean menghancurkan perusahaan yang susah payah dibangun oleh Opa hanya karena ingin balas dendam atas hal yang dia nggak tau kebenarannya.”

Mendengar itu, Gia juga jadi khawatir. Namun, di satu sisi, Gia tidak yakin Kean akan tega melakukan itu. Di mata Gia, Kean adalah pemuda yang baik. Kean yang menghibur dan menemani Gia saat menjadi “tahanan” Deva. Kean juga terlihat sangat menyayangi Kemala dan Deva walau Deva sering ketus menanggapi sepupunya itu. Kean yang memiliki senyum yang manis itu tidak mungkin menyakiti keluarganya sendiri. 

Ya, kan? Gia bergumam dalam hati sambil mengigit bibir bawahnya.

***

Di saat yang sama, Kean sedang tertawa terbahak-bahak di balkon apartemennya yang terletak di pusat Jakarta. Dia baru saja menerima telepon dari Kemala yang menyuruhnya menggantikan posisi Deva di Adhikara Grup.

“Ternyata gampang juga menjatuhkan Deva dari posisinya,” ucap Kean di sela tawanya. “Ternyata anak pembunuh itu nggak sehebat yang gue kira. Hahaha!”

Kean lalu diam menatap jalanan ibu kota yang padat oleh kendaraan. Dari lantai 23 gedung apartemennya, mobil-mobil itu terlihat seperti mobil mainan yang dulu sering dia mainkan bersama Deva. 

“Sebentar lagi gue akan mengambil kembali semua hak keluarga gue yang diambil oleh keluarga Deva,” ucap Kean yang kemudian tersenyum getir. “Walaupun mama dan papa sudah nggak ada di dunia ini…”

Kean lalu mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.

“Halo?” Kean tersenyum saat orang yang dia hubungi membalas sapaannya. “Aku cuma mau kasih kabar soal komisi kamu. Sebentar lagi aku akan transfer uangnya ke rekening kamu yang di Kanada.”

Kean diam sebentar mendengar apa yang diucapkan oleh orang di seberang telepon. “Tenang saja. Nama baik kamu aman. Pihak Oliver juga nggak akan menuntut kamu. Mereka malah senang karena kita mau membantu mereka untuk menghancurkan Adhikara Grup.”

Kean kembali diam untuk mendengarkan balasan dari seberang telepon.

You’re welcome,” ucap Kean. “Terima kasih juga karena kamu sudah mau menolong aku menghancurkan karir laki-laki yang pernah menolak kamu mentah-mentah waktu SMA. Agatha Salim.”

Kean lalu mematikan teleponnya dengan senyum lebar. 

“Satu per satu hal yang gue inginkan sudah tercapai. Sekarang waktunya menyiapkan pertunjukan utama. Sudah waktunya Oma tau kalau cucu kesayangannya selama ini menipu dia.”

***

Selesai sarapan, Deva pergi meninggalkan rumah. Bukan untuk pergi ke kantor, melainkan untuk terbang ke Singapura menemui pihak Oliver. Deva harus mencari tahu, siapa yang membuat desain pakaian itu terlebih dahulu. Agatha, atau pihak Oliver. Walaupun Deva percaya dengan Agatha, kali ini dia harus menggunakan logikanya. Karena bisa saja ada orang yang ingin menyabotase karir Agatha dan menggunakan Adhikara Grup sebagai kambing hitam. 

Tidak lama setelah Deva pergi, mobil Kean berhenti di depan pagar rumah Adhikara. Melihat Kean turun dari mobilnya, Satrio segera keluar dari ruangannya dan menghampiri Kean. 

“Maaf, Pak Kean,” ucap Satrio sambil melepaskan jari Kean yang mencoba membuka pagar. “Pak Deva melarang Pak Kean masuk ke dalam rumah ini.”

“Berisik lo!” Kean lalu bergerak dengan cepat menarik Satrio. Satu tangannya memegang pisau yang mengancam leher Satrio, sementara satu tangannya lagi memutar tangan Satrio hingga dia teriak kesakitan. “Buka pagarnya, atau lo mati detik ini juga!”

“I-iya, Pak Kean…”

Dengan terpaksa Satrio menuruti ancaman Kean. Tapi, belum sempat Satrio membuka pagar, Kean tiba-tiba memukul bagian belakang kepala Satrio dengan balok kayu yang dia ambil dari dalam mobilnya. Petugas keamanan yang sudah hampir 10 tahun bekerja dengan Deva itu pun pingsan seketika.

Kean lalu memasukkan Satrio ke dalam mobilnya sebelum membuka pagar dan memarkirkan mobilnya di halaman depan rumah Adhikara. Setelah itu Kean membawa tubuh Satrio ke dalam garasi dan menutupnya dengan kain penutup mobil. Kemudian dia masuk ke dalam rumah melalui pintu yang menghubungkan garasi dengan dapur.

Di dapur, ada Kemala yang sedang menemani Gia membuat adonan kastengel.

“Oma mau dua loyang ya, Feya,” kata Kemala. “Tapi kamu jangan bilang Deva. Nanti dia minta.”

Gia tersenyum. “Siap, Oma.”

Gia lalu menoleh ke arah pintu dapur karena mendengar suara langkah.

“Dev?” seru Gia, bingung. “Kamu balik lagi?”

Kean lalu menunjukkan wajahnya dari balik pintu. Dia tampak rapi, memakai kemeja dan celana kain. Tangannya membawa tas laptop, sementara bibirnya tersenyum lebar saat melihat Kemala. 

“Hai, Oma!”

“Hai, Anak Nakal!”

Kemala menyambut Kean juga dengan senyum lebar. Sementara jantung Gia tiba-tiba berdebar sangat kencang. 

Mau apa Kean ke sini? Gia memperhatikan Kean yang sedang memeluk Kemala. Bukannya Deva melarang Kean masuk ke dalam rumah ini?

Diam-diam Gia mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Satrio, tapi tidak diangkat. Saat Gia ingin kembali mencoba menghubungi Satrio, Kean tiba-tiba beralih kepadanya.

“Lagi buat apa, Kakak Ipar?” tanya Kean dengan senyum manis ke Gia. “Kastengel lagi?”

“Iya,” jawab Gia sambil memaksakan senyum. Lalu dia mengalihkan pertanyaan. “Kamu nggak ke kantor, Kean?”

“Oh iya…” Kemala menepuk lengan Kean. “Kenapa kamu malah ke sini? Harusnya kamu ke kantor! Kamu kan pimpinan baru Adhikara Grup!”

“Iya, Oma. Tapi aku kangen sama Oma. Makanya aku mampir dulu ke sini sebelum ke kantor,” kata Kean memberi alasan. “Aku mau ketemu Oma dulu biar tambah semangat kerjanya.”

Kemala pun tertawa, senang mendengar gombalan cucunya. Sementara Gia tampak gelisah. Perasaan di hatinya semakin tidak enak. Entah karena dia termakan cerita Deva semalam atau karena firasat. Yang pasti Gia merasa Kean datang ke sana bukan untuk menemui Kemala semata.

“Oh iya, Oma,” Kean membuyarkan pikiran Gia. “Sebelum aku ke kantor, ada yang mau aku omongin sama Oma.”

“Tentang apa?” tanya Kemala, bingung.

Kean lalu menatap Gia. “Tentang Deva dan kakak iparku yang cantik ini.”

Deg! Jantung Gia seketika berhenti sebelum akhirnya kembali berdetak terlalu kencang sampai dia meringis kesakitan. Apa Kean mau memberitahu Oma tentang diriku? 

***

Sementara itu, Deva yang terjebak macet di jalan mendapat telepon dari Rex.

“Kenapa, Rex?” tanya Deva sambil menekan klakson untuk membuat mobil di depannya bergerak maju. “Gue lagi mau ke bandara. Mau ketemu klien di Singapura.”

Deva lalu diam mendengarkan informasi yang disampaikan Rex. Kemudian wajahnya berubah kesal.

“Sat!” Deva memukul klakson mobilnya. “Ternyata benar Feya diculik sama Kean!”

Deva lalu menghela napas untuk menenangkan dirinya. Kemudian dia kembali bicara dengan Rex.

“Kita ke sana sekarang,” kata Deva sambil memutar balik mobilnya. “Kita harus menyelamatkan Feya dari anak sialan itu sekarang!”

Deva menginjak gas, membawa mobilnya melaju kencang ke apartemen tempat Kean menyekap Feya di selatan Jakarta.

***

“Memangnya ada apa dengan Deva dan Feya?” tanya Kemala. Kepalanya menoleh dari Kean ke Gia. “Apa mereka ada masalah?”

Gia menatap tajam Kean, tapi Kean malah tersenyum. “Banyak, Oma.”

“Oh ya?” Kemala tampak khawatir. “Masalah apa?”

Kean tidak langsung menjawab dan kembali tersenyum menatap Gia. Akhirnya Gia pun paham apa yang dimaksud Deva semalam. Kean memang datang untuk balas dendam.

“Kean…” Gia akhirnya memberanikan diri untuk menegur Kean walaupun suaranya terdengar gemetar. “Kamu jangan ngomong yang aneh-aneh, ya. Aku nggak ada masalah apa-apa sama Deva.”

“Ya ampun, Kakak Ipar. Mau sampai kapan kamu mau bersandiwara?” Kean tersenyum melihat tatapan gugup Gia. “Mau sampai kapan kamu jadi boneka yang menutupi kejelekan Deva? Sampai Deva mau menjadi suami asli kamu?”

Kemala yang tampak bingung langsung mengangkat tangannya untuk bicara. 

“Kean, Feya, apa yang sebenarnya sedang kalian bicarakan? Tolong jelaskan sama Oma.”

Gia menatap tajam Kean, mencoba untuk membuat pemuda bermata cokelat muda itu berhenti bicara, tapi Kean tidak menghiraukan Gia. Kean menoleh ke Kemala lalu tersenyum.

“Oma, perempuan yang ada bersama kita ini bukan menantu asli Oma,” ucap Kean. “Dia ini Gia, kakak dari Feya yang terpaksa menjadi istri Deva.”

“Maksud kamu apa, Kean?” Kemala menatap tajam Kean. “Jangan bercanda sama Oma, ya!”

“Istri Deva itu Feya, Oma. Tapi Feya tiba-tiba menghilang. Jadi Gia menggantikan adiknya menjadi istri palsu Deva. Supaya Oma nggak marah sama Deva karena sudah nggak becus menjaga istrinya.” 

Kemala terdiam. Seketika dia merasa bodoh. Pantas saja dia merasa Feya yang waktu itu dia lihat di foto berbeda dengan Feya yang berada di depannya. Ternyata mereka memang orang yang berbeda.

Lalu, dengan tangan bergetar menahan amarah, Kemala beralih ke Gia. “Apa benar itu? Gia?”

Gia yang merasa bersalah hanya bisa menunduk, tidak berani menatap Kemala. Sementara matanya mulai basah oleh air mata.

“Keterlaluan kamu! Keterlaluan!” Kemala akhirnya meledak. “Oma betul-betul nggak menyangka kalau kamu dan Deva selama ini bersandiwara! Kenapa kalian tega menipu Oma seperti ini? Kenapa?!”

“A-aku…” 

Belum sempat Gia menjelaskan, Kemala tiba-tiba pingsan. Gia pun panik dan mencoba menyadarkan Kemala yang kini tergeletak di lantai dapur yang dingin.

“Oma…!” Gia menepuk lengan dan menggoyangkan bahu Kemala berkali-kali. “Oma! Oma bangun, Oma! Maafin aku dan Deva, Oma!”

Kemala tetap tidak sadarkan diri. Gia lalu beralih ke Kean. 

“Kean, tolong bawa Oma ke rumah sakit!” pinta Gia dengan panik. “Tolong, Kean!”

Namun, bukannya membantu, Kean malah tertawa terbahak-bahak. 

“Kamu kok malah ketawa?” tanya Gia. Wajahnya terlihat bingung sekaligus marah. “Oma  pingsan, Kean! Kamu harusnya segera membawa Oma ke rumah sakit! Kalau Oma kenapa-napa, gimana?”

“Biar saja,” kata Kean enteng. “Dia sudah terlalu lama hidup.”

“Kean!” Gia akhirnya tidak lagi bisa menahan dirinya. “Kamu sudah gila, ya?!”

“Iya, aku sudah gila,” jawab Kean sambil tersenyum menatap Gia. “Jadi tolong kamu minggir sebentar sebelum orang gila ini menyakiti kamu.”

Gia bingung melihat Kean membuka tasnya, mengeluarkan beberapa berkas dan sebuah cap.

“Oma tersayangku ini sangat kuno sekali, Gia. Dia membuat perjanjian dengan cap jari, bukan dengan tanda tangan,” cerita Kean tanpa diminta. “Mumpung dia pingsan, aku harus segera membuat dia membubuhkan cap jarinya di berkas-berkas penting ini.”

Kean mengambil ibu jari Kemala dan menekannya ke tempat cap, lalu dia menempelkan ibu jari Kemala yang kini berwarna merah ke kertas bermaterai yang dipegangnya. Detik itu Gia pun akhirnya sadar kalau penilaian dirinya terhadap Kean salah besar. 

Kean memang jahat. Sangat jahat.

Gia lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi Deva. Tapi Kean lebih dulu menyadari itu. Kean pun mencengkeram lengan Gia.

“Matikan teleponnya, atau kamu yang akan mati.”

***