Tidak Mudah Untukku (Chapter 14)

Ketika Danilla masih bergulat dengan pikirannya sendiri, Indy mulai mencari cara untuk menunjukkan apa yang ada di Instagramnya.  Indy dengan pelan-pelan bergeser ke sebelah Danilla sambil masih berpikir untuk memperlihatkannya. Hingga akhirnya, dia mau memberanikan dirinya kepada Danilla.

“Dan, gue mau nunjukin sesuatu.”  

Danilla tersadar dalam lamunannya dan menoleh ke Indy. “Apa, Ndy?” Saat Danilla sudah mulai mau melihat ke arah Indy. Terdengar suara ketukan pintu dari depan. Danilla dan Indy pun berpandangan, lalu Danilla beranjak membuka pintunya. Saat dibuka, tampak Langit masih dengan pakaiannya yang tadi dan keadaannya yang kumel karena hujan juga tanah. Wajahnya serius dan memandangi Danilla dengan sungguh-sungguh.

“Aku mau bicara sama kamu.”

“Kamu harus pulang, ganti baju.” 

“Aku mohon. Sebentar aja.”

Melihat muka Langit yang begitu tegas namun tampak ada kesedihan di dalamnya, Danilla tidak tega dan akhirnya mengangguk. 

 

Langit mengajak Danilla ke sebuah taman yang dekat dengan mess. Di sana terletak sebuah danau kecil atau mungkin seperti situ, di mana warga juga senang memancing. Mereka duduk di salah satu bangku taman yang agak basah. Langit bahkan mengelapkan dengan tangannya sendiri untuk diduduki berdua. Danilla hanya dapat terdiam dan terpaku melihat itu. Hingga keduanya duduk dan Langit menatap ke depan. 

“Sampai hari ini aku ngga nyangka akan jadi tentara Angkatan Darat, bahkan dengan gelar kapten. Aku hidup masih dengan apa yang papa dan keluargaku inginkan. Mereka ikut bangga dengan pencapaian, yang bahkan aku sendiri ngga percaya dapetin itu. Sampai aku ketemu kamu, dan aku ngerasa hidup yang aku mau masih perjuangkan masih ada.” Langit kini menoleh ke Danilla dan Danilla pun cukup tertegun melihat Langit. 

“Maaf kalau saat itu aku ngga berani natap kamu. Saat di mana Letkol Adira menyatakan pertunangan. Karena aku sendiri ngga tau apa yang harus aku lakuin saat itu. Aku masih ingin hidup dengan yang aku inginkan dan yang aku pikirkan saat itu cuma kamu!”

Danilla bingung melihat ekspresi Langit yang begitu serius menatapnya. Langit bahkan menggenggam tangan Danilla dengan cukup erat. Namun, Danilla melepaskannya perlahan. 

“Lang, kamu ngga bisa mikir seperti itu. Kita udah lebih dari sepuluh tahun ngga ketemu, kamu udah menjalani hidup kamu dengan baik. Ini cuma kebetulan aja, Lang.”

“Aku ngga percaya kebetulan, Tuhan memang merencanakan kita ketemu lagi. Atau memang Tuhan mengabulkan doa aku untuk ketemu kamu lagi, Dan! Jangan kamu bohong kalau saat kita ketemu lagi, jantung kamu ngga berdegup kencang sama seperti aku.” Langit menatap Danilla dengan penuh keyakinan, sehingga Danilla tidak tau apa yang harus dia katakan. 

“Iya, Lang. Aku merasakan hal yang sama. Tapi kita udah di dunia dan masalah yang berbeda. Aku dengan masalahku dan kamu dengan masalah kamu.” Danilla berusaha untuk terus mencoba menentang Langit. Sementara, Langit memotong pembicaraan Danilla dan kembali menggenggam tangan Danilla.

“Aku tau kamu punya lelaki lain, tapi apa kamu sama sekali ngga mau memperjuangkan sekali lagi, hubungan kita yang belum selesai? Kita masih bisa hadapin masalah kita bersama, Dan. Aku ingin kita coba lagi. Bertahun-tahun, aku menunggu kabar dari kamu sampai aku bener-bener cape dan hanya bisa berdoa suatu hari akan dipertemukan lagi sama kamu. Karena aku yakin, kisah kita belum selesai.” 

“Ini ngga semudah yang kamu bayangin, Lang. Buat aku, ini semua udah selesai. Aku ngga bisa ngelanjutin lagi. Kalau memang ada pilihan aku ngga harus ketemu sama kamu. Aku lebih baik pilih itu. Maafin aku, Langit kita udah ngga bisa seperti dulu.” Danilla mengucapkan hal itu seolah benar-benar dari hatinya, tetapi dia sadar dia hanya membohongi hatinya karena tidak mau Langit menderita karenanya. Sementara, Langit mulai kecewa dengan ucapan Danilla yang tegas. Tetapi dirinya masih memohon.

“Kenapa, Dan? Aku ngga minta apa-apa, bahkan aku ngga tanya lagi kenapa kamu putusin aku. Karena aku masih yakin sama kamu.”  

“Kalaupun aku sama kamu, itu ngga akan ngerubah apa-apa, Lang. Aku cuma mau kamu menjalani kehidupan kamu seperti biasa lagi, tanpa melibatkan aku. Udah itu aja, Lang. Please biarin aku pergi. Jangan kecewain lagi papa kamu dan orang-orang yang sama kamu.” 

Langit merasa semuanya sia-sia dan Danilla tidak bisa mengerti perasaannya. Langit lalu mengambil kalung awan yang berada di sakunya. Wajahnya kini penuh dengan emosi dan kekecewaan. 

“Kalo itu yang kamu mau, aku rasa ngga akan ada lagi artinya menyimpan ini. Selama ini, aku memang ngga pernah penting buat kamu. Mungkin memang cuma kesalahan aja kamu menyimpan ini.” 

Langit tanpa berpikir apa-apa langsung membuang kalung itu ke danau. Danilla sempat mau beranjak dan menahan, tetapi Langit sudah membuangnya begitu saja.  Tanpa berpikir dua kali, Langit benar-benar langsung pergi meninggalkan Danilla sendirian di sana. Air mata Danilla tidak terasa berlinang begitu saja menatap ke arah danau di mana Langit membuat kalung awan itu. Danilla mau beranjak, tetapi kakinya tak sanggup melangkah hingga dia pun berlutut dan menangis dengan penuh penyesalan. 

“Rasa sayang yang kamu berikan terlalu besar, sampai aku ngga tau gimana menampungnya. Bahkan rasa sayang kamu itu sulit untuk dibagi. Sehingga yang lain, merasa kalau aku adalah perenggut dunia kamu, Langit. Memang ini ngga akan pernah semudah itu.”