Hanya Mimpi (Chapter 11)

Kastengel buatan Gia terasa sama persis seperti kastengel buatan Hilda. Memakan kastengel buatan Gia membuat Deva seperti kembali ke sore hari itu, saat Hilda membuatkan setoples kastengel buat Deva untuk terakhir kalinya. Deva mencoba menutupi emosi yang tiba-tiba memenuhi hatinya, tapi dia malah jadi tersedak dan batuk-batuk. 

“Kamu nggak apa-apa, Dev?” tanya Gia dengan wajah khawatir. “Aku ambilkan air, ya?” 

Gia buru-buru mengambil segelas air untuk Deva, sementara Kean hanya diam memperhatikan Deva yang batuk-batuk hingga wajahnya memerah.

“Ini, Dev. Diminum pelan-pelan airnya.”

Deva lalu meminum air yang dibawakan Gia. 

Di saat yang sama, ponsel Kean berbunyi. Saat melihat pesan yang muncul di layar ponselnya, Kean beranjak meninggalkan dapur.

“Gue pamit keluar sebentar.”

Kean bergegas pergi tanpa menunggu jawaban dari Gia maupun Deva. Keputusan Kean tepat karena perhatian Gia memang sedang berpusat ke Deva. Gadis itu terus memperhatikan Deva dengan wajah khawatir.

“Terima kasih airnya,” ucap Deva setelah menghabiskan minumnya.

“Kamu nggak apa-apa kan, Dev?” tanya Gia yang Deva jawab dengan anggukan.

“Saya nggak apa-apa.”

“Syukurlah…”

Namun, Gia tetap menatap Deva dengan wajah khawatir.

“Mau tanya apa lagi?” tembak Deva seakan bisa membaca pikiran Gia.

“Kastengel buatanku nggak enak ya, Dev?” tanya Gia memberanikan diri. “Makanya kamu sampai batuk-batuk begitu?”

Kali ini Deva menjawab dengan gelengan. 

“Enak kok,” ucap Deva meyakinkan Gia. “Tadi saya makannya buru-buru karena kastengelnya masih panas, makanya keselek.” 

“Oh…” Gia akhirnya bisa mengembuskan napas lega. “Aku pikir kastengel buatanku nggak enak…”

“Enak kok, Gia,” kata Deva meyakinkan Gia sekali lagi. Lalu dia bergumam pelan, “Enak banget malah. Mirip kastengel buatan mama…”

Gia kembali menatap Deva. “Mirip kastengel buatan mama kamu?”

Deva balas menatap Gia. Wajahnya nampak kaget. “Kamu dengar suara saya?”

“Jarak di antara kita hanya beda satu kursi, Dev. Tentu aku masih bisa dengar suara kamu.”

“Iya juga…” Deva menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Well, ya, kastengel buatan kamu rasanya enak banget, seperti kastangel buatan mama saya.”

“Mama kamu suka bikin kue?” tanya Gia antusias.

“Iya. Mama saya jago masak dan suka bikin kue. Sama kayak kamu.”

“Oh ya? Biasanya mama kamu bikin kue apa aja?” 

Gia sepertinya sudah lupa dengan misinya menjaga jarak dari Deva. Mendengar Deva sedikit cerita tentang mamanya, Gia malah jadi ingin tahu lebih banyak cerita hidup Deva. 

“Banyak. Tapi Mama paling suka bikin kastengel karena itu kue kesukaan saya.”

Gia pun mendengarkan Deva yang cerita tentang kastengel buatan mamanya. Baru kali itu Gia melihat Deva bicara seantusias itu. Seperti mendengarkan anak kecil yang cerita tentang kartun favoritnya.

“Tapi, semenjak mama meninggal, saya nggak pernah lagi makan kastengel karena nggak ada yang bisa bikin kastengel seperti buatan mama saya. Bahkan toko kue paling mahal di Jakarta nggak ada yang jual kastengel seenak buatan mama saya.” Deva menatap sendu loyang kastengel di depannya, lalu dia beralih menatap Gia. “Sampai akhirnya saya mencicipi kastengel buatan kamu hari ini.”

Gia balas menatap Deva. Lalu dia menyadari mata Deva yang berkaca-kaca.

“Hari ini kamu membawa saya ke 12 tahun yang lalu. Hari terakhir mama membuatkan saya kastengel. Sebelum mama meninggal dalam kecelakaan mobil sama papa saya.”

Deva tidak melanjutkan ceritanya. Sementara Gia tidak lagi menggunakan akal sehatnya. 

Melihat air mata Deva, Gia langsung bangun dari kursinya dan menghampiri Deva. Lalu dia memeluk Deva erat, membiarkan pemuda itu menangis dalam pelukannya.

***

Setelah berhasil melewati kemacetan Jakarta, Kean akhirnya tiba di apartemennya. Haikal, penjaga keamanan tower apartemen Kean berada, langsung menghampiri saat melihat Kean muncul di lobi apartemen.

“Mas Kean,” sapa Haikal dengan wajah gugup. “Maaf, saya jadi merepotkan Mas Kean.”

Kean tidak menjawab dan hanya tersenyum. Tapi, saat mereka tiba di depan lift dan hanya ada mereka berdua di sana, Kean langsung menarik kerah kemeja Haikal. Membuat Haikal semakin gugup.

“Sat! Lo udah gue bayar mahal, tapi jagain anak kecil kayak gitu aja nggak becus!”

“Ma-maafin saya, Mas Kean…”

“Sekali lagi lo bikin masalah, lo yang bakal jatoh dari teras apartemen gue!”

“Ma-maaf, Mas…” Haikal menangkupkan kedua tangannya sementara wajahnya pucat ketakutan. “Maafin saya, Mas. Saya janji, kejadian ini nggak akan terulang lagi.”

Kean mendengus kesal, lalu dia melepaskan cengkramannya dari kerah kemeja Haikal. Saat pintu lift yang ditunggu Kean terbuka dan ada dua warga apartemen yang keluar dari dalam lift, Kean tersenyum manis ke Haikal.

“Terima kasih buat bantuannya, Mas Haikal,” ucap Kean ramah. “Saya naik dulu ya.”

Kean lalu masuk ke dalam lift, meninggalkan Haikal yang masih gemetar ketakutan. Saat pintu lift tertutup, senyum di wajah Kean pun hilang.

***

Saat Kean membuka pintu apartemennya, dia melihat Feya duduk di kursi meja belajarnya. Kedua tangan Feya terikat di belakang kursi, sementara kedua kakinya terikat di kaki meja. Lalu sebuah plester berwarna hitam menutup mulutnya. 

Feya menatap Kean dengan mata merah. Dia berusaha bangun dari kursi, tapi ikatan tali di tangan dan kakinya sangat kuat. Dia tidak bisa bergerak. Akhirnya Feya ngomel-ngomel ke arah Kean walau suaranya nggak jelas karena mulutnya ditutup plester. Sedangkan Kean malah tertawa melihat Feya ngamuk seperti itu.

“Kamu ngomel apa sih, Anak Kecil?” tanya Kean di sela tawanya. “Aku jadi kasihan sama Pak Darmawan. Kedua putrinya galak semua! Hahaha!”

Mendengar itu, Feya semakin panjang mengomel. Kean yang penasaran akhirnya melepas plester yang menutup mulut Feya.

“Ayo, silakan ngomel,” kata Kean sambil melipat plester yang terasa lengket di tangannya. “Aku bebaskan kamu ngomel dengan jelas.”

“Kamu apain Kak Gia?!” seru Feya geram. “Awas aja kalau kamu menyakiti Kak Gia! Aku nggak akan tinggal diam!”

Kean duduk di tepi tempat tidur yang berhadapan dengan posisi Feya. Lalu dia tersenyum kecil.

“Memangnya kalau aku menyakiti kakak kamu, apa yang akan kamu lakukan?” Kean menantang Feya. “Kamu mau pukul aku pakai tangan kamu yang nggak ada tenaganya itu?”

“Enggak.” Feya balas menantang Kean. “Saya BUNUH kamu!”

Kean kembali tertawa geli. Sementara Feya kembali mencoba bergerak agar bisa lepas dari ikatan yang menahannya. Namun dia tetap gagal.

“Feya Putri Darmawan, kamu manis sekali,” ucap Kean sambil mencolek dagu Feya, sengaja membuat Feya semakin jengkel. “Sayangnya kamu bodoh. Lebih bodoh dari kakak kamu.”

Feya memicingkan matanya. “Maksud kamu apa?”

“Kamu nggak sadar?” ujar Kean. “Semua kekacauan ini terjadi karena kebodohan kamu, Feya.”  

Feya terdiam. Di dalam hati, dia sungguh menyesal karena sudah percaya begitu saja dengan Kean.

Pagi itu, Feya keluar dari kamar hotelnya untuk menjemput Gia sarapan bersama agar habis sarapan mereka bisa menemui MUA yang akan mendadani mereka untuk acara akad pernikahan. Namun di depan kamar sudah ada Kean yang menunggunya. Kean lalu menjelaskan kalau dia adalah sepupu Deva, dan dia disuruh Deva untuk menjemput Feya sarapan bersama Deva di restoran dekat hotel. Dengan polosnya Feya pergi bersama Kean. Di perjalanan, Kean memberikan sapu tangan ke Feya dengan alasan ada noda di hidung Feya. Saat Feya mengusap hidungnya, dia tiba-tiba pingsan. Dan saat tersadar, Feya sudah berada di apartemen Kean.

“Aku nggak bodoh, tapi kamu yang menipu aku!” seru Feya marah.

“Kalau kamu nggak bodoh, kamu nggak akan tertipu!” balas Kean tidak mau kalah.

Feya pun terdiam. Mau tidak mau, dia mengakui dalam hati kalau dia memang bodoh. Semua kekacauan ini memang disebabkan olehnya.

“Kak Gia…” Feya menatap Kean. “Dia baik-baik saja, kan?”

“Dia baik-baik saja,” jawab Kean. “Dia sempat menjadi korban omelan Deva, tapi sepertinya sekarang hubungan mereka sudah baik. Terlalu baik, malah.”

“Maksud kamu?”

“Berkat kamu, sepertinya sekarang mereka saling suka.”

Feya menatap Kean tidak percaya. “Kak Gia cinta banget sama Nick. Dia nggak mungkin suka sama Deva.”

“Dia sudah putus sama cowoknya itu.”

“Nggak mungkin…” gumam Feya tidak percaya. “Kak Gia nggak mungkin putus begitu aja sama Nick.”

Kean tersenyum sinis. “Karena dia menggantikan kamu, dia jadi ditahan Deva di rumahnya. Akhirnya dia nggak bisa menemui cowoknya waktu cowoknya itu secara sepihak mutusin dia. Jadi, ya, dia putus begitu aja sama cowoknya itu.”

Dalam hati, Feya bersumpah akan membuat perhitungan dengan Nick. Di lain sisi, dia tersadar satu hal.

“Kak Gia ditahan di rumah Deva?” tanya Feya.

“Iya. Dia sekarang hidup seperti burung di sangkar emas.”

Air mata Feya langsung mengembang. Dia benar-benar menyadari akibat dari kebodohannya. Seandainya dia tidak bodoh, Gia tidak akan menderita begitu.

“Jangan nangis,” seru Kean. “Aku sekarang tinggal bersama mereka. Aku akan melindungi kakak kamu dari Deva.”

“Melindungi? Bukannya tadi kamu bilang kalau mereka saling suka?”

“Karena Gia belum kenal siapa Deva sebenarnya. Jadi dia nggak tau kalau Deva bisa dengan sangat mudah menyakitinya.”

Mendengar itu, Feya jadi semakin khawatir dengan kondisi Gia.

“Kean,” Feya menatap Kean dengan wajah serius. “Aku mohon, lepasin aku dan kembalikan aku ke Deva. Aku nggak mau Kak Gia kenapa-napa. Biar aku aja yang disakitin Deva. Aku—“

“Nggak mau,” potong Kean enteng. “Aku akan melepaskan kamu kalau waktunya sudah tepat.”

Mendengar itu, Feya jadi semakin jengkel.

“Sebenarnya apa sih tujuan kamu menahan aku di sini?” seru Feya. “Kenapa kamu menculik aku, padahal aku calon istri sepupu kamu? Apa kamu ada dendam sama Deva?”

“Rahasia.”

“Keannn!!!”

Kean kembali tertawa melihat Feya ngamuk. Lalu dia bangun dan mengacak-acak puncak kepala Feya, sengaja membuat Feya semakin jengkel.

“Anak kecil, aku harus segera pulang sebelum Deva semakin nekat mendekati Gia,” ucap Kean. “Aku akan suruh Haikal buat melepas ikatan kamu supaya kamu bisa bebas bergerak. Tapi jangan coba-coba kabur lagi dari apartemen ini. Atau kamu nggak akan bisa melihat keluargamu lagi!”

Feya menelan ludah. Dari tatapan mata Kean, Feya tahu kalau pemuda di depannya itu tidak main-main dengan ancamannya.

***

Sementara itu, Deva sudah berhenti menangis, tapi dia masih berada dalam pelukan Gia. Dia ingin melepas pelukannya, tapi dia bingung harus bersikap bagaimana. Walau dia tahu bahwa Gia memeluknya karena kasihan dengannya, tapi ini pertama kalinya dia menangis dalam pelukan gadis itu. Entah semerah apa wajahnya sekarang karena habis menangis dan karena menahan malu.

Di sisi lain, Gia juga merasakan hal yang sama. Melihat Deva menangis membuat Gia impulsif memeluk pemuda itu. Padahal Gia sudah berjanji pada dirinya sendiri kalau dia akan menjaga jarak dengan Deva yang merupakan suami dari adiknya itu. Namun, di satu sisi, Gia senang bisa menjadi tempat untuk Deva menunjukkan perasaan yang selama ini terkubur di dalam hatinya. Sungguh seperti mimpi bisa melihat pemuda yang dingin itu menunjukkan kerapuhan dirinya.

Di saat keduanya bingung karena terjebak dalam kondisi yang kikuk, ponsel Deva tiba-tiba berbunyi. Deva pun refleks melepas pelukannya dan mengambil ponsel di saku celananya. Sementara Gia bernapas lega karena Deva tidak lagi bisa merasakan debaran jantungnya. 

Melihat nama Kemala muncul di layar ponsel, Deva langsung mengangkat teleponnya.

“Iya, Oma?” Deva berbalik membelakangi Gia. Dia tidak mau gadis itu melihat wajahnya yang masih merah menahan malu. “Ada apa?”

Deva terdiam sebentar mendengarkan jawaban Kemala. Lalu tiba-tiba dia berbalik cepat ke arah Gia dengan wajah panik, membuat jantung Gia kembali berdebar kencang.

“Oma mau tinggal di sini?!” seru Deva.

Deva dan Gia pun saling bertatapan. Untuk pertama kalinya mereka punya harapan yang sama: Semua ini pasti mimpi. Hanya mimpi!

***