Sayang Atau Tidak (Chapter 11)

Danilla masih terdiam, tidak bisa menjawab pertanyaan Langit. Sementara, Langit masih menatap Danilla dan berharap jawaban yang pasti. Tetapi lama kelamaan, Langit jadi kesal sendiri dan melepas tangan Danilla. Kali ini, jarak Langit dengan Danilla begitu dekat. 

“Apa kamu udah lupain semuanya?” 

Danilla tidak sangka Langit akan menembaknya dengan pertanyaan seperti itu.  Danilla belum ingin mengungkap semuanya. 

“Kamu masih ngga mau kasih tau apa alasannya, Dan?”

“Maaf Lang, itu semua masa lalu dan aku rasa kita ngga harus bahas ini lagi.” 

“Mau sampe kapan kamu ngga ngomong, Dan?” 

Nada Langit kian meninggi hingga membuat Danilla makin serba salah. Danilla tidak mau membuka kembali luka itu.

“Cukup, Lang. Aku harus pulang.” Danilla menatap tegas untuk memastikan semuanya harus selesai saat itu. Danilla kemudian melepaskan stetoskop yang ada di lehernya. Bersamaan,  dengan kait stetoskop yang mengait ke tali kalung awan yang dipakai Danilla dan disembunyikannya. Pluk! Kalung awan itu jatuh di lantai, hingga membuat Danilla dan juga Langit memandanginya. Langit terkejut melihat kalung tersebut masih ada. Sebelum Danilla mengambilnya, Langit mengambil duluan. 

“Kamu masih simpen kalung ini, Dan?” Langit menatap Danilla dengan tegas namun matanya nyaris haru dan berkaca-kaca. Danilla bingung harus berkata apa, kali ini perasaannya seperti tertangkap basah oleh si pemberi kalung. 

“Apa kamu memang nyesel dan minta maaf karena ini, Dan?” Langit akhirnya menyebutkan permintaan maaf yang pernah Danilla katakan sebelum pingsan. Danilla benar-benar tidak menyangka Langit mengingatnya dan kali ini dia terjebak dengan pertanyaan dari Langit. 

 

Hingga,  sebuah suara yang begitu ceria memanggil nama Langit dan benar, itu adalah suara Chelsea. Chelsea sudah berganti baju biasa dan bersiap untuk pulang. Chelsea melihat mereka berdua yang sama-sama terdiam serius. 

“Ada apa, kenapa kalian serius banget?” Beberapa detik, keduanya terdiam canggung untuk menjawab pertanyaan dari Chelsea yang sebenarnya sederhana.  Namun, saat Danilla hendak mau menjawabnya, Langit menyambar duluan. 

“Kopral Dimas mengalami kecelakaan, Cell. Aku lagi diskusikan sama Danilla.”  Langit menjelaskan dengan tanpa ada perasaan canggung. Danilla tampak menatap Langit ada perasaan lega tetapi merasa bersalah karena berbohong kepada Chelsea. 

“Ya Tuhan, trus gimana keadaannya Kopral Dimas, Dokter Danilla?” Chelsea tampak khawatir dan meminta penjelasan pada Danilla. 

“Luka goresnya cukup dalam, kami sudah menjahitnya. Dua sampai tiga hari, kalo ngga banyak gerak, dia akan segera membaik.” Mendengar penjelasan dari Danilla, Chelsea pun ikut memandangi Langit dengan khawatir. 

“Syukurlah. Kamu ngga apa-apa kan, Lang?”

“Tangan aku aja yang kegores, tapi udah diobati dokter Danilla. Gapapa kok.” 

“Tugas kamu udah selesai, kan? Kita pulang bareng ya?” 

Chelsea menyelipkan jemarinya di antara jemari tangan kanan Langit. Dengan wajah yang masih cemas, Chelsea memandangi Langit untuk menurut dengannya. Danilla di depan mereka hanya berusaha menyibukkan dirinya membereskan perlengkapan P3K. Langit masih sesekali menatap Danilla yang sengaja menghindar. 

“Tapi aku masih harus nunggu Dimas, Cello.” Langit mencoba menghindar dari Chelsea. Namun saat Danilla mendengar Langit memanggilnya dengan ‘Cello’ yang tampak seperti panggilan sayang bagi Langit pada Chelsea, Danilla cukup sadar kalau itu adalah panggilan special dan dia tidak seharusnya berada di sana. 

“Kopral Dimas udah tidur, nanti perawat yang akan control dia kok, kapten.” Danilla kali ini lebih tegas, dari hati kecilnya ada rasa cemburu walaupun harus mendebat batinnya.  

“Yaudah, kamu istirahat juga. Ayo pulang, Lang.” Chelsea makin merajuk dan menggandeng Langit. Tetapi Langit masih seperti enggan untuk pergi. 

“Makasih ya dokter Danilla, aku sama Langit pamit. Kamu juga cepet pulang ya.”

“Iya, dok. Saya mau kembalikan peralatan saya dulu ke ruangan. Hati-hati ya di jalan.” 

Saat Langit hendak pergi, tangan kanannya melepaskan kalung dan meninggalkannya di meja. Danilla melihat itu dan segera mengambilnya sebelum Chelsea tau.  Mereka berdua pun pergi, dan Danilla hanya dapat menatap dengan sedih. 

 

***

 

Danilla tampak sudah selesai mandi dan menggantungkan handuknya di gantungan ruang tamu. Indy terlihat seru dengan handphone dan biskuit yang dimakannya. Danilla ikut duduk di sebelah Indy dan membuka nasi kotak di depannya.  Danilla mulai memakan nasi dan lauk pauknya. Sementara, Indy seperti sedang mengorek sesuatu di handphonenya dengan mukanya begitu penasaran. Danilla menatap Indy dengan heran. 

“Dari gue balik, lo ngga berenti liat hape. Ada apa, Ndy?”  

Indy masih terpaku dengan apa yang dicarinya di Instagram. Tetapi ada rasa tidak enak membuka hal itu pada Danilla. Danilla kini makin memicing dan mendekat. 

“Lo lagi stalking Miko? Gimana dia sekarang?” Mendengar hal itu dari Danilla, Indy langsung menatap dengan kesal. 

“Kenapa Miko sih, Dan? Gue udahan ih sama dia. Bodo amat mau dia gimana juga.”  

“Yee gausah nyolot gitu kali, kan gue cuma ngomong doang.” 

“Hehe..iya, gue kaya masih sensi aja sama dia. Tapi kali ini gue bisa lebih sensi sih.” 

“Kenapa?” Danilla mengernyit. 

Indy akhirnya menunjukkan sebuah foto bareng yang diunduh di feed Instagram @neynadiir teman dari salon langganannya Indy. Dalam foto tersebut, Neyna bersama tiga orang lainnya. Salah satunya yang berada di sebelah Neyna adalah Fikar. Mereka foto seolah setelah selesai meeting di sebuah café working space di Jakarta. 

“Lo liat foto ini.” 

Danilla melihat dengan seksama lalu tidak merasa ada apa-apa, “Ini kliennya Fikar ya?” 

“Kayanya sih iya. Tapi lo nyadar gak, tangan Fikar kemana?” 

“Emang kemana, kan di belakang.” 

“Ngga, Dan. Dia tuh megang pinggangnya Neyna, ini tuh tangannya Fikar. Masa sama klien udah segini deket?” Indy tampak berusaha untuk meyakinkan ada yang aneh dengan Fikar. 

“Bentar, Neyna ini siapa, Ndy?” 

“Gue ketemu sama dia setaunan yang lalu di salon langganan gue, gegara nunggunya lama, kita jadi ngobrol ini itu dan sering janjian ke salon bareng. Trus tukeran IG deh. Setau gue, dia emang masih single trus kerja di manajemen artis.”  

“Iya sih kayanya deket banget sama Fikar.” 

“Trus, gue nemu di beberapa tag foto mereka, emang suka bareng gitu. Fikarnya sih ngga nge-post, tapi Neynanya aktif. Nih, IG Story terakhir Neyna. Dia pake lagu korea yang gue cari artinya lagi fall in love gitu trus captionnya, thank you for being there, F. Jelas banget gak sih ada sesuatu antara mereka?” Indy tampak sangat menggebu-gebu dengan penjelasannya. Sementara, Danilla juga mulai merasa kecewa, tetapi hatinya lebih gusar dengan perasaannya ke Langit. Danilla jadi mempertanyakan perasaannya kepada Fikar.

“Dan, lo ngga apa-apa kan?” Indy tampak khawatir dengan diamnya Danilla.

“Gue kesel sama Fikar, karena kaya gini. Tapi kenapa gue ngga se-cemburu itu daripada ngeliat Langit sama Chelsea.” Kali ini, pernyataan Danilla membuat Indy agak terkejut. 

“Wait, jadi selama dua tahun, lo sama Fikar itu sayang atau ngga sih, Dan?” Indy memandangi Danilla dengan cukup serius. Danilla tertegun seakan tidak mau membalas pandangan Indy padanya saat itu. 

“Gue memang udah curiga sama lo dan Fikar. Kalian tuh canggung aja gitu, bahkan saat dua tahun yang lalu lo jadian sama dia, gue ngga pernah liat lo bener-bener berbunga-bunga. Yaa sesekali sih, tapi keitung aja.” Indy masih menatap penasaran kepada Danilla. 

“Gue sayang sama dia, Ndy. Tapi gue beneran ngga ada ekspetasi apa-apa. Mungkin hubungan gue sama dia tuh awalnya karena ngga enak sama tante gue. Tante Peggy tuh kasian sama gue yang terlalu fokus belajar tanpa mencintai orang lain. Tante takut kalo gue dirundung kesedihan karena gue mungkin ngerasa ngga punya siapa-siapa kecuali dia. Sampe akhirnya tante nyariin lewat temennya dan itu adalah Fikar.” 

“Lo ngga ada sama sekali chemistry gitu? Trus sayang lo sebagai apa, Dan?” 

“Fikar itu temen dan pendengar yang baik. Tapi dia terus yang cerita ini itu sama gue, sedangkan gue ngga se-terbuka itu sama dia. Sampe akhirnya gue ngerasa jahat dan mutusin dia. Tapi dia ngga nyerah sama gue, dia mau coba lagi. Mungkin sekarang dia lagi nyerah, dan milih sama orang lain.” 

“Trus, lo ngga mau memperjuangkan dia?” dari pertanyaan Indy ini, Danilla menyadari dirinya yang jahat pada Fikar. 

“Gue rasa kalo lo udah di tahap itu, lo harus bilang berhenti sama Fikar. Lo fokus sama perasaan lo saat ini. Buka diri sama orang yang lo emang sayangi, Dan. Bukan sama orang yang lo ngga tau lo sayang atau ngga!”  Ucapan Indy benar-benar menusuk perasaan Danilla. Tetapi, dia tau kalau itu benar dan dia harus memutuskan perasaannya.

“Apa kamu juga sayang sama Chelsea, Lang?”