“Tunggu sebentar, ya. Saya masak bubur dulu. Kamu minum obat dulu aja, yang harus diminum sebelum makan.”
Deva lalu pergi meninggalkan kamar. Sementara Gia masih tidak percaya bahwa dia bisa melihat sisi lain dari tuan muda yang galak dan menyebalkan itu.
“Apa aku lagi mimpi, ya?” Gia mencubit lengan kirinya dengan keras, lalu dia meringis kesakitan. “Ini bukan mimpi.”
Gia kemudian menunggu Deva di sofa kamar sambil mengecek ponselnya. Hanya ada pesan dari Darmawan yang mengingatkan Gia untuk menjaga kesehatan dan makan tepat waktu. Biasanya Nick yang selalu mengingatkan dia untuk makan tepat waktu. Namun pemuda bermata biru itu tidak pernah lagi mengirim pesan semenjak dia memutuskan hubungannya dengan Gia.
Di saat Gia menangis karena teringat Nick, Deva kembali ke dalam kamar sambil membawa nampan berisi semangkuk bubur ayam. Gia pun buru-buru menghapus air matanya. Namun ternyata Deva lebih dulu melihat Gia menangis.
“Nggak usah nangis terharu begitu,” ucap Deva sambil menaruh nampannya di meja sofa. “Saya bikinin bubur buat kamu atas dasar kemanusiaan aja. Nggak ada maksud lain.”
Seandainya Gia tidak ingat kalau Deva bukan makhluk yang mudah diajak bercanda, dia mungkin sudah memukul lengan Deva karena sudah meledeknya begitu.
“Kamu sudah minum obat?” tanya Deva yang dijawab Gia dengan anggukan. “Kalau gitu, silakan dinikmati buburnya.”
Gia melirik Deva. “Kamu nggak ikut makan?”
“Kenapa? Masih curiga saya bakal meracuni kamu?”
“Jujur aja…” Gia menggigit bibirnya, “iya.”
Gia pikir Deva akan marah padanya, tapi pemuda bermata cokelat tua itu malah tertawa. Gia pun kembali terperangah. Baru kali ini dia melihat Deva tertawa selepas itu. Sekilas, Gia jadi teringat dengan Kean. Suara tawa mereka terdengar hampir sama.
“Oke. Saya makan satu sendok di depan kamu biar kamu percaya,” ucap Deva setelah berhenti tertawa. Deva kemudian menyendok bubur buatannya dengan sendok Gia dan memakannya. “Lihat, saya masih hidup, kan? Jadi, cepat makan buburnya sebelum lambung kamu sakit lagi.”
Gia mengambil kembali sendoknya yang sudah dibersihkan Deva dengan tisu, kemudian dia mencicipi bubur buatan Deva.
“Gimana bubur buatan saya?” tanya Deva dengan tatapan penuh harap ke Gia. “Enak, kan?”
“Iya, enak!” seru Gia dengan mata berbinar. “Enak banget!”
Gia sebenarnya tidak percaya waktu Deva bilang kalau dia bisa masak bubur yang enak. Tapi Deva ternyata tidak berbohong. Bubur buatannya memang enak. Bahkan hampir sama enaknya dengan bubur di restoran Chinese food kesukaan Gia.
Melihat Gia lahap memakan bubur buatannya, Deva pun tersenyum senang. “Kalau kamu masih lapar, ada satu mangkuk lagi di dapur.”
Gia menggeleng. “Segini sudah cukup kenyang kok,” kata Gia. “Saya nggak bisa makan banyak.”
Deva mengangkat bahu. Kemudian dia melihat air di gelas Gia yang tinggal setengah.
“Saya ambilin botol air dulu ya?” kata Deva seraya beranjak dari sofa.
“Terima kasih,” ucap Gia. “Terima kasih juga buat buburnya.”
“Sama-sama.” Deva mengangguk. “Mudah-mudahan perut kamu nggak sakit lagi setelah makan bubur buatan saya.”
Deva lalu menambahkan setelah keluar dari kamar, “Mudah-mudahan setelah hari ini kamu nggak menangis lagi.”
***
“Jadi, apa maksud lo menahan Gia kayak gitu?” tanya Kean di malam pertama dia tinggal di rumah Deva.
Saat itu Deva sedang menikmati segelas teh dingin di pinggir kolam renang yang terletak di lantai tiga rumahnya sambil menatap pemandangan langit Jakarta yang nampak cerah karena sinar lampu dari gedung-gedung pencakar langit. Kean yang membawa dua kaleng bir dingin mencari Deva ke sekeliling rumah, hingga akhirnya dia menemukan Deva di pinggir kolam renang. Kean pun segera menghampiri sepupunya itu dan menanyakan pertanyaan tadi.
“Bukan urusan lo,” jawab Deva sambil mengambil sekaleng bir dingin yang disodorkan Kean, dan menaruhnya di antara dia dan Kean yang kini duduk di sebelahnya.
“Kalau Oma tau soal Gia, gimana?” tanya Kean sambil membuka kaleng birnya. “Lo nggak takut dimarahin Oma?”
“Sebelum gue jawab semua pertanyaan lo itu, lo jawab dulu pertanyaan gue.” Deva menatap lurus ke mata Kean. “Dari mana lo tau soal Gia?”
“Waktu lihat foto pernikahan lo yang dikirim Oma ke grup keluarga Adhikara, gue sadar kalau pengantin wanita lo beda sama foto perempuan yang dijodohkan sama lo. Jadi, gue cari tau soal mereka karena gue nggak sebodoh orang-orang di grup keluarga kita.”
“Ya, mungkin lo emang nggak sebodoh orang-orang di grup keluarga kita.” Deva tersenyum sinis. “Atau hidup lo terlalu santai sampai lo punya banyak waktu buat mencari tau urusan orang lain.”
Kean tidak menghiraukan sindiran Deva. Dia malah kembali bertanya, “Jadi, apa maksud lo menahan Gia di sini?”
“Memangnya kenapa kalau gue menahan Gia di sini? Nggak boleh?”
“Bro, lo itu Radeva Adhikara. Pemimpin Adhikara Grup. Lo bisa dengan mudah membatalkan pernikahan bisnis ini karena bukan lo yang membutuhkan pernikahan bisnis ini, tapi Darmawan. Jadi, buat apa lo menutupi kesalahan yang dibuat Darmawan? Kalau gue jadi lo, gue bakal langsung membatalkan pernikahan bisnis ini. Gila aja, belum apa-apa, gue udah ditipu sama orang yang membutuhkan bantuan gue!”
Deva kembali menikmati teh dinginnya sambil mencerna kata-kata Kean. Kemudian dia bilang, “Nggak semudah itu, Yan.”
“Nggak mudah gimana?” seru Kean jengkel. “Lo itu udah ditipu sama Darmawan, Bro! Dia menjodohkan lo sama Feya, tapi yang jadi pengantin lo malah Gia. Itu jelas penipuan namanya. Sebagai pemimpin perusahaan sebesar Adhikara Grup kok lo mau aja ditipu kayak gitu? Gimana sih lo, Va? Gue pikir lo lebih pintar dari gue, makanya Oma menyuruh lo menggantikan posisi dia di kantor. Ternyata gue salah.”
Kali ini Deva yang tidak menghiraukan sindiran Kean. Dia malah sibuk memancing es di gelasnya dengan sendok, hingga membuat Kean semakin jengkel.
“Apa maksud lo menahan Gia di sini, Va?” tanya Kean sambil merebut gelas di tangan Deva. “Lo mau menjadikan dia jaminan? Lo mau siksa dia sampai Darmawan bisa menemukan Feya?”
“Gue bukan orang jahat, Yan,” ucap Deva seraya merebut kembali gelasnya dari tangan Kean. Wajahnya berubah dingin. “Gue justru menahan Gia di sini buat melindungi dia.”
“Melindungi gimana?” Kean tampak bingung. “Lo galak banget gitu sama dia. Terus tadi dia lompat dari balkon lantai dua kamar lo, Va. Dia nggak bakal nekat melakukan itu kalau dia merasa lo melindungi dia.”
“Terserah kalau lo dan Gia mengira gue mau menyakiti dia dengan menahan dia di sini. Yang pasti, gue nggak ada niat menyakiti Gia.” Deva bangkit dari pinggir kolam renang. “Dan yang pasti gue nggak akan membiarkan lo kalau lo memberi tau Oma soal Gia!”
Deva kemudian berbalik meninggalkan Kean. Sebelum Deva meninggalkan area kolam renang, Kean memanggil kembali sepupunya itu.
“Lo nggak mau minum bir bareng gue?” seru Kean sambil mengacungkan kaleng bir yang tadi dia berikan ke Deva. “Ini masih siang, Va. Minum dulu lah sama gue.”
“Ada perempuan di kamar gue,” balas Deva. “Gue nggak mau mabok dan jadi cowok brengsek kayak lo dua tahun lalu!”
Deva pun pergi meninggalkan Kean yang tersenyum sinis.
***
“Kamu udah nggak dikunciin di kamar sama Deva?”
Kean tampak bingung saat dia keluar dari rumah dan melihat Gia sedang menyiram bunga di halaman depan rumah Deva.
Gia menggeleng sambil tersenyum. “Kayaknya dia trauma.”
“Trauma kenapa?”
“Kemarin aku pingsan karena dia ngunciin aku di kamar tanpa makanan.”
“Kamu pingsan?!” seru Kean kaget. Kemudian dia memegang kening Gia, mengecek suhu tubuh gadis berambut ikal sebahu itu. “Sekarang keadaan kamu gimana? Sudah mendingan?”
“Sudah.” Gia menurunkan tangan Kean dari keningnya. “Kemarin Deva yang merawat aku sampai sembuh.”
“Deva?” Kean diam sebentar, seperti sedang berpikir. Kemudian matanya terbelalak. “Deva sepupu aku?! Radeva Adhikara?! Si tuan muda yang nyebelin itu?!”
Gia tertawa. “Iya, si tuan muda yang galak itu. Siapa lagi?”
“Nggak mungkin…” gumam Kean tidak percaya. “Apa karena itu dia kemarin buru-buru pulang?”
Gia kemudian cerita apa yang terjadi pada dirinya kemarin sore. Tentang Deva yang memanggil dokter dan membuatkan bubur untuknya. Tentang Deva yang mengizinkan Gia tidur di kasurnya, sementara Deva gantian tidur di sofa. Juga tentang Deva yang tidak lagi menguncinya di kamar, tapi tidak mengizinkan dia keluar pagar rumahnya.
Melihat Gia cerita dengan wajah ceria, Kean tersenyum kecil.
“Kamu senang melihat Deva memperlakukan kamu dengan baik?” tanya Kean.
“Siapa yang nggak senang diperlakukan dengan baik sama orang yang biasanya jahat seperti dia?” Gia balik bertanya.
Kean menghela napas, kemudian dia menatap Gia.
“Aku nggak bermaksud merusak kebahagiaan kamu,” ucap Kean, “tapi aku harap kamu nggak mudah terbuai dengan kebaikan Deva.”
“Memangnya kenapa?” Gia menatap Kean bingung. “Apa dia hanya pura-pura baik sama aku karena hampir membuat aku mati?”
“Bukan…” Kean menggeleng sambil memasang jam tangannya. “Aku hanya mau mengingatkan kamu kalau Deva sudah menikah dengan adik kamu. Di sini kamu hanya menggantikan Feya sampai dia ditemukan. Walaupun pernikahan mereka adalah pernikahan bisnis dan sebenarnya nggak sah, tapi pernikahan mereka nggak akan mudah dibatalkan begitu aja. Aku hanya nggak mau kamu terlanjur jatuh cinta sama Deva.”
Gia terdiam mendengar kata-kata Kean. Kean kemudian kembali bicara.
“Selama tinggal sekamar dengan Deva, dia nggak pernah menyentuh kamu, kan? Dia nggak pernah tidur dengan kamu, kan?” ujar Kean yang ditanggapi Gia dengan gelengan. “Karena bagi pemimpin perusahaan seperti Deva, pernikahan bisnisnya jauh lebih penting daripada perasaannya. Ingat, Gia, yang diuntungkan dalam pernikahan bisnis ini bukan hanya ayah kamu, tapi juga Deva. Makanya dia nggak melakukan apa-apa walaupun sudah ditipu sama ayah kamu. Bagi Deva, pernikahan bisnisnya dengan Feya harus tetap berjalan. Bagaimanapun caranya.”
Mendengar itu, Gia merasa hatinya seperti ditusuk pisau berkali-kali. Baru saja dia merasa Deva adalah pemuda yang baik. Namun Kean malah menyadarkannya dari fantasi di kepalanya. Dan, hal manis yang Deva lakukan untuknya kemarin, tidak ada artinya.
***