Kamu Nggak Jahat, Danilla! (Chapter 7)

“Tinggalin aja, biar dia istirahat.”  

“Kenapa sih? Gue kan khawatir.”

Danilla terbaring di salah satu kamar yang disediakan untuk para dokter dan suster.  Suara yang berkelakar tadi merupakan Indy dan Berry yang mau keluar dari ruangan. Danilla berpikir dalam pikirannya kini dia sendirian. Tetapi saat dia membuka matanya, seseorang yang dirindukannya menatap dengan khawatir. 

“Dokter Danilla, kamu…” suara lembut Langit yang terdengar khawatir malah membuat kelopak mata Danilla segera terbuka lebar. 

“Kapten yang bawa saya ke sini?” Danilla menoleh seakan ingin tersenyum. 

“Iya, kenapa kamu bisa ngga awas dengan kesehatan kamu?” Langit mulai tegas tetapi masih ada khawatir. 

“Sebelum ke sini, saya ngebantu dokter utama untuk operasi besar dua kali. Saya jadi kurang tidur dan pola makan sembarangan. Pasti tekanan darah saya rendah ya?” 

“Iya, kamu harusnya tetap makan teratur. Tempat ini jauh dari rumah kamu.” 

Danilla berusaha untuk duduk dengan pelan-pelan lalu menatap Langit yang sedari tadi terdiam canggung. 

“Kenapa kamu juga ada di sini, Lang?” 

“Dinas.” 

“Gimana kabar kamu dan Om Biru?” 

Langit menatap Danilla tampak tidak percaya dengan pertanyaannya.  Tetapi dia berusaha santai untuk menanggapi Danilla.  

“Kamu bisa lihat sendiri aku baik-baik saja, papa juga sehat.”  

“Syukurlah. Saya senang kamu bisa jadi kapten. Om Bima pasti bangga.” 

Langit mulai terganggu dengan ucapan Danilla kali ini. Danilla berusaha menetralkan keadaan. 

“Saya mau makan.” Danilla mau mengambil tray-nya tetapi Langit mengambilnya duluan. Danilla hanya dapat tertegun melihat perhatian Langit kemudian mulai memakan makanannya. Dalam tray-nya terdapat makanan utama dan juga pencuci mulut. 

“Kapten udah makan?” Danilla melirik ke Langit. 

“Tadi siang sudah.” Langit masih tampak canggung berada di situ. Langit masih ingin memperhatikan Danilla, tetapi tidak bisa terlalu lama dalam keadaan canggung itu. 

Danilla menyodorkan kue lapis pandan kepada Langit. 

 

“Sebelum kamu pergi, makan ini dulu. Masih suka, kan?” Langit tertegun melihat perhatian dari Danilla. Langit awalnya terlihat luluh tetapi wajahnya bingung. 

“Jangan kaya gini, dok.”  

Danilla sempat terkejut dengan respons Langit yang begitu dingin, namun dalam beberapa detik Danilla segera sadar kalau Langit tidak ingin Danilla memberi harapan.

“Kamu juga jangan kaya tadi.” Danilla membalas sama dinginnya. 

“Kemanusiaan.” Langit tidak mau kalah dinginnya. 

“Sampai sekarang masih kemanusiaan? Teman-teman saya aja ninggalin.” Danilla mulai merengut, kelihatan kesal tetapi dia sadar kalau ada rasa ingin manja kepada Langit. 

Sementara, Langit masih tetap terlihat datar dan dingin seperti biasanya. 

 

“Kamu itu dokter utama yang ditugaskan untuk pelatihan bersama dokter Chelsea, kalau kondisi kamu sakit seperti ini, juga jadi tanggung jawab kami. Apakah kamu akan kembali lagi ke Jakarta atau dirawat sampai sembuh di sini.” Langit menjelaskan dengan nada yang datar dan dingin, terlihat berusaha untuk menjawab secara diplomatis. Danilla sadar kalau Langit kini sudah berubah padanya. 

“Saya permisi, nanti dokter Indy yang akan menemani dokter Danilla. Kalau ada apa-apa, tolong tetap kabari kami.”  Langit seperti tidak memberikan waktu untuk Danilla menjawab. Langit berbalik untuk pergi. 

“Terima kasih, Kapten Langit. Senang bisa bertemu kamu lagi di sini.” Danilla mengucapkan itu sehingga membuat Langit menghentikan langkahnya. Langit menoleh dan mengangguk. 

“Besok malam adalah acara peresmian rumah sakit ini. Semoga dokter sudah bisa bergabung dengan yang lain. Permisi.” Langit sama sekali tidak menanggapi apapun tentang perkataan Danilla. Lalu dia berlalu meninggalkan Danilla yang mulai terlihat sedih. 

“Maafin aku, Langit. Aku tau kamu masih menganggap aku jahat.” 

 

***

Danilla baru saja kembali dari kamar mandi dengan membawa infusnya. Keadaannya tampak sudah lebih baik. Saat dia berusaha untuk duduk, pintu terbuka. Indy masuk ke dalam dan tampak bersyukur rekannya kelihatan baik-baik saja. 

“Ya Tuhan, syukurlah lo udah baik-baik aja.” 

“Makasih ya, Ndy. Udah lebih baik kok.” 

“Lo itu perlu mikirin perasaan lo sendiri. Gue tau lo dokter, lo punya pasien untuk lo jaga sebagai pekerjaan lo. Tapi inget, lo juga punya tubuh lo sendiri.” Indy berubah menjadi sangat cerewet dan perhatian pada saat yang sama.  

“Iya, Indy. Makasih perhatian lo, gue akan baik-baik aja kok.” 

Indy sambil membawa totebag berisi makanan ringan, mengeluarkannya satu-satu dan menaruhnya di meja.

“Kapten Langit perhatiannya ngga berubah dari dulu gak sih, Dan?”  

Danilla sempat terdiam beberapa detik untuk tersadar kalau Indy menyadari hal itu juga. 

“Gue gak tau sih dulu dia perhatian sama lo kaya gimana, tapi yang pasti dia perhatian banget tadi.” 

Danilla sadar begitu rindu dirinya pada Langit dan tertegun menghadap ke depan.

“Gue juga kangen sama perhatian dia yang ekstra.” 

“Terus, kenapa lo berdua bisa putus?” 

“Gue gak enak sama bokapnya Langit.” 

“Maksudnya?” 

“Mungkin terlalu dini untuk menyatakan restu di umur segitu. Tapi, karena gue, Langit ngga mau masuk akademi militer. Dia ingin bisa ikut kuliah di Bandung sama gue, mencari kemungkinan kuliah di sana. Bokapnya jadi ngga suka sama gue karena seolah gue yang memberi pengaruh buruk bagi Langit.” Danilla tampak sedih menceritakan itu semua. Sementara, Indy mulai ikut sedih dan bersimpatik. 

“Tapi, kenapa keluarganya Langit ingin banget dia jadi TNI AD, Dan?” 

“Bokapnya Langit adalah pensiunan dini TNI AD, karena mengalami cedera. Mungkin ada beberapa misi yang bokapnya pengen Langit laksanakan. Selain itu, keturunan lelaki di keluarga mereka kebanyakan jadi TNI. Maka, Langit harus mengikuti itu.” 

“Dan…Langit jadi goyah karena lo?” 

“Sebenernya Langit juga mau aja ambil akademi militer, tapi sejak tau gue mau pindah ke Bandung, Langit jadi cari-cari jurusan apa yang cocok sama dia. Padahal gue ngga minta sama dia, dan gue pengen dia mengejar apa yang dia udah rencanakan. Tapi Langit kekeuh banget, Ndy.” 

“Trus, sampe lo putus itu gimana?” 

“Bokapnya Langit sampe memohon sama gue untuk ninggalin Langit, supaya Langit tetap mengikuti masa depan yang dituntun keluarganya. Gue gak mau Langit jadi musuhan sama bokapnya. Karena gue tau gimana rasanya cuma sendiri tanpa orang tua.” Setelah mendengar itu, Indy langsung merangkul Danilla dengan merengut sedih.

“Gue salut sama kedewasaan yang lo dapet di seumuran lo segitu.” 

“Gue ngga jahat kan, Ndy?” 

“Ngga, lo sama sekali ngga jahat! Lo udah ngorbanin perasaan lo untuk kebahagiaan orang yang lo cinta, walaupun itu tetep nyakitin dia. Tapi lo udah melakukan hal yang bener, Dan.” 

“Tapi perasaan gue sama Langit kaya belum selesai, Ndy. Gue baru sadar setelah ngeliat dia beberapa hari di sini. Kayanya ini alasan gue selalu pakai kalung dari dia. Gue selalu berpikir dia belum maafin gue.” Danilla memegang kalung yang dia sembunyikan dari Langit. Indy menatap ketulusan Danilla akan Langit lalu mengelus pundaknya. 

“Gue ngga mau bilang soal alasan ini sama Langit karena gue takut dia sama bokapnya akan jadi jauh.” 

“Waktu akan bicara, Dan. Kalau memang ada waktu yang tepat untuk selesain masalah kalian, Tuhan pasti kasih petunjuk. Tapi inget, apa yang lo lakuin ngga salah, Dan. Trus, gue minta lo ngga usah ngga enakan lagi sama orang, lo punya kehidupan yang harus lo urus.” Indy mengeraskan pegangan ke pundak Danilla untuk mengingatkannya. Danilla yang mendengar itu terenyuh lalu mengangguk pelan. Kemudian Danilla sadar kalau saat pingsan tadi, dia menggumam meminta maaf pada Langit. Danilla menatap jendela kamarnya dengan sendu.

“Apa Langit lupa kalau tadi aku minta maaf?”